SEBUAH langkah yang berani: Kaisar Akihito direncanakan berkunjung ke Cina Jumat pekan ini. Meskipun di Jepang masih ada perdebatan soal permintaan maaf atas kebrutalan tentara Jepang, khususnya di Nanking tahun 1937, pemerintah Tokyo menegaskan kunjungan Kaisar Akihito tak ada sangkut paut dengan peristiwa yang disebut-sebut membawa 200.000 korban jiwa dan 20.000 korban pemerkosaan itu. Sedangkan pemerintah Cina sendiri tak mengharapkan soal permintaan maaf itu secara terbuka. Tampaknya sikap kedua pemerintah itu dilandasi pandangan pentingnya ekonomi di masa pasca-Perang Dingin kini. Pihak Cina, misalnya, dalam Politbiro baru sesudah Kongres punya anggota tetap yang punya hubungan erat dengan kaum usahawan Jepang. Sedangkan di pihak Jepang kabarnya ada tekanan kuat dari kaum usahawannya, yang banyak berperan dalam normalisasi hubungan Cina-Jepang tahun 1972, untuk memanfaatkan iklim investasi di Cina yang upah buruhnya masih rendah. Investasi Jepang di Cina memang cenderung naik. Dalam kuartal pertama tahun ini jumlah investasi sudah mencapai US$ 400 juta, atau enam kali lipat dari periode yang sama tahun lalu. Juga, 1,1 milyar penduduk Cina merupakan pasar potensial bagi produk Jepang yang mulai menghadapi proteksi di beberapa negara maju. Tahun 1971, sebelum normalisasi hubungan, nilai perdagangan antarkedua negara hanya US$ 900 juta, tahun 1991 sudah mencapai hampir US$ 23 milyar. Dan kalau ada hal lain yang perlu dicatat adalah kesamaan akar budaya keduanya. Artinya, ada banyak alasan bagi Kaisar Akihito untuk menapakkan kaki ke Cina. "Jepang dan Cina punya sejarah hubungan damai yang panjang. Dalam zaman modern ada sejarah yang sial. Setelah Perang Dunia II Jepang kembali melihat masa lalu dan berjanji untuk hidup damai," kata Kaisar Akihito Kamis pekan lalu. Seiichi Okawa (Tokyo) & LPS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini