Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

<font size =2 color=#FF0000>Hari Sabarno:</font><br />Saya Tak Mengurusi Hal Teknis

26 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI telah pensiun lima tahun silam sebagai menteri, Hari Sabarno belum bisa lepas dari urusan Departemen Dalam Negeri. Beberapa kali ia dimintai keterangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran oleh pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota.

Kini Hari kembali disorot karena perannya menerbitkan aturan soal upah pungut pajak daerah. Aturan itu membuat duit Rp 255,9 miliar digelontorkan buat keperluan rupa-rupa: dari sewa gedung pernikahan hingga renovasi rumah.

Pada suatu sore Ramadan lalu, Hari menerima Tempo di lapangan Museum Olahraga Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, untuk menjelaskan soal itu. Meski berpuasa, pensiunan tentara letnan jenderal itu masih meluangkan waktu bermain tenis.

Pada 20 September 2001, Anda memimpin rapat para petinggi Departemen Dalam Negeri, yang membahas alokasi dana upah pungut pajak. Untuk apa?

Kalau tak salah, ada desakan dari Markas Besar Kepolisian, yang mempertanyakan mengapa upah pungut kok tak jalan. Sebagai pengawas otonomi daerah, kami perlu mengatur agar tidak terjadi penyimpangan. Jadi perlu ada ketentuan. Jangan sampai kabupaten A memungut 10 persen, kabupaten B 7,5 persen, kabupaten C 5 persen.

Anda lalu mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 27/2002 yang mengatur penggunaan dana upah pungut pajak?

Itu dasarnya Undang-Undang Pajak Daerah. Dengan adanya upah pungut, pemasukan pajak kan semakin meningkat karena ada insentif bagi daerah.

Mengapa aturan itu direvisi sehingga dana upah pungut bisa dipakai untuk pelbagai keperluan?

Direktur Jenderal Otonomi Daerah yang tahu. Waktu itu dijabat Pak Darsono.

Mengapa revisinya begitu cepat? Cuma dua bulan....

Kalau Anda jadi menteri, lalu datang eselon satu dan bilang ada ini-itu, sebagai menteri Anda bagaimana? Kalau menteri mau menandatangani suatu surat, sekretaris jenderal dan direktur jenderal mesti paraf lebih dulu. Yang membuat konsep direktur. Revisi keputusan itu tidak melalui rapat. Begitu sudah ada paraf dari sekretaris jenderal, ya sudah, saya tanda tangani.

Bukankah Menteri Keuangan Boediono mengirim surat yang menegaskan upah pungut hanya untuk kepentingan pemungutan pajak?

Saya tidak tahu dan tidak pernah menerima laporan tentang surat Menteri Keuangan itu.

Lalu untuk apa saja upah pungut yang lima persen itu?

Pada 2004 ada pemilu legislatif dan presiden. Tiap pemilu, saya enam kali ke daerah atas perintah Presiden Megawati. Saya koordinator penyelenggaraan pemilu karena menjadi pejabat sementara Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Kami melibatkan pejabat lembaga yang terkait. Dengan pesawat carteran, kami keliling enam daerah. Enam kali menginap di hotel. Semua, ya, dibiayai upah pungut itu.

Mengapa tak dibiayai APBN?

Kalau hal teknis begitu bukan bagian saya. Saya cuma kebijakan. Yang jelas, dana untuk tutup tahun atau hari raya juga diambil dari upah pungut. Jadi, yang menikmati upah pungut ini semua kota, kabupaten, provinsi, sampai sak pusat-pusate: departemen dan Markas Besar Kepolisian. Persentase polisi malah lebih besar, yakni 7,5 persen.

Audit Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan dana upah pungut juga dipakai untuk kepentingan pribadi?

Saya juga mau cari informasinya. Katanya ada uang untuk kepentingan pribadi dan istri saya. Istri saya itu orang paling penakut. Sejak saya letnan, ambil gaji ke kantor saja tak berani. Kalau dipakai untuk pribadi, aku bisa sugih banget (kaya sekali).

Lalu untuk apa saja uang itu?

Kami mengatur, 40 persen untuk kesejahteraan dan 60 persen untuk dukungan operasional. Misalnya waktu pemilu, kalau APBN tidak mencukupi, bagaimana? Itu masuk operasional.

Soal alokasi 40 persen untuk kesejahteraan. Bukankah itu bertentangan dengan saran Menteri Keuangan?

Waktu itu belum ada surat dari Menteri Keuangan, saya tidak mengerti.

(Tempo menyodorkan surat Menteri Keuangan bertanggal 19 April 2002).

Kalau Anda ngroyok saya seperti investigasi begini, bingung juga saya. Yang lebih mengetahui hal teknis itu direktur jenderal atau eselon dua. Dalam struktur birokrasi, makin ke atas hanya mengurus kebijakan. Makin ke bawah makin tahu detail teknis. Kalau di bawah sudah acc, paraf, masak menteri menolak?

Siapa yang mengatur pembagiannya?

Dirumuskan oleh direktur jenderal yang mengelola. Dia merumuskan berapa untuk pemekaran, berapa operasional, berapa buat pemilu legislatif dan presiden. Tak ada aturan baku.

Alokasi untuk kesejahteraan itu termasuk untuk insentif menteri dan pejabat Departemen Dalam Negeri?

Ada.

Bagaimana mencairkannya?

Ditanya dulu, hendak masuk ke rekening atau mau menerima cash. Itu urusan sekretaris direktur jenderal. Tapi itu kan tidak setiap bulan, kadang enam bulan sekali, karena pajak kan masuknya setahun sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus