Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH rupanya tak sedang berbual ketika sejumlah pejabat sesumbar akan mempercepat pembangunan di Papua. Solusi ekonomi dengan mendorong perbaikan kesejahteraan rakyat dinilai bisa jadi jawaban mujarab untuk meredam gagasan separatisme di ujung timur Indonesia itu.
Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pun disorongkan sebagai contoh perdana. Didukung penuh dari Jakarta, proyek ini dengan cepat menarik minat banyak pengusaha. Pemerintah daerah mengalokasikan 2 juta hektare tanahnya untuk perkebunan, pertanian, dan hutan produksi. Selain amat subur, tanah seluas itu mendatar sejauh mata memandang. Lanskap macam ini membuka peluang untuk mekanisasi perkebunan dan pertanian dalam skala raksasa.
Sampai akhir tahun lalu, 46 perusahaan dalam dan luar negeri sudah mengantongi izin lokasi dari Bupati Merauke, lengkap dengan peta dan luas lahan yang bisa mereka buka. Berbekal izin itu, mereka masuk ke hutan, menemui suku-suku asli pemilik hak ulayat atas tanah tersebut dan menegosiasikan kompensasi serta kerja sama.
Sayangnya, yang muncul kemudian justru konflik tak berujung. Satu marga bertikai dengan marga lain soal batas tanah yang bisa diserahkan ke perusahaan. Warga satu kampung yang sama bersitegang soal tawaran ganti rugi perusahaan. Proyek prestisius ini pun dituding lebih banyak membawa petaka.
Distrik Animha
Wilayah kerja PT Selaras Inti Semesta, anak perusahaan Medco Group, versus wilayah adat milik warga Kampung Zanegi, Kampung Wayau, dan Kampung Koa.
Luas lahan: 301 ribu hektare.
Jenis usaha: Hutan tanaman industri.
Konflik: Warga merasa proses kerja sama dengan Medco tidak sesuai dengan prosedur dan merugikan. Selain itu, kompensasi yang diberikan dinilai terlampau kecil.
Perusahaan lain
Distrik Malind
Wilayah kerja PT Karyabumi Papua (Grup Rajawali) versus tanah adat Kampung Domandai.
Luas lahan: 40 ribu hektare.
Jenis usaha: Perkebunan tebu.
Investasi: Rencananya Rp 3 triliun.
Konflik: Warga Kampung Domandai berseteru dengan warga Kampung Ongari soal luas dan batas tanah adat yang diserahkan ke perusahaan. Jumlah kompensasi juga dinilai kurang.
Distrik Kaptel
Wilayah kerja PT Medco Papua Industri Lestari dan PT Medco Alam Lestari versus tanah adat Kampung Buepe dan Sanggase.
Luas lahan: 2.800 hektare (Medco Papua) dan 74.219 hektare (Medco Alam).
Jenis usaha: Pengolahan kayu serpih (wood chips) dan hutan produksi.
Investasi: Rp 10 miliar untuk pembebasan lahan, kompensasi kayu, dan sarana sosial serta US$ 70 juta untuk operasional dan infrastruktur.
Konflik: Masyarakat Kampung Buepe dan Sanggase berseteru soal batas tanah adat dan kepemilikan tanah adat. Medco akhirnya membayar dua kali untuk pelepasan hak atas tanah itu.
Perusahaan lain
Distrik Kimaam
Distrik Ngguti
Wilayah kerja PT Dongin Prabhawa (Korindo Group) versus tanah adat Kampung Nakias.
Luas lahan: 39.800 hektare.
Jenis usaha: Perkebunan kelapa sawit.
Investasi: Rencananya sampai US$ 150 juta.
Konflik: Sejumlah marga, yakni marga Walinaulik, Dinaulik, Yeimahe, Kaize, Mahuze, Yolmen, dan Ndiwaen, menilai ganti rugi/kompensasi yang dibayarkan perusahaan atas tanah ulayat mereka tidak cukup dan salah sasaran.
Perusahaan lain
Distrik Tanah Miring
DISTRIK semangka
Distrik Kurik
Wilayah kerja Grup Rajawali (PT Cenderawasih Jaya Mandiri) versus tanah adat Kampung Kurik.
Luas lahan: 70 ribu hektare.
Jenis usaha: Perkebunan tebu.
Konflik: Pelepasan hak tanpa musyawarah adat yang lengkap.
Perusahaan lain
Distrik Okaba
Wilayah kerja PT China Gate Agriculture versus tanah adat Kampung Alaku dan Makaling.
Luas lahan: 50 ribu hektare untuk kebun tebu dan singkong.
Konflik: Muncul potensi kisruh di kalangan internal masyarakat adat karena ketidakjelasan status lahan yang diserahterimakan dengan perusahaan, juga soal berapa luas dan di mana batas-batasnya.
Perusahaan lain
Distrik Ulilin
Wilayah kerja PT Berkat Citra Abadi versus tanah adat Kampung Kindiki.
Luas lahan: 40 ribu hektare untuk kelapa sawit.
Konflik: Muncul potensi kisruh di kalangan internal masyarakat adat karena ketidakjelasan status lahan yang diserahterimakan dengan perusahaan, juga soal berapa luas dan di mana batas-batasnya.
Perusahaan lain
Distrik Muting
Wilayah kerja PT Bio Inti Agrindo versus tanah adat warga setempat.
Luas lahan: 39 ribu hektare untuk kebun kelapa sawit.
Konflik: Muncul potensi kisruh di kalangan internal masyarakat adat karena ketidakjelasan status lahan yang diserahterimakan dengan perusahaan.
Distrik Jagebob
Wilayah kerja PT Hardaya Sawit Papua dan PT Hardaya Sugar Papua versus tanah adat Kampung Nalkin.
Luas lahan: 62.150 hektare untuk kebun kelapa sawit dan 44.812 untuk kebun tebu.
Konflik: Muncul potensi kisruh di kalangan internal masyarakat adat karena ketidakjelasan status lahan yang diserahterimakan dengan perusahaan, juga soal berapa luas dan di mana batas-batasnya.
Distrik Tabonji
Distrik Ilwayab
Distrik Tubang
Yang Benar
Ini cara yang seharusnya dilalui investor yang ingin berinvestasi:
- Investor mengajukan permohonan kepada bupati untuk mendapat lokasi lahan.
- Difasilitasi pemerintah kabupaten, investor melakukan sosialisasi kepada pemilik tanah hak ulayat untuk mendapatkan persetujuan penuh dari warga (free and prior informed consent) sesuai dengan hukum internasional tentang pemanfaatan hak ulayat:
- Menginformasikan rancangan penanaman modal, dampak, dan perolehan tanah.
- Memberi kesempatan masyarakat memperoleh penjelasan yang berimbang tentang proyek yang akan dikerjakan dan pemecahan atas masalah yang dihadapi.
- Mengumpulkan informasi dari masyarakat untuk memperoleh data sosial dan lingkungan serta peta kepemilikan tanah hak ulayat.
- Mengajak pemilik hak ulayat bersama-sama membahas bentuk dan besaran penggantian atas tanah yang akan digunakan. - Bupati memberi izin lokasi dan rekomendasi dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten Merauke, yang dilampiri peta lokasi rencana investasi jika tidak ada keberatan dari pemilik tanah hak ulayat.
- Investor mengajukan izin analisis mengenai dampak lingkungan.
- Investor memohon rekomendasi dari Gubernur Papua.
- Setelah mengantongi semua syarat tersebut, investor mengajukan izin pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan.
- Badan Pertanahan Nasional akan melakukan sertifikasi lahan dan memberi lisensi hak guna usaha.
Yang Salah
Tapi, yang banyak terjadi di lapangan, para investor justru bersiasat mengakali hak ulayat milik masyarakat adat. Inilah sejumlah modus manipulasi yang terjadi.
- Setelah pengusaha mengantongi izin formal dari pemerintah, ketua adat dan kepala kampung dijadikan perantara. Mereka diberi hak ganti rugi lebih banyak dari warga yang lain agar "menurut".
- Kesepakatan semu itu segera dilandasi pelaksanaan upacara-upacara adat sebagai kedok suksesnya sosialisasi perusahaan.
- Warga jarang dilibatkan dalam negosiasi.
- Penjelasan peralihan lahan sangat minim. Peta dasar lahan proyek tak disertakan dalam perjanjian dengan warga adat.
- Sembari melakukan pendekatan, pengusaha membuka lahan sebelum ada persetujuan warga.
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Kabupaten Merauke, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Merauke
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo