Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DATANG dari Jakarta menuju Distrik Kurik, Merauke, F.S. Heru Priyono punya urusan mustahak. Jumat tiga pekan lalu, Direktur PT Cendrawasih Jaya Mandiri ini menandatangani kesepakatan dengan ketua marga dan tetua adat di Kampung Kaliki. Inilah ikhtiar panjang PT Cendrawasih melapangkan ekspansi bisnis perkebunan di Papua, setelah terjadi tarik-ulur negosiasi dengan warga Kaliki selama satu setengah tahun.
Penyerahan tanah ulayat kepada anak usaha Grup Rajawali tersebut diawali dengan upacara adat. Prosesi selama dua jam itu berlangsung di halaman sekolah. "Agar seluruh warga Kaliki melihat," kata Heru Priyono. Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Merauke M. Daswil datang mewakili Bupati Romanus Mbaraka yang berhalangan hadir.
Siang itu PT Cendrawasih menyerahkan tali asih Rp 3,5 miliar untuk empat marga yang terdiri atas 100 keluarga. Dengan perjanjian itu, PT Cendrawasih berhak memakai tanah adat Kaliki seluas 10 ribu hektare selama 30 tahun. Total lahan yang kini dikelola Cendrawasih 40 ribu hektare—setelah menerima pelepasan tanah ulayat dari Kampung Domande 30 ribu hektare. Adapun PT Karyabumi Papua, anak usaha Rajawali lainnya, mengantongi izin pemakaian lahan 30 ribu hektare. Total lahan yang dikelola Rajawali 70 ribu hektare.
Terpincut oleh proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), perusahaan milik Peter Sondakh ini masuk Papua dua tahun lalu. Rajawali punya mimpi membangun industri gula terpadu. Selain itu, Cendrawasih berikhtiar pula memproduksi etanol dari ampas tebu.
Dari Rp 3 triliun investasi yang dianggarkan, sekitar Rp 1,7 triliun dialokasikan Rajawali untuk mendirikan pabrik gula. "Sisanya untuk membuka lahan kebun tebu, kompleks perumahan, dan pelabuhan," ujar Heru. Izin definitif dari Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan baru dikantongi pada awal Maret lalu. PT Cendrawasih kini tengah memproses hak guna usaha ke Badan Pertanahan Nasional.
Bila urusan rampung, Cendrawasih mulai menanam tebu pada akhir tahun ini. Targetnya, tebu dipanen tiga tahun kemudian. Pabrik berkapasitas 12 ribu ton per hari itu diperkirakan berdiri pada 2014. Sejauh ini Cendrawasih menyewa tanah transmigran 240 hektare untuk kebun bibit sejak Oktober 2010.
Rajawali hanya satu dari sejumlah investor yang mencurahkan duitnya di Papua. Sekitar 46 perusahaan telah mengantongi izin lokasi dari bupati. Bekal ini belum cukup untuk membuka lahan. Heru Priyono mengatakan, masih ada empat tahap lagi yang mesti dilalui investor sampai memperoleh hak guna usaha dari Badan Pertanahan Nasional.
Bertepatan dengan ulang tahun Kabupaten Merauke ke-108, proyek MIFEE diperkenalkan ke publik pada 12 Februari 2010. Pemerintah berikhtiar menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan nasional. Ide ini ditawarkan bekas Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze sejak 2003. Saat itu ia wira-wiri ke Jakarta. Pemerintah pusat memberi lampu hijau.
Johanes Gebze semula mengusulkan nama Merice. Konsepnya mengarah ke lumbung padi. Pemerintah pusat tak cuma menginginkan padi, tapi diperluas ke tanaman pangan lain, seperti jagung, tebu, dan kedelai. Maka nama Merice bersalin menjadi MIFEE, singkatan dari Merauke Integrated Food and Energy Estate. Targetnya, Indonesia mencapai swasembada pangan.
Gagasan ini didorong kebutuhan pangan yang meningkat tiap tahun. Setiap kenaikan jumlah penduduk 1,35 persen, dibutuhkan tambahan suplai beras 350-450 ribu ton per tahun. Angka itu didasari rata-rata konsumsi 130 kilogram beras per kapita. Ancaman juga datang dari krisis pangan dunia yang bikin seret pasokan dan membuat harga jumpalitan. "Ide MIFEE ini salah satu cara mengatasi kebutuhan pangan," kata bekas Menteri Pertanian Anton Apriyantono.
Proyek ini semula digadang-gadang bisa menyediakan 2 juta hektare lahan baru untuk menggenjot produksi pangan. Johanes Gebze sempat mengklaim daerahnya punya cadangan lahan 2,5 juta hektare. Ingin realistis, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional hanya memakai 1,2 juta hektare. Belakangan, kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, angka itu direvisi menjadi 500 ribu hektare.
Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan Kementerian Pertanian Tunggul Iman Panudju menambahkan, dari angka 500 ribu hektare itu, yang sudah disetujui untuk dialokasikan ke sejumlah perusahaan sekitar 228 ribu hektare, terbagi menjadi empat cluster.
Meski menyusut, Anton menilai luas lahan itu sudah sangat berarti untuk membuka area pertanian. Dia menilai lahan Merauke punya potensi besar karena cocok untuk tebu, padi, dan jagung.
Itu sebabnya, ia gencar mempromosikan gagasan ini ke perusahaan swasta, sebelum megaproyek ini resmi diluncurkan. Beberapa perusahaan besar, antara lain Medco Group milik Arifin Panigoro dan PT Bangun Tjipta Sarana milik Siswono Yudohusodo, tertarik berinvestasi ke sana.
Tak cuma dari dalam negeri, Bin Ladin Group, kelompok usaha dari Arab Saudi, juga berminat mencurahkan fulus ke Merauke. Nilainya fantastis: US$ 4,3 miliar untuk menanam padi di area seluas 500 ribu hektare. Anton mengaku terbang ke kantor pusat Bin Ladin di Jeddah untuk membujuk mereka supaya segera merealisasi rencananya. "Saya diperlihatkan maket food estate yang akan dikembangkan," katanya.
Ternyata mewujudkan MIFEE tidak semudah membalik telapan tangan. Upaya menggaet Bin Ladin buyar di tengah jalan. Menurut Anton, Grup Bakrie juga sempat kesengsem mengembangkan industri gula di Papua. Setelah datang ke lapangan, mereka mengurungkan niat. "Calon investor harus berhadapan dengan ruwetnya urusan pengadaan lahan karena menyangkut tanah masyarakat adat dan hak ulayat," ujarnya.
Tunggul Iman Panudju menegaskan, penggunaan tanah oleh investor harus mendapat persetujuan dari marga pemilik hak ulayat. Setelah masa pemanfaatan selesai, tanah itu dikembalikan ke masyarakat adat. Itu sebabnya, kata Anton, izin operasi idealnya diberikan bila masalah dengan masyarakat adat sudah selesai. "Itu kesulitan yang saya dengar di sana," ujar Anton.
Namun, dalam prakteknya, kata Muhammad Islah, Manajer Kampanye Air dan Pangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), terjadi kecurangan di lapangan. Menurut dia, jumlah kompensasi yang diberikan ke warga adat terlalu rendah. Walhi menyoroti kesepakatan yang ditandatangani antara Cendrawasih dan warga Domande di Distrik Malind. Dalam kesepakatan yang diteken pada 30 November 2010, Cendrawasih memberikan kompensasi Rp 6 miliar. Imbalannya, anak usaha Rajawali ini berhak memakai tanah ulayat 30 ribu hektare selama 30 tahun. Artinya, lahan itu dinilai Rp 200 ribu per hektare. Kesepakatan itu diabadikan dalam sebuah batu perjanjian.
Belakangan, kesepakatan itu menyulut konflik antara Kampung Domande dan Kampung Onggari. Tanah adat yang disewakan ke Rajawali, menurut masyarakat adat Onggari, masih termasuk hak ulayat mereka.
Ditemui di Menara Rajawali, Mega Kuningan, Jakarta, Heru Priyono menepis tudingan Grup Rajawali membayar terlalu murah. Menurut dia, Cendrawasih memiliki dua paket kesepakatan dengan masyarakat adat. Pertama dalam bentuk corporate social responsibility (CSR), yang kedua berupa uang tunai. "Tali asih model CSR sifatnya jangka panjang dan nilainya jauh lebih besar ketimbang tali asih berupa uang tunai," katanya.
Itu sebabnya, kata Heru, Cendrawasih lebih dulu membangun fasilitas publik seperti sekolah dan instalasi air bersih. Soal keberatan Kampung Onggari juga sudah diselesaikan Cendrawasih. "Lahan yang diklaim sebagai tanah Kampung Onggari tidak akan kami tanami tebu," kata Heru, yang juga menempati posisi Senior General Manager Agriculture Papua Projects Rajawali.
Tak cuma dalam urusan lahan, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto menambahkan, macetnya proyek MIFEE lantaran Peraturan Pemerintah Nomor 2/2011 tentang Kawasan Ekonomi Khusus terlambat terbit. "Tanpa Kawasan Ekonomi Khusus, MIFEE tidak bisa jalan karena investor tidak tertarik," katanya. Meski sudah ada peraturan pemerintah, aturan teknis tentang pemberian fasilitas fiskal dan pengalihan kewenangan tak kunjung dikeluarkan. "Makanya Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan diberi rapor merah karena menyebabkan MIFEE tidak jalan," katanya.
Benang kusut yang terjadi di Merauke, kata Johanes Gebze, bukti bahwa pemerintah tidak kompak. "Perjalanan dari bumi ke bulan mungkin lebih cepat ketimbang terlaksananya MIFEE," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo