Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Perempuan di Bawah Titik <font color=#FF9900>0</font>

Perempuan Indonesia pertama pendaki puncak Everest beberapa kali dirawat di rumah sakit jiwa. Oksigen drop diduga ikut mempengaruhi kesehatan jiwanya.

26 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG perempuan berkemeja corak hati kecil warna biru dan celana pendek dari bahan jins asyik menyapu halaman rumahnya di Minggiran, Yogyakarta. Tidak ada yang aneh dalam diri Clara Sumarwati ketika Tempo datang ke rumahnya pekan lalu. Perempuan 44 tahun itu pun berhenti menyapu dan dengan sopan menyambut si tamu.

Kisah tentang Clara menjadi pembicaraan orang karena banyak media menulisnya pekan lalu. Sulit orang menyangka, gadis itu baru sepekan keluar dari Rumah Sakit Jiwa Soeroyo, Magelang, Jawa Tengah. Menurut direktur medik dan keperawatan rumah sakit itu, Bella Patriajaya, Clara sudah sembuh. ”Ia sudah tenang dan diperbolehkan pulang, walau masih harus mengkonsumsi obat dan cek kesehatan setidaknya sekali sebulan. Kesembuhannya sudah 90 persen,” ujar dokter spesialis jiwa lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung, itu.

Kondisi itu berbeda dengan empat bulan lalu. Ketika dimasukkan keluarganya ke rumah sakit, Clara ”liar”. ”Ia gelisah, mengamuk, serta merusak barang di sekitarnya. Meresahkan keluarga dan lingkungan sekitarnya,” kata Bella.

Memang, ini bukan pertama kali Clara menempati salah satu bangsal di rumah sakit jiwa tersebut. Pertama kali pada 1997, setahun setelah Clara mencatatkan diri sebagai perempuan pertama di Asia yang mencapai puncak Everest, Himalaya, Nepal. Lalu, masuk lagi tiga tahun kemudian. ”Keluhannya sama, mengalami gangguan jiwa berat, atau depresi berat dengan gejala psikotik,” ujar Bella.

Clara, menurut Bella, kecewa terhadap lingkungannya. Dia merasa tidak dihargai sebagai pendaki perempuan pertama di Asia yang berhasil menaklukkan puncak Everest itu. ”Banyak yang tidak percaya pada pendakiannya. Penolakan terhadapnya dari keluarga, masyarakat sekitarnya, atau pemerintah menambah beban bagi jiwanya,” kata Bella.

Pertahanan jiwa Clara jebol. Mekanisme mentalnya tak mampu menahan tekanan sehingga timbul masalah psikologis. ”Clara tidak memiliki keturunan gangguan jiwa. Pemicunya psikososial,” ujar Bella. Secara biologis, Clara diberi obat antipsikotik dan antidepresan. Kedua obat itu untuk menstabilkan proses berpikir dan mengembalikan ketenangan jiwanya.

Adapun secara psikososial diberikan psikoterapi dan dicarikan solusi. Dalam kasus Clara, solusinya belum ditemukan, jika masyarakat belum juga bisa menerimanya dengan baik. Dalam ilmu penyakit jiwa, menurut Bella, Clara mengalami gangguan pada ketenangan jiwa, sehingga mempengaruhi proses lainnya seperti proses pikir serta pola perilaku. Sikapnya yang sering sedih, menarik diri, kecewa terhadap keadaan lingkungannya, membuat suasana hatinya terganggu. ”Setiap orang juga bisa menerima gangguan mood. Namun reaksi setiap orang dalam masalah kejiwaan berbeda-beda. Clara, salah seorang yang tak bisa mengontrol mood, sehingga berujung pada gangguan jiwanya,” ujar Bella.

Melihat proses gangguan jiwa Clara terjadi setelah mencapai puncak Everest di ketinggian 8.848 meter, diduga ada faktor lain pada dirinya saat berada di puncak. Karena ada penyakit ketinggian, yakni altitude sickness atau acute mountain sickness, yang menyebabkan gangguan pada bagian kecil sistem saraf di otak bagian belakang. Ketika seseorang berada di ketinggian lebih dari 2.400 meter atau 8.000 kaki, terjadi gumpalan cairan di jaringan otak secara berlebihan. Di ketinggian itu oksigen sangat tipis. Selain gangguan pada otak yang bisa juga menyebabkan gangguan kejiwaan, terjadi gangguan pada fungsi paru-paru. Penyakit ini juga bisa terjadi pada hewan.

Dokter spesialis jiwa dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Irmansyah, juga menguatkan faktor lain terjadinya gangguan jiwa. ”Kekurangan oksigen dan perubahan udara yang drop menyebabkan gangguan fungsi otak. Nantinya mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang,” kata Irmansyah.

Biasanya gangguan itu terjadi dalam hitungan hari sampai beberapa minggu. Namun, jika tak ditangani segera dan ada faktor lain yang memicunya, menurut Direktur Medis Rumah Sakit Khusus Dharma Graha, Serpong, itu, pasien bisa menderita gangguan jiwa dalam hitungan bulan sampai tahun. Istilah penyakit jiwa akibat kondisi fisik yang tengah lemah lalu mengalami gangguan pada fungsi otak itu disebut delirium. Penyebab lain untuk penyakit itu adalah dehidrasi, infeksi, dan putus obat.

Clara, yang namanya tercatat di berbagai buku referensi andal bagi para pendaki dunia, seperti Everest karya Walt Unsworth (1999) dan Everest: Expedition to the Ultimate karangan Reinhold Messner (1999), mengaku sehat saat mendaki Everest. ”Saya diperiksa tiga kali di Indonesia. Di Nepal juga diperiksa lagi, dan saya dinyatakan sehat, baik-baik saja. Tapi entah ada pemeriksaan sakit jiwa atau tidak waktu itu,” kata Clara sambil terkekeh. Cuaca saat itu di puncak Everest minus 30 derajat Celsius.

Butuh 53 hari untuk mencapai puncak Everest, Clara mengaku tidak mengalami penurunan kondisi. Dia mampu melewati enam camp yang ada di sepanjang jalur selatan. Clara mengaku sempat membuka oksigen selama 15 menit ketika hendak mencapai puncak. ”Saat dibuka, pandangan seperti kabur. Melihat orang lain di sekitar saya seperti mengawang saja,” katanya.

Setelah di puncak Everest selama setengah jam, Clara beserta tim lainnya langsung menuruni pegunungan tersebut. Saat itu Clara mengaku staminanya turun. ”Saya merasa seperti lumpuh saat beristirahat di base camp. Namun, setelah beristirahat sehari penuh, kondisi tubuh saya fit lagi,” ujarnya. Saat itu juga Clara diberi obat penguat stamina oleh dokter yang ikut bersamanya.

Pendaki lain dari Indonesia yang juga mencapai puncak Everest setahun setelah Clara, Sersan Kepala Asmujiono, mengaku mengalami beberapa gangguan organ tubuh, antara lain telinga. ”Kuping saya berdenging. Saya juga sempat pusing. Saat berjalan, kepala rasanya mau pecah,” katanya kepada Ibnu Rusydi dari Tempo pekan lalu.

Asmujiono mengakui hampir mengalami acute mountain sickness saat mencapai Island Peak. ”Sakit kepala, mencari denyut nadi tak ketemu. Saya muntah-muntah,” katanya. Bahkan dokter sempat menyarankan tak melanjutkan pendakian, tapi saran itu ditolaknya. Agar terhindar dari penyakit ketinggian gunung itu, setiap sampai di pos, Asmuji tak mau diam. ”Kalau diam sebentar saja, darah tak beredar,” ujarnya. Itulah yang kemudian yang bisa menyebabkan terjadinya gumpalan cairan di otak, yang menyebabkan sistem saraf pada fungsi otak terganggu.

Namun Asmuji, yang menjadi pelatih penyegaran jasmani Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat, mengaku tak sampai mengalami gangguan jiwa seperti Clara. ”Sebab, kami merasa bangga atas sukses ini,” ujarnya. Apalagi tim Kopassus mendapat penghargaan dari institusinya dan pemerintah.

Ahmad Taufik, Sutji Decilya (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus