Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Direktur Medco Cellulose, Aradea Z. Arifin:</font><br />Mereka Sudah Dapat Banyak

2 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEDCO menggantungkan harapan besar di Papua. Sejak lima tahun lalu, kerajaan bisnis raksasa milik pengusaha Arifin Panigoro ini mendirikan sejumlah anak perusahaan untuk membuka ratusan ribu hektare hutan produksi di Distrik Animha dan Distrik Kaptel, Kabupaten Merauke. Produksi serpihan kayu dari Papua diekspor ke Korea Selatan dan Jepang untuk bahan bakar pembangkit listrik.

Ujung tombak Medco di Merauke saat ini adalah PT Selaras Inti Semesta dan PT Medco Papua Industri Lestari. PT Selaras menguasai sedikitnya 169.400 hektare hutan tanaman industri, dan PT Medco Papua menguasai 2.800 hektare lahan untuk pabrik pengolah kayu di sana.

Mesin Medco terus menderu di sana, sampai awal 2011. Ketika itu, masalah mulai muncul dari masyarakat adat di Kampung Sanggase, Distrik Kaptel, dan Kampung Zanegi, Distrik Animha. Orang Sanggase menuntut dana kompensasi atas penggunaan lahan adat mereka oleh PT Medco Papua. Setelah perundingan panjang, Medco setuju membayar Rp 3 miliar. Direktur Medco Cellulose, Aradea Z. Arifin—kerabat jauh Arifin Panigoro—turun langsung bernegosiasi dengan orang Sanggase. Medco Cellulose adalah anak usaha Medco yang membawahkan semua kegiatan bisnisnya di Papua.

Kelar satu masalah, muncul lagi api konflik di Zanegi. Warga adat di sana mempersoalkan perjanjian kerja sama dengan Medco soal pengelolaan hutan adat milik warga. Batas dan luas area yang dikerjasamakan memang tak jelas tercantum dalam dokumen perjanjian. Warga juga merasa kompensasi Rp 300 juta terlalu sedikit.

Ditemui dalam dua kesempatan di kantornya di Gedung Medco, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Aradea menepis semua kabar panas ini. "Itu selentingan saja," katanya ringan.

Masyarakat adat di Kampung Zanegi, Merauke, menuding Medco melakukan manipulasi dalam proses pelepasan hak adat mereka….

Itu tidak benar. Saya tidak pernah mendapat laporan ada masalah macam ini. Tunjukkan siapa orangnya yang menuduh seperti itu. Yang saya takutkan, ada provokator yang bermain.
Memang awalnya mereka sempat minta ada kompensasi sebesar Rp 10 ribu dari setiap meter kubik kayu alam yang ditebang. Kami menolak, karena itu tidak mungkin. Setelah negosiasi berulang-ulang, mereka sendiri yang minta agar kompensasinya Rp 2.000 saja per meter kubik. Semua orang tanda tangan. Saya tahu yang menuntut terus itu sebenarnya hanya satu orang, bukan suara semua orang Zanegi. Saya sedih kalau ada kabar seperti itu.

Jumlah kompensasi sebesar itu dinilai sudah cukup untuk warga?

Itu mereka sudah dapat banyak.... Taruhlah ada 80 keluarga di sana. Misalnya mereka mendapat Rp 1-2 miliar per tahun, sudah kaya mereka. Tapi buat mereka itu tidak cukup karena cepat habis. Karena itu, sekarang kami mau bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Merauke membuka perkebunan karet. Kalau karet bisa panen setiap tahun, tapi harus dikerjakan setiap hari.

Ada kabar sekarang dana kompensasi sudah tak lagi dibayarkan kepada warga di Zanegi.…

Sekarang rencana kerja tahunan (RKT) kami memang belum keluar dari Pemerintah Kabupaten Merauke. Karena tidak ada RKT, tidak ada penebangan dan tidak ada kompensasi untuk warga. Tapi sebelum sekarang, 2011 ke belakang, pembayaran rutin diberikan. Kami punya semua bukti pembayarannya.

Apa benar RKT tidak disetujui karena proses penanaman kembali hutan tanaman industri (HTI) sendiri tersendat-sendat?

Tidak benar. Kami sudah dua kali merencanakan menghadap Bupati Merauke soal ini, tapi dua kali dibatalkan. Mungkin Bupati sibuk. Sekarang kami memang sudah menebang 2.000-3.000 hektare dan baru menanam 1.500 hektare. Tapi proses penebangan dan penanaman memang tidak bisa dilakukan bersamaan, harus ada jedanya. Dibanding HTI lain, kecepatan penanaman kami masih wajar.

Apakah dalam perjanjian pengelolaan hutan dengan warga Zanegi dilampirkan juga peta wilayah adat Zanegi yang akan dikelola Medco?

Pada waktu kami membuat multi-landscape assessment, tim kami bertemu dengan orang Kampung Zanegi untuk membuat laporan sebagai dasar peta. Tapi laporan ini hanya sebagai pegangan.

Tapi, dalam laporan itu, ada peta yang disepakati bersama warga?

Ada. Peta itu sudah saya kirim ke mana-mana, ke Kementerian Kehutanan, ke Bupati. Saya pikir masyarakat pasti sudah pegang juga. Tapi saya ragu apa mereka juga bisa baca peta.…

Menurut Anda, mengapa sampai sekarang ada orang Zanegi yang merasa tertipu dalam proses pelepasan hak adat mereka ke tangan Medco?

Itu ulah provokator saja. Kalau mau membangun Papua, kita harus membuat skema agar para provokator ini tidak bisa hidup lagi.

Apa benar sejumlah janji Medco untuk warga belum dipenuhi?

Kami menyediakan sekitar Rp 10 miliar dana corporate social responsibility (CSR) untuk Kampung Buepe dan Kampung Zanegi. Soal CSR, kami tidak akan ragu memberikan. Itu sudah komitmen kami. Tapi tentu butuh waktu untuk membangun sekolah, puskesmas, jalan, dan lain-lain. Zanegi tidak mungkin langsung berubah jadi kota kecil dalam sekejap. Ini butuh waktu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus