Pertunjukan Java Jazz Indra Lesmana tidak ada hubungannya dengan nada-nada pentatonik gamelan Jawa. Melodi manis yang berkesan mistik. ADA suasana memelas di Teater Terbuka Taman Ismai Marzuki, Jumat pekan lalu. "Dulu ayah saya Jack Lesmana dan kawan-kawannya suka main di sini. Dari sepi ia bikin jadi ramai. Dan sekarang sepi lagi," kata Indra Lesmana, pianis jazz terbaik di negeri ini. Kalimat itu terasa seperti keluh-kesah di tengah dekorasi panggung yang cantik garapan bintang film/sinetron Mathias Muchus. Tentu saja Indra punya alasan. Satu setengah tahun ia "libur" memainkan jazz yang membuatnya puas di atas panggung. Ia sudah membentuk berbagai kelompok. Ada trio, kuintet, pakai nama macam-macam, toh tetap saja tak banyak kesempatan bermain. Kerinduan itu baru terlampiaskan sekarang. Itu pun karena ia mendapat undangan untuk bermain ke Hawaii, yang kemudian disambung tur ke Los Angeles Amerika Serikat bulan Agustus nanti. Untuk persiapan tur inilah Indra, yang kali ini menamakan kelompoknya Java Jazz, melakukan "pemanasan" yang rencananya juga akan digelar di Surabaya dan Bandung. Meski baru pemanasan, mereka ternyata sangat serius. "Bagaimanapun juga, sebenarnya saya lebih suka main di sini daripada di luar negeri," kata Indra. Sejak dua malam sebelum pementasan, mereka menginap di Sofyan Hotel, yang bisa dicapai dengan berjalan kaki dari tempat pergelaran. Dua hari penuh mereka mengutak-atik peralatan untuk mendapatkan suara paling prima. Kerja yang tekun itu bahkan tembus sampai dini hari. Hasilnya tidak sia-sia. Selama dua jam penonton bisa menikmati "orang Jawa" bermain jazz dengan sangat ekspresif tapi tetap rapi. Indra dan kawan-kawannya telah mengocok Teater Terbuka sebagaimana pernah dilakukan Jack dulu. Meskipun namanya Java Jazz, musik mereka tak ada hubungannya dengan nada-nada pentatonik gamelan Jawa. Cuma satu nomor, Bulan di Asia, yang berbau oriental. Tapi itu pun sudah teraduk dengan baiknya, sehingga warna pentatonis malah menjadi melodi manis, tanpa menonjolkan warna tradisional. Indra Lesmana, yang sekarang berusia 25 tahun, tetap setia pada cirinya yang sudah ia patok sejak sembilan tahun yang lalu, saat ia merekam albumnya No Standing, bersama kelompok Nebula di Australia. Musik Indra masih bersandar pada pilihan akor yang begitu luas, seperti nampak pada nomor pembukaan yang diberi judul Aku Ingin Main Jazz. Komposisi garapan Indra juga masih penuh dengan melodi manis yang berkesan mistik, seperti pada nomor Langit Kristal. Komposisi yang ia persembahkan buat ayahnya, Jack Lesmana, yang meninggal tiga tahun lalu. Warna-warni yang ia tuangkan dalam tujuh komposisinya yang dimainkan malam itu terlihat masih satu nuansa dengan album No Standing. Atau juga For Earth and Heaven yang direkam 1986 di Los Angeles. Ini bisa dipahami. Beberapa nomor memang sudah dibikin Indra sekitar 1987, tapi belum pernah direkam. Yang baru adalah gumpalan karakter yang semakin kuat. Ini nampak terutama pada komposisi yang diciptakan belakangan. Contohnya Drama dan Do-Don yang baru dibikinnya tahun ini. Di sini terasa sekali entakan jazz-rock dari drum Gilang Ramadhan dan bas yang dimainkan Mates. Mereka menggiring dengan baik melodi pendek-pendek yang dimainkan berbarengan oleh Indra dengan synthesizer-nya, Doni Suhendra yang pakai gitar listrik, dan tiupan saksofon Embong Rahardjo. Unison yang banyak dimainkan tiga pemain yang disebut belakangan tadi membuat karakter lagu menjadi sangat kuat. Mirip-mirip musik kelompok Chick Corea Electric Band, yang bagi kuping awam terasa berat untuk diapresiasi. Sedangkan bagi pemain, itu jelas kemampuan bermain di atas rata-rata. Malam itu kemampuan semua pemain tersalur secara merata. Sebagai pemimpin dan komposer, Indra nampak cukup arif untuk membagi-bagi porsi pada kawan mainnya di panggung. Penampilan individu terlihat mendapat porsi besar di sini. "Saya membebaskan mereka bermain untuk diri sendiri," kata Indra kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Keuntungan Indra, ia mendapatkan rekan-rekan yang berkemampuan hebat untuk menerjemahkan ide-ide yang bertumpuk di kepalanya menjadi musik yang baik. Embong Rahardjo, misalnya. Pemain saksofon dan flute yang terhitung senior ini mampu menyatu dengan "adik-adiknya". Embong, yang malam itu tampil rapi seperti entertainer sejati -- setelan putih-putih yang resmi, sementara yang lain lebih suka berbaju santai -- berhasil mengisi fungsi vokalis tanpa kerepotan. Ini membuat Indra bisa leluasa mengisi orkestrasi yang membuat suasana menjadi penuh dan ramai. Sementara itu, Gilang Ramadhan, dengan pukulan drumnya yang sangat konsisten dan bertenaga, memberi "roh" sehingga komposisi menjadi hidup. Gilang, yang bisa disebut sebagai pemain drum terbaik di Indonesia saat ini, punya variasi pukulan yang seolah tak habis-habis, sekalipun harus dimainkan sepanjang pertunjukan. Kawan main Indra yang satu ini memang terasa paling cocok buat musisi yang kaya ide seperti Indra. Seperti diakui oleh Indra sendiri, "Setiap kali seusai main dengan dia, saya merasa selalu mendapat sesuatu yang baru." Sebenarnya, sesuatu yang baru memang lebih banyak mengalir dari kepala musisi jazz muda seangkatan Indra. Karimata atau Emerald adalah contoh yang lain. Sedangkan dari angkatan tua, yang semakin sibuk bermain ke sana-kemari, sejauh ini belum ada karya yang bisa dicatat. Mereka nampaknya lebih suka menjadi sekadar pemain daripada pencipta, yang dengan nikmat bisa memainkan karya sendiri. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini