Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=2 color=#FF0000>TEMPO DOELOE</font><br />Belajar dari Ali Sadikin

2 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSAINGAN sengit merebut kursi Gubernur Jakarta sudah dimulai. Dengan empat kandidat dari partai-partai politik terbesar di Tanah Air—plus dua pasangan calon independen—pemilihan kepala daerah di Ibu Kota tahun ini diprediksi bakal berlangsung seru.

Joko Widodo, yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, akan beradu program dengan Fauzi Bowo, yang diusung lagi oleh Partai Demokrat. Jangan lupakan politikus veteran Hidayat Nur Wahid (Partai Keadilan Sejahtera) dan Alex Noerdin dari Golkar. Dua kandidat nonpartai, Faisal Basri dan Hendardji Soepandji, tentu tak mau jadi sekadar figuran.

Ada baiknya, sebelum masa kampanye dimulai, para kandidat ini belajar dari Gubernur Jakarta legendaris, Ali Sadikin. Marinir yang jadi kepala daerah selama 10 tahun (1966-1977) ini dikenang karena banyak gagasan orisinalnya untuk pembangunan Jakarta.

Sekelumit pemikirannya pernah dimuat di majalah Tempo edisi 19 Juni 1971. Dalam wawancara khusus dengan majalah ini, Bang Ali—begitu dia biasa disapa—menjelaskan semua keputusannya yang kontroversial.

Sejak dilantik menjadi gubernur, Ali Sadikin mengaku langsung putar otak mencari dana. "Kalau biaya pembangunan terbatas, kota ini tak bisa maju," katanya. Berdasarkan perhitungan ahli dan desain master plan Ibu Kota, Jakarta ketika itu membutuhkan Rp 8 miliar per tahun untuk bisa berkembang ideal. Padahal pemerintah pusat hanya mengucurkan dana Rp 3 miliar per tahun untuk Jakarta. "Sebenarnya pemda DKI Jakarta memungut pajak sampai Rp 6 miliar setahun, tapi, berdasarkan pembagian keuangan pusat-daerah, semuanya harus disetor dulu ke pusat," katanya.

Ali Sadikin menolak menyerah. Untuk menggenjot pendapatan asli daerah, dia mencari sumber lain: judi. Meski sadar keputusannya bakal memicu pro dan kontra, Ali berkukuh. "Uang dari pajak judi sama saja dengan uang dari sumber konvensional lain," katanya. Dan lagi, kata dia, judi sulit diberantas. "Saya tutup satu kasino di Petak Sembilan, akan muncul lagi di tempat lain," katanya tertawa.

Dengan melegalkan judi dan menarik pungutan dari aktivitas itu, Jakarta berkembang pesat. Jalan-jalan diaspal tebal, gedung-gedung baru muncul, dan transportasi publik diperbaiki. Ali Sadikin membangun terminal-terminal bus baru, lengkap dengan halte-halte bus ciamik di seantero kota. Pada malam tahun baru 1971, halte-halte itu dihias lampu gemerlap, membuat Ibu Kota tampak berkilau.

Percaya atau tidak, gagasan Ali Sadikin membangun terminal dan halte bus berangkat dari pengalamannya berkeliling Jakarta selama dua hari penuh. Dengan menyamar sebagai penumpang biasa, Ali naik-turun bus, berdesakan, kepanasan, dan kehujanan.

"Saya meniru Harun al-Rasyid, khalifah kelima dari Kekhalifahan Abbasiyah," katanya. Harun terkenal sebagai arsitek pembangunan Kota Bagdad yang megah dan mewah. Alkisah, sebelum membangun kotanya, Harun menyamar berkeliling Bagdad untuk mengetahui kebutuhan dan keinginan warganya.

Tentu Ali Sadikin bukannya tak punya keluhan. Dia mengaku kesulitan menertibkan birokrasi dan memberantas korupsi. "Saya tidak mengatakan bahwa pemerintah saya bersih. Penyelewengan tentu ada," katanya.

Salah satu penyebabnya adalah kondisi para birokrat di Jakarta yang, menurut Ali, amat tertinggal. "Bandingkan dengan Tokyo, Jepang, yang diurus 120 ribu pegawai yang bekerja dengan teknologi komputer canggih," katanya. Jumlah pegawai negeri di Jakarta sendiri ada 35 ribu orang, dan semuanya bekerja manual. "Coba katakan, bagaimana mereka ini bisa bekerja efektif?"

Sedikit demi sedikit, problem birokrasi ini dia perbaiki. Ali Sadikin merekonstruksi organisasi, mensosialisasi pembagian tugas yang lebih jelas, dan menegakkan hukum kepegawaian untuk membangun iklim meritokrasi di lingkungan kantornya.

Hasilnya terlihat. Relasi antara penduduk Jakarta dan pemerintahannya mulai terbangun. Warga Jakarta mulai merasa memiliki kota. Apa buktinya? "Semua surat kabar di Ibu Kota menaruh perhatian besar pada masalah Jakarta, dari yang besar sampai yang sekecil-kecilnya," kata Ali sambil tersenyum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus