Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROYEK raksasa selalu mendatangkan ilusi bergunung-gunung laba. Tak terkecuali Kota Baru Bandar Kemayoran, yang terhampar di bibir Teluk Jakarta. Salah seorang yang te-rus menggemburkan bayangan panen emas dan karisma di wilayah bekas bandar udara internasional itu bernama The Hok Bing. Ia pernah punya restoran makanan laut ”Jumbo” di Mal Pluit, yang sekarang tutup setelah tempat itu sekali waktu direndam banjir. Tetapi restoran hanyalah bisnis selingan di benak lelaki itu yang selalu dibanjiri ide utilitarianisme yang direvisinya menjadi sangat praktis: untung sebesar-besarnya, dengan modal secekak-cekaknya.
Jika Anda merasa nama pengusaha asal Blitar, Jawa Timur, ini deja vu, pernah mampir di telinga, Anda tak keliru. Pada penghujung tahun 2003, The Hok Bing sempat membuat kalangan Istana merinding karena memantik kontroversi nasional. Idenya menggandeng Mohamad Rizki Pratama, putra sulung Megawati Soekarnoputri yang biasa dipanggil Tatam, sebagai mitra menjadi bumerang bagi ikrar politik Megawati untuk membasmi nepotisme di Indonesia. Bersama Tatam, Bing mendirikan PT Theda Pratama—sebelum berubah wajah menjadi Theda Persada Nusantara (TPN) hanya dalam hitungan bulan.
Dua Theda dengan satu Hok Bing—dia sebagai direktur utama dan Tatam sebagai wakil komisa-ris utama—juga mengincar kawasan yang sama: janin kota internasional Kemayoran. Inilah sepetak wilayah yang diyakini The Hok Bing bisa mengibarkan nama-nya menjadi taipan muda next generation setelah era Liem Sioe Liong atau James Riady. Jangan lupa, Hok Bing masih lebih muda dibanding dua nama itu. Umurnya baru 42 tahun.
Tapi Bing bukan siapa-siapa. Penelusuran Tempo di Jawa Timur tidak menemukan Bing sebagai peng-uasaha lokal yang dikenal, apalagi moncer. ”Saya tidak tahu. Saya akan tanya kiri-kanan siapa orang ini,” kata Koordinator Forum Komunikasi Masyarakat Tionghoa Surabaya, Sidharta Adhimulya. Sumber Tempo di kalangan pengusaha Jawa Timur lainnya juga menggeleng ketika nama Bing disebut.
Bagaimana Tatam bisa terpikat ikut berseluncur di sektor konstruksi dan properti yang belum dikenal- luas sebagai keahlian The Hok Bing? ”Saya mengenalnya sebelum ibu menjadi Ketua Umum PDIP, di Jawa Timur, pada acara peringatan Bung Karno, di-kenalkan oleh seorang teman,” ujar Tatam dalam jawaban tertulisnya kepada Tempo (lihat, Saya Tidak Memanfaatkan Jabatan Ibu). Artinya, motif bisnis bukanlah buhul yang menyatukan mereka. Dan ”seorang teman” yang dimaksudkan Tatam itu tak lain dari mantan fungsionaris PDIP yang kini hengkang dari kandang banteng bulat itu. Tapi penelusuran Tempo menunjukkan, istri The Hok Bing bernama Lili Yuliati, seorang sarjana ekonomi yang juga lahir dan besar di Blitar, bergaul cukup erat dengan keluarga proklamator itu.
Walhasil, ketika Megawati naik ke pucuk pimpinan nasional, otak bisnis Hok Bing ikut berdenyar-denyar. Terhadap pertanyaan Tempo mengapa ia meng-ajak putra presiden yang sedang berkuasa sebagai partner bisnis, The Hok Bing memberikan jawaban tertulis yang tak terlalu jelas maknanya, ”Ya, karena TPN didirikan berdasarkan kesepakatan bersama para pendiri untuk pengembangan usaha” (lihat, Ini Semata Pertimbangan Bisnis).
Selain Tatam, Bing juga menggaet bekas Kepala Kepolisian Jawa Timur sebagai mitra. Alih-alih menjadi kompanion bisnis, trio Bing-Tatam-Pak Kapolda menunjukkan perselingkuhan uang dan kekuasaan dalam wujud yang teramat telanjang. Di atas kertas, di luar Dana Pensiun Perkebunan, komposisi modal ketiganya adalah 40:40:20. ”Tapi sebenarnya itu saham bodong. Bapak hanya dimanfaatkan The Hok Bing,” kata kalangan dekat Kapolda itu. Baik Tatam maupun Pak Kapolda belakangan mundur dari usaha ini setelah merasa nama baiknya dicemarkan.
Sebuah konspirasi politik? Mungkin juga tidak. Buktinya, setelah Panitia Kerja Gelora Bung Karno dan Kompleks Kemayoran Komisi I DPR, yang dike-tuai Effendy Choirie, ikut menggebuk keberadaan Tatam di Kemayoran, lelaki berusia 37 tahun ini akhir-nya mundur dari Theda. Dalam laporan yang dikeluar-kan Agustus 2004 itu, Panitia Kerja juga menyodok Badan Pengelola Kompleks Kemayoran (BPKK) yang dike-tuai Menteri Sekretaris Negara Bambang Kesowo, dan organ pelaksana di bawahnya yaitu Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangunan Kompleks Kema-yoran (DP3KK) yang diketuai Abdul Muis.
Panitia Kerja menilai status hukum Badan Pengelola masih belum sesuai dengan peraturan perundang-an-undangan karena masih bercampur dengan birokrasi. Seharusnya bisa berbentuk perum atau persero bila ingin lincah berbisnis. Sementara itu, terhadap DP3KK—untuk selanjutnya kita sebut saja Pengendali Kemayoran—Panitia Kerja menilai lembaga ini hanya sarana untuk menampung pensiunan aparat pemerintah, sehingga tidak profesional.
Contoh yang paling terasa adalah Pengendali Kemayoran tidak mampu memasarkan atau mempromosikan Kemayoran secara transparan. Akibatnya, kesempatan untuk menanam modal dari beberapa investor tidak berdasarkan unsur kompetitif, melainkan lebih disebabkan kedekatan dengan penguasa-. Bambang Kesowo, sayangnya, tak mau memberikan keterangan on the record soal ini—meski hampir tiga jam ia menemui Tempo di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu dua pekan lalu.
Meski ”digebuk” rekomendasi Panitia Kerja, The Hok Bing pantang surut. Beberapa saat sebelum Tatam mundur, The Hok Bing sudah lebih dulu sukses merangkul PT Dana Pensiun Perkebunan (Dapenbun) yang sintal karena memiliki banyak dana segar. Berdasarkan audit Akuntan Publik Abdi Ichjar per 31 Desember 2002, jumlah aktiva bersih Dapenbun adalah Rp 2,13 triliun. Kepada Direktur Utama Dapenbun saat itu, Samingoen, The Hok Bing menebar kisah bahwa ia mendapat kepercayaan Sekretariat Negara mengelola gedung Non-Alliance Movement (NAM) Center di Kemayoran, yang dibangun 28 ne-gara dan pemanfaatannya dikoordinasikan oleh Departemen Luar Negeri dan Sekretariat Negara.
Tergiur oleh proyeksi laba yang bisa mendongkrak kesejahteraan Dana Pensiun Perkebunan, Samingoen mulai menggelontorkan dana perusahaan yang dikumpulkan dari setiap tetes keringat pegawai perkebunan itu. Hingga akhir Maret lalu, ditaksir sekitar Rp 325 miliar dana Dapenbun raib dalam kerja sama yang absurd ini (lihat, Patgulipat Kocek Pensiunan).
Padahal kesepakatan awal yang dibuat adalah bahwa Theda Pratama dan Dapenbun memulai usaha dengan modal Rp 12 miliar, masing-masing menyetor- separuhnya. Sementara Dapenbun menepati janji-, penelusuran Tempo menemukan bahwa The Hok Bing hanya menyertakan saham kosong berdasarkan penilaian atas tanah miliknya di Pondok Cabe, yang didongkrak hingga bernilai sekitar Rp 5 miliar. ”Bohong itu kalau dia bilang menyetorkan modal Rp 6 miliar di awal usaha,” ujar sumber Tempo yang terlibat dalam proses awal berdirinya Theda.
Dengan baju Theda, The Hok Bing mencoba ber-kongsi dengan pengusaha asal Beijing, Li Zhaoling, Direktur Organization and Beijing Returnees Overseas Chinese Federation Partners, yang berkantor di kamar 346 Prime Hotel, Beijing. Tak jelas bagaimana- kredibilitas Nyonya Zhaoling ini. Tapi ia sempat menjanjikan akan mengguyur Theda de-ngan stand-by letter of credit paling sedikit $ 700 juta. Dengan tambahan injeksi modal itu, niat The Hok Bing membangun Chinese Center, hotel, perkantoran, pusat belanja, sarana olahraga, dan rumah sakit di kawa-san 17,6 hektare semakin dekat dengan kenyataan.
Tim Theda bahkan melakukan studi banding ke Beijing untuk melihat model tiap-tiap properti. Untuk- pengelolaan rumah sakit, sudah diplot Dr Sutianto Suryali sebagai direktur. Namun, setelah rencana awal pembentukan Chinese Center gagal, dan Theda menjalani ”operasi plastik” menjadi Oceania Development. Suryali kini didudukkan The Hok Bing sebagai presiden di perusahaan baru itu (lihat Bukan Sekadar Salah Urus).
Melalui dua perjanjian kerja sama pembangun-an antara Theda dan Badan Pengelola yang diteken pada 18 dan 19 Desember 2003 dan rencana investasi sebesar Rp 3,77 triliun, Theda mengajukan tambahan penguasaan areal menjadi 40 hektare. Agar tak terlihat- agresif mencaplok kawasan itu, Theda lebih- dulu masuk dengan keinginan membeli 70 unit apartemen seharga Rp 21,25 miliar yang merupa-kan hasil pembayaran sebuah perusahaan lainnya, PT Duta Adhiputra, kepada Pengendali Kemayoran dalam dua tahap (lihat Dari Apartemen, The Hok Bing Melangkah...). Namun, dari langkah awal ini saja, kepiawaian The Hok Bing dalam mengutak-atik angka sudah terlihat.
Berdasarkan memo intern Direktur Pengusahaan Tanah dan Jasa Badan Pengelola, Nur Irsjadi Hassan, kepada Ketua Direksi Abdul Muis bertanggal 15 Agustus 2003, harga nilai jual obyek pajak (NJOP) 2003 untuk ke-70 unit itu adalah Rp 42,8 miliar de-ngan nilai saat penyerahan Rp 30,8 miliar. Artinya, beralihnya penguasaan ke-70 apartemen Taman Kemayoran Kondominium itu ke tangan Theda menyebabkan negara dirugikan Rp 9,55 miliar. Angka ini praktis sama dengan laporan Panitia Kerja yang menyebutkan kerugian negara sebesar Rp 9,617 miliar.
Diabaikannya memo tersebut oleh Muis tak pelak membuat Hassan merasa ditelikung. Itu, ”Akibat gaya kepemimpinan one man show,” ujar Hassan (lihat Pembocor di Bawah Lampu). Soal ini, Muis memberi keterangan pendek, ”Urusan teknis dilakukan oleh Semeru Soekarno dan tim. Saya ikut saja apa kata mereka,” katanya. Semeru adalah Ketua Badan Pengelola yang sekarang.
Sekitar 10 hari sebelum memo intern Hassan ke-luar, pada 4 Agustus 2003 Badan Pengelola memang membentuk Tim Evaluasi Pembelian Apartemen- yang di-ketuai Semeru Soekarno dengan empat -anggota. Berdasarkan surat keputusan ketua lembaga itu pada 9 Agustus 2003, ketua tim mendapat honor Rp 1 juta, sedangkan keempat anggota mendapat masing-masing Rp 800 ribu. Bukan jumlah yang memadai, memang, untuk transaksi puluhan miliar rupiah. Namun, ketika tim Badan Pengelola dirombak oleh Menteri Sekre-taris Negara Yusril Ihza Mahendra pada 5 Agus-tus- 2005 yang menyebabkan Muis dan Hassan lengser, Semeru melejit naik menggantikan posisi Muis. ”DP3KK punya sistem yang profesional. Ini bukan soal siapa yang terlempar,” ujar Semeru.
Adakah peran The Hok Bing dalam pergantian personel itu? Entahlah. Tapi kondisi di Dapenbun setelah disedotnya ratusan miliar dana mereka ke dalam Theda membuat Dirjen Lembaga Keuangan Darmin Nasution mencium ada yang tak beres. Lewat sebuah gelar perkara Tim Pemeriksa Departemen Keuangan pada Februari 2005, borok Dapenbun terbuka dan menyebarkan bau tak sedap. Tabloid Kontan, 7 Februari 2005, mengutip Dumoli Pardede, Ketua Unit Pemeriksa Dana Pensiun Perkebunan. ”Kondisi (saham)-nya tetap sama, yakni separoan. Padahal partner kerja (Theda Pratama—Red) tidak keluar duit,” ujar Dumoli.
Setahun berlalu dan tidak ada yang berubah dari praktek patgulipat itu. Uang, kekuasaan, dan akal bulus adalah trilogi yang tak pernah surut sepanjang zaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo