Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Akal-akalan <font color=#FF9900>Biaya Admin Listrik</font>

Biaya administrasi pada pembayaran tagihan listrik online ditengarai penuh akal-akalan. Kutipan yang dimulai tahun 2000 itu melabrak banyak aturan, termasuk tak meminta izin ke Dewan Perwakilan Rakyat. Penelusuran Tempo bahkan menemukan indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang Antikorupsi. Uang pelanggan Rp 42,5 miliar per bulan—setengah triliun rupiah per tahun—diduga jadi bancakan yayasan dan mitra PLN.

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUIT itu sungguh menggiurkan: Rp 42,5 miliar per bulan. Dalam setahun, duit itu mencapai lebih dari setengah triliun dan cukup untuk membeli empat turbin sekelas pembangkit listrik di Borang, Sumatera Selatan. Inilah ongkos tambahan yang dibayarkan sekitar 17 juta—dari total 40-an juta—pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menggunakan jasa pembayaran secara online melalui bank.

Sepintas, ongkos ekstra itu tak jadi masalah. Sudah lazim bank memungut biaya atas setiap transaksi yang menggunakan fasilitas miliknya. Namanya: fee based income. Tapi bagi Nyonya Mustafa pungutan itu terasa seperti tipu-tipu. Ia tak pernah diberi tahu PLN soal biaya ekstra ini. PLN juga tak memisahkan kuitansi biaya tambahan itu dan struk setrumnya, yang per bulan rata-rata Rp 150 ribu.

Warga Ciledug, Tangerang, itu baru ngeh ada biaya ini setelah Tempo meminta ia memeriksa struknya. Di kuitansi tertulis: biaya admin Rp 1.500. ”Selama ini, saya hanya melihat total biaya yang harus dibayar,” ujar perempuan 50 tahun yang membayar di loket PLN di dekat rumahnya itu, Senin pertengahan bulan lalu.

Toh, banyak juga pelanggan PLN yang awas. Mereka menebar protes: ke koran dan majalah, ke yayasan perlindungan konsumen, atau berkeluh-kesah kepada anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat seperti di Magelang, Jawa Tengah.

Penelusuran Tempo menemukan, biaya daring (dalam jaringan)—bahasa Indonesia untuk kata online—itu telah melanggar banyak aturan. Advokasi Konsumen Listrik Indonesia bahkan punya tudingan gawat. ”Praktek ini diduga korupsi. Ada pemaksaan dan ada pihak yang diperkaya oleh praktek ini,” ujar Yunan Lubis, ahli hukum kelistrikan dan sekretaris jenderal lembaga swadaya masyarakat itu.

l l l

Perusahaan listrik pelat merah itu semula menamai sistem online ini PraQtis atau Pembayaran Tagihan Listrik Fleksibel dan Otomatis. Sistem yang mengubah pembayaran konvensional ini diluncurkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro pada peringatan Hari Listrik Nasional, 27 Oktober 2000.

Gagasan menerapkan PraQtis sebenarnya sudah muncul pada 1992, ketika PLN dipimpin Muhammad Zuhal. Idenya dari Azis Sabarto dan Supanca Siswamartana. Azis kala itu Wakil Direktur Tarif dan Niaga, sedangkan Supanca adalah Kepala Dinas Pelayanan Pelanggan PLN Pusat.

Cita-cita PraQtis sesungguhnya cukup mulia. Manajemen PLN menganggap cara konvensional rawan korupsi, ruwet, dan rentan dirampok pada saat uangnya dibawa dari loket ke bank. Dengan online, transaksi lebih praktis, mudah, dan aman. Sayangnya, kata Azis, gagasan itu butuh duit tak sedikit. Berapa? Ia enggan menyebut angkanya. ”Yang jelas, PLN tak mampu membiayai,” ujarnya.

Pucuk dicita, ulam tiba. Pada 1998, PT Sarana Yukti Bandhana menawarkan pembuatan sistem pembayaran listrik online. Gratis!

PT Sarana berdiri pada Desember 1989 dan dimuat dalam lembaran negara pada 1990. Mulanya, perusahaan ini memiliki modal dasar Rp 500 juta dan modal disetor Rp 100 juta. Akta tersebut kemudian diubah dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2003. Intinya, modal dasar dinaikkan menjadi Rp 7,8 miliar dan modal disetor Rp 1,95 miliar.

Di akta perusahaan ini, pemegang saham terbesarnya adalah PT Chitraputra Lokasemesta. Pada lembar pembetulan dalam berita negara tentang Chitraputra pada 1995 disebutkan bahwa komisaris utama perusahaan ini adalah Soebiakto Prawirasoebrata. Ia mantan Gubernur Lemhannas dengan pangkat terakhir letnan jenderal TNI. Ia meninggal pada 1997, sebelum PT Sarana berhubungan dengan PLN.

Menurut Azis, waktu itu sebenarnya ada beberapa perusahaan yang menawarkan sistem pembayaran online kepada PLN. Tapi mereka meminta imbalan Rp 2.000-3.000 per transaksi. ”Hanya PT Sarana yang tak meminta uang,” kata Azis. ”Sarana juga kebetulan memiliki pengalaman membangun jaringan pos.”

Deal. Pada 2 Oktober 1998, kontrak diteken, berlaku untuk jangka lima tahun. Draf final perjanjian itu mencantumkan penanda tangan dari pihak PLN adalah Eddie Widiono, kala itu Direktur Pemasaran dan Distribusi PLN Jakarta dan Tangerang. Sedangkan penanda tangan dari PT Sarana diwakili direkturnya, Mayor Jenderal (Purnawirawan) TNI Otty Soekotjo. ”Saat perjanjian diteken, tak ada perubahan penanda tangan perjanjian itu,” ujar Supanca.

Tentu saja tak ada makan siang gratis. Sarana memang tak meminta ongkos online itu kepada PLN. Perusahaan ini akan membebankan pungutan itu ke pelanggan via bank yang menjadi mitranya. Uang itu dibayar konsumen bersamaan dengan tagihan listrik di bank itu.

Bila pelanggan atau bank ogah? Kajian Tempo menemukan, pelanggan dan bank tak punya pilihan lain. Kepada PT Sarana, PLN memberikan seluruh data pelanggannya. Selain mencederai ”perjanjian” jual-beli listrik dengan konsumen, ini sama saja memberikan hak monopoli kepada PT Sarana. Harusnya, sebagai data switcher, PT Sarana hanya mengatur lalu lintas data pelanggan antara PLN dan bank.

Ini dibantah Azis. Menurut dia, PT Sarana cuma ”mengontak” server PLN dua kali sehari: pagi untuk mengunduh data pelanggan yang langsung diteruskan ke bank, dan sore untuk mengunggah informasi pembayaran.

Pernyataan Azis ini berbeda dengan pengakuan Djohan Sutanto, Chief Operating Officer PT Sarana. Ia membenarkan adanya pemberian hak eksklusif atas data pelanggan PLN itu. Ia mengatakan PLN waktu itu menyerahkan semua data pelanggan untuk dikelola PT Sarana. Direktur PLN untuk Jawa-Madura-Bali, Murtaqi Syamsuddin, idem ditto dengan Djohan.

Belakangan, kata Murtaqi, PLN menyadari data pelanggan tak boleh diserahkan ke pihak ketiga. ”Karena itu, kami menarik kembali data itu ke server PLN,” kata Murtaqi. Sayangnya, data itu baru ditarik kembali ”sekitar 2007”. Alhasil, selama periode itu, jika bank ingin membuka layanan pembayaran listrik, ya, harus lewat Sarana.

Padahal, pada mulanya, Sarana hanya memiliki kesempatan menguasai data tersebut sampai 2003. ”Rencananya seperti itu. Lima tahun pertama hanya PT Sarana ” ujar Supanca. Eh, ketika kerja sama itu diperpanjang untuk lima tahun kedua (2 September 2003 sampai 1 September 2008), Sarana tetap menguasai data sekaligus masih memegang hak monopoli atas pembayaran tagihan listrik secara online.

Eddie Widiono—tatkala perpanjangan kerja sama itu diteken menjabat Direktur Utama PLN—tak bersedia ditemui untuk dimintai tanggapan. ”Saya sudah tidak di PLN lagi,” ujarnya pekan lalu ketika dihubungi via telepon.

Gara-gara konsensi ini, beberapa bank merasa PT Sarana “main kayu” dalam menjajakan jasanya. ”Mereka main ’injak kaki’,” ujar seorang bankir. ”Tak cuma itu, mereka juga membawa-bawa nama Pak Mochtar atau Eddie.” Yang dimaksud adalah Mohammad Mochtar Wiryo, bekas Direktur Administrasi PLN, dan Eddie Widiono.

Namun tudingan itu dibantah Djohan. Saat ditemui di kantor PT Sarana, Gedung S. Widjojo Center, Sudirman, Jakarta, bos PT Sarana itu membantah perusahaannya memaksa bank. Mochtar, yang menemani Djohan dalam wawancara tersebut, juga menolak disebut ”membekingi” PT Sarana di tahun-tahun awal. ”Saya sudah pensiun dari PLN waktu itu. Di Sarana saya baru menjadi senior advisor pada 2004,” katanya.

Bank juga mengeluhkan pelbagai pungutan oleh PT Sarana. Seorang bankir senior bercerita, pungutan itu meliputi joining fee Rp 150 juta, iuran bulanan Rp 5 juta, dan Rp 1.500 per transaksi. ”Alasannya, mereka menjual data,” katanya. Pungutan PT Sarana itu, menurut sang bankir, berimbas pada besaran biaya admin pelanggan.

Lagi-lagi Djohan menampik pihaknya memungut terlalu banyak dari bank. Menurut dia, biaya Rp 150 juta hanya deposit, yang akan dikembalikan jika kerja sama berakhir, sedangkan Rp 5 juta biaya jaringan telekomunikasi. ”Wajar dong ada biaya itu. Kami investasi sangat besar,” katanya. Berapa? Djohan tak bersedia menyebut nilainya.

Tapi ia mengatakan salah satu hal yang paling menyedot investasi adalah pengadaan peranti lunak. Software itu awalnya tidak dibuat sendiri, melainkan di-outsourcing ke perusahaan lain. Namun ia merahasiakan nama perusahaan itu.

Tempo mendapatkan nama mitra PT Sarana itu dari Supanca, yakni Jatis, salah satu provider teknologi informasi terkemuka di Indonesia. ”Jatis menyiapkan software itu selama dua tahun hingga go live pada 2000,” ujarnya.

Ini kerja sama yang tak mulus. Riwayatnya tercatat di Badan Pengawas Pasar Modal. Ketika Jatis berencana go public pada 2005, PT Sarana mengadu ke badan itu dan menyatakan Jatis masih berutang software otomasi pembayaran pelanggan kepada PT Sarana. Jatis—yang belakangan batal naik lantai bursa—tak terima dan membawa aduan itu ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Jatis balik menuding PT Sarana menggunakan software miliknya secara ilegal karena pembayaran bagi hasil yang disepakati berjalan byar-pet.

Djohan tak bersedia menanggapi sengketa itu. ”Sudah tuntas. Semua sudah selesai,” ujarnya. Petinggi Jatis juga menolak memberikan keterangan. Meminta informasi dari Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia Priyatna Abdurrasyid juga sia-sia. ”Saya tidak bisa bicara. Dilarang undang-undang,” katanya.

Supanca juga tak banyak tahu soal hubungan Sarana-Jatis ini. Seingat dia, Jatis masih di PT Sarana untuk pemeliharaan software hingga 2004. ”Sesudah itu, Sarana merekrut programer jebolan Jatis.”

Padahal riwayat sengketa itu penting untuk menguji silang kisah byar-pet sistem daring PT Sarana. Soalnya, seorang staf teknologi sebuah bank pemakai layanan online itu bercerita, pada masa awal, sistem daring itu suka ngadat dan bikin repot.

Soal keandalan sistem daring juga menjadi perhatian Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam pemeriksaan pada 2004 atas kontrak PLN-PT Sarana, badan ini menemukan kesepakatan tersebut tak mengatur sanksi jika daring itu ngadat. Tak ada klausul persentase keberhasilan atau gangguan untuk mengukur kinerja PT Sarana—alih-alih denda. Alhasil, dalam rekomendasinya, Badan Pemeriksa Keuangan meminta PLN mengawasi kontrak lebih ketat.

Selama delapan tahun, 1998-2006, PT Sarana memonopoli data PLN. Ketika layanan ini dimulai pada 2000, Sarana masih ”berdarah-darah”. ”Yang menyediakan layanan via Sarana cuma dua bank. Yang bayar via bank ini hanya satu-dua, cuma pegawai PLN,” ujar Supanca.

Pada 2001, jumlah bank yang jadi mitra Sarana tujuh buah dengan jumlah transaksi per bulan rata-rata 20 ribu senilai Rp 30 jutaan. ”Sarana masih rugi hingga 2003,” ujar Supanca. Kala itu, 17 bank bergabung dengan Sarana, dengan jumlah transaksi 400-an ribu per bulan, senilai Rp 600 juta.

Sejak 2004, perolehan Sarana membaik. Kini, Sarana telah menggaet empat juta pelanggan yang membayar pada puluhan bank dan kantor pos. Uang pelanggan yang disedot bank yang jadi mitra Sarana diperkirakan lebih dari Rp 10 miliar per bulan.

Pada 2006, PLN mulai menggandeng dua data switcher lain: Arta Jasa dan Cash Mobile. Ini lebih cepat dua tahun dari masa berlaku perjanjian kedua PLN dengan Sarana. Mengapa? Kata Murtaqi, PLN takut dituding memberikan monopoli kepada PT Sarana. Alhasil, pada 2008, switcher data PLN, termasuk Sarana, menjadi 12 perusahaan. Jumlah bank juga membengkak menjadi 31. Pada 2008, PraQtis menghilang, berganti Payment Point Online Bank.

Celakanya, pungutan biaya admin bank tidak ikut hilang. Itulah yang memicu protes.

Tjatur Sapto Edy, anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, yang mengaku baru tahu ada pungutan ini setelah dilapori konstituennya di Magelang, menilai biaya administrasi bank itu menyalahi aturan. Sebagai pungutan dari perusahaan negara yang ditugasi menjalankan public service obligation, ”Biaya ini harus atas persetujuan DPR,” katanya. Tapi, menurut politikus Partai Amanat Nasional yang ikut membahas tarif dasar listrik 2004 itu, tak sekali pun PLN menyinggung soal pungutan ini.

”Itu karena tarif tersebut domain bank,” kata Murtaqi, yang menerima Tempo di kantornya bersama Direktur Keuangan PLN, Setio Anggoro Dewo. Murtaqi menganggap biaya administrasi wajar karena pelanggan memakai jasa bank dan jasa switching company. Tapi, menurut Head of Marketing Communication BCA Dendi T. Danianto, lazimnya yang menanggung bukan pelanggan. ”Biasanya memang yang menanggung perusahaan mitra,” katanya melalui faksimile. Contohnya, pembayaran telepon online PT Telkom—sama-sama perusahaan negara—tapi bisa bebas biaya admin (lihat ’Toilet’ Bayar Sendiri).

Menurut Murtaqi, hubungan PLN-pelanggan bersifat perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata dia, mengatur bahwa yang punya piutang berhak menentukan cara bayar dan pengutang membayar semua cara itu.

Masalahnya, hubungan perdata terjadi melalui sebuah kesepakatan. “Pelanggan kan tidak dimintai persetujuan dalam soal ini, juga tidak diberi tahu,” kata Yunan Lubis.

Inilah mengapa Nyonya Mustafa, dan mungkin juga Anda, merasa—itu tadi—PLN main tipu-tipu tagihan listrik. ”Itu memang salah PLN. Saya sudah mewanti-wanti agar PLN mensosialisasi ini dan mencantumkannya pada perjanjian dengan pelanggan,” kini Azis mengeluh.

Prosedur pungutan ini pun melanggar Keputusan Menteri Energi Tahun 2003 tentang Ketentuan Harga Jual Listrik 2004. Keputusan itu mengatakan, jika PLN melakukan pungutan ”untuk dan atas nama instansi lain”, bukti setoran harus dipisahkan dari kuitansi tagihan listrik.

Tapi, yang terjadi, tarif listrik dan biaya administrasi menyatu dalam satu tanda terima. Dalam naskah perjanjian PLN dengan salah satu bank yang dikantongi Tempo, biaya administrasi itu dikategorikan ”tagihan lainnya”. Definisinya: ”…tagihan selain tagihan listrik yang wajib dilunasi Pelanggan bersamaan dengan tagihan listrik.”

Jadilah, ketika membayar listrik, pelanggan wajib membayar biaya administrasi. Jika tak mau bayar biaya administrasi, tidak bisa bayar listrik. ”Itu sama artinya dengan memaksa,” kata Tulus Abadi, aktivis Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

Murtaqi menegaskan loket pembayaran listrik gratis masih ada.

Tempo berkeliling Jakarta, Banten, dan Bekasi untuk mengeceknya. Loket gratis ternyata banyak beralih menjadi loket online atau perpanjangan tangan bank. Begitu juga koperasi-koperasi unit desa yang dulu menangani pembayaran konvensional. Loket gratis makin sedikit dan susah dijangkau.

Misalnya loket kantor PLN Menteng di Gambir, Jakarta Pusat. Loket yang dulunya gratis itu kini digunakan Bank Mandiri dari Senin hingga Jumat. Kalau mau gratis, pelanggan harus datang pada Sabtu, antara pukul 08.00 dan 10.00. Di loket PLN Ciledug malah loket gratis itu tak ada lagi. Setiap pelanggan wajib membayar Rp 1.500. ”Tak ada yang gratis sekarang,” kata seorang petugas loket .

l l l

Dalam perjanjian PLN dengan Sarana, juga tersembul imbal balik buat perusahaan listrik negara itu. Kedua pihak sepakat: PT Sarana akan memberi PLN golden share. Alasannya, ”Ini bisnis legit (manis),” ujar Supanca. ”PLN juga ingin mendapat bagian dari keuntungan Sarana,” katanya.

Anehnya, saham itu justru diserahkan ke Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan PLN. Pada Desember 2003, besar saham Yayasan di Sarana lima persen. Lalu muncul keanehan lain. Pada 2003 itu pula Supanca, yang ketika itu masih menjadi pegawai aktif PLN, ditunjuk menjadi penanggung jawab operasional Sarana selama dua tahun. ”Ada penugasan dari PLN. Saya di sana untuk pengoperasian. Membesarkan online-nya, karena sampai 2003 Sarana masih rugi,” kata Supanca.

Situasi ini jelas membingungkan. PLN bukanlah pemegang saham Sarana. Perusahaan itu rugi atau untung mestinya tak berkaitan dengan PLN. Kalaupun PLN berhubungan dengan Sarana, ujar anggota Komisi Listrik DPR Tjatur Sapto Edy, mestinya hanya untuk urusan pembayaran tagihan listrik. Ketika Tempo meminta konfirmasi soal ini kepada Murtaqi, setengah bercanda ia mengatakan, ”Saya belum lahir ketika itu.”

Kerugian Sarana juga menyisakan pertanyaan: bukankah dengan demikian juga tidak ada aliran dividen ke Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan PLN, setidaknya hingga 2003? Berarti pula manfaat dari kehadiran Sarana untuk Yayasan seperti yang diinginkan manajemen PLN itu tidak tercapai hingga tahun itu. Lalu, ketika Sarana mulai untung pada 2004, ke mana uang Yayasan dipakai? Eddie Widiono, yang kala itu menjadi Ketua Dewan Pengawas Yayasan, tak bersedia memberikan keterangan.

Namun, bagi Yunan, tak perlu tahu aliran uang untuk mengindikasikan adanya korupsi. Dalilnya: Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Pasal 12. Di sana disebutkan korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain dengan cara memaksa pihak lain memberikan sesuatu, membayar, atau memberikan diskon. Dalam kasus ini, konsumen terang sudah membayar sesuatu yang mestinya bukan menjadi bebannya.


Terobosan Berbuah Pungutan

Sebelum 1970
Rekening listrik ditagih dari pelanggan satu per satu, kemudian disetor ke PLN.

1970
Lahir ketentuan tentang penataan data pelanggan. Pembayaran listrik melalui loket PLN.

1980
PLN mulai menjalin kerja sama dengan bank dan koperasi unit desa. Mulai diperkenalkan sistem komputerisasi dalam penagihan.

1996
PT Sarana Yukti Bandhana berdiri pada 1989 dengan modal Rp 500 juta—merancang jaringan antarbank MLPO-Qnet.

1998
Sarana Yukti Bandhana menawarkan konsep online untuk pembayaran rekening listrik. Sarana dan PLN menandatangani kontrak kerja sama selama lima tahun.

2000
Produk perdana diluncurkan di Jakarta-Tangerang pada Hari Listrik 27 Oktober. Dinamakan PraQtis generasi I, dimulai di dua bank, pelanggan mulai dibebani biaya administrasi.

2001
Jumlah bank nasional yang bergabung mencapai tujuh bank.

2002
PraQtis generasi kedua diluncurkan. November 2002, jumlah bank yang terlibat mencapai 11 bank.

2003
PLN Jawa Barat bergabung, dimulai dari Area Pelayanan Depok, Oktober. Selanjutnya diikuti oleh Distribusi Jawa Tengah.

2004
PLN Jawa Timur bergabung dalam sistem PraQtis.

2006
Kantor pos dan 31 bank bergabung dalam sistem PraQtis. Sarana Yukti tidak lagi sendirian, ada Arta Jasa dan Cash Mobile.

2008
PLN membangun data center sendiri dan mengambil alih semua data tagihan pelanggan dari Sarana Yukti. Switching company menjadi 12 perusahaan. PraQtis berubah menjadi Payment Point Online Bank.

’Toilet’ Bayar Sendiri

PERUSAHAAN Listrik Negara bukan satu-satunya badan usaha negara yang menyediakan layanan pembayaran via bank. Telkom pun melakukan hal yang sama. Tapi cuma PLN yang membebankan biaya admin—dari transaksi daring hingga kebersihan toilet bank—kepada pelanggannya.

PLN
Biaya bank, jasa switching provider, dan jasa-jasa lainnya dibayar langsung oleh konsumen. Besarnya biaya itu bervariasi, ditetapkan oleh bank, berkisar Rp 1.500-Rp 15.000.

Telkom Biaya administrasi bank, jasa switching provider, dan biaya-biaya lainnya dibayar Telkom.

Dua Sarana, Apa Bedanya

HINGGA 2006, hanya ada satu switching provider dalam sistem pembayaran online di PLN. Namanya PT Sarana Yukti Bandhana. Perusahaan ini tak cuma menjadi pihak ketiga yang mengatur lalu lintas data antara PLN dan bank, tapi PLN menyerahkan data tagihan listriknya untuk dikelola PT Sarana. Biaya akses data dari bank menjadi pendapatan PT Sarana Yukti. Ini mirip yang terjadi pada Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang dikelola PT Sarana Rekatama Dinamika dan tengah disidik Kejaksaan Agung.

Konsumen Pusat data konsumen Instansi
Notaris----->
<---->
PT Sarana
Rekatama
Dinamika
Koperasi
Departemen
Hukum
<----->Departemen
Hukum
Sisminbakum
Pelanggan PLN----->
 <----
PT Sarana
Yukti Bandhana
<----->PLN
Sistem
pembayaran
online

Yang Dilanggar PLN

SISTEM online pembayaran listrik membuat transaksi menjadi lebih efisien dan tak gampang diselewengkan. Pelanggan juga diuntungkan karena bisa membayar listrik kapan pun, di mana pun. Sayangnya, sistem ini diduga melanggar sejumlah aturan.

Konsumen

  • Tidak ada persetujuan pelanggan tentang mekanisme pembayaran online dan risiko biaya yang harus ditanggungnya (Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1998)
  • PLN tidak meminta persetujuan DPR untuk tambahan pungutan biaya administrasi online (Keputusan Presiden Tahun 2003 tentang Tarif Dasar Listrik)

    Loket Berbayar

    Loket Gratis

  • Jumlahnya dikurangi, memaksa pelanggan membayar di loket online (Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1998)

    Bank

  • Biaya tagihan listrik dan tagihan lainnya (administasi bank) dipisah langsung oleh bank. Seharusnya, semua biaya disetorkan ke PLN lebih dulu dalam rekening terpisah. PLN kemudian membayarkannya ke pihak lain (Kepmen ESDM Nomor 1616K/36/MEM/2003)
  • PLN lepas tangan mengenai besaran biaya administrasi bank. Seharusnya, PLN melindungi hak konsumen. Pada perjanjian PLN-bank hanya disebut bank harus mengenakan tarif wajar (Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1998)

    Penyedia/pengelola akses data

  • Tidak ada persetujuan pelanggan tentang data dirinya untuk dikelola pihak lain (Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1998)
  • Pada 1998-2007, PLN menyerahkan data pelanggannya kepada PT Sarana Yukti Bandhana (Undang-Undang Antimonopoli 1999)

    PLN

    Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan Karyawan PLN


    TIM INVESTIGASI

    Penanggung Jawab: Yosep Suprayogi, Mardiyah Chamim
    Kepala Proyek: Nunuy Nurhayati
    Penyunting: M. Taufiqurohman, Wahyu Muryadi, Yosep Suprayogi, Mardiyah Chamim
    Penulis: Nunuy Nurhayati, Philipus Parera, Bagja Hidayat, Yosep Suprayogi
    Penyumbang Bahan: Ismi Wahid, Philipus Parera, Nunuy Nurhayati, Bagja Hidayat, Yosep Suprayogi, Ali Nuryasin
    Fotografer: Nickmatulhuda
    Riset Foto: Bismo Agung
    Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho
    Desain: Hendy Prakasa.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus