Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Patgulipat Kocek Pensiunan

Kerja sama seimbang itu berubah menjadi praktek pengisapan. Duit pensiunan perkebunan terus-menerus dikuras.

17 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA bertemu di sebuah kamar di Hotel Borobudur, Jakarta. The Hok Bing, Moha-mad Rizki Pratama, dan Direktur Utama PT Dana Pensiun Perkebunan H. Samingoen.

Ketika itu Juli 2002. Di bawah semprotan pendingin udara, Bing bercerita tentang ”prestasinya-” mendapatkan kepercayaan Sekretariat Negara me-ngelola gedung Non Alliance Movement (NAM) Center- di Kemayoran. Gedung ini dibangun oleh 28 negara dan pemanfaatannya dikoordinasikan oleh Departemen Luar Negeri dan Sekretariat Ne-gara.

The Hok Bing, 42 tahun, pengusaha asal Jawa Timur, lalu mengajak PT Dana Pensiun Perkebunan (Dapenbun) bekerja sama. Proyeknya adalah membangun sebuah sentra bisnis Cina di Kemayoran. Kepada Samingoen, Bing alias Gunawan Witjaksono menjanjikan akan segera mendapat lisensi pemerintah untuk mengelola proyek besar itu.

Proyek besar? Ini bukan pekerjaan sembarangan. Di atas tanah lebih dari 17 hektare, nantinya akan dibangun pusat bisnis Cina senilai hampir Rp 4 triliun. Tak sembarang orang bisa dipercaya Sekretariat Negara menangani proyek prestisius itu. Bing punya modal: ia menggandeng Rizki Pratama, putra Megawati Soekarnoputri, Presiden RI kala itu.

Samingoen kesengsem. Meski kepada Tempo, Bambang Kesowo, Menteri Sekretaris Negara di era Megawati sekaligus Ketua Badan Pengelola Kemayo-ran, menyangkal soal beking-bekingan itu. Rizki juga membantah jadi ”pengawal” Bing (lihat Saya Tidak Memanfaatkan Jabatan Ibu). Adapun Samingoen mengakui pertemuan itu.

Pada 20 Januari 2003, Dapenbun bersama Bing dan Rizki mendirikan PT Theda Persada Nusantara. Enam bulan setelah itu, hak guna bangunan (HGB) 17,6 hektare tanah di lima blok Kemayoran mereka kantongi. Sebagai modal dasar, Dapenbun menyetor- Rp 6 miliar dan Bing menyetorkan surat kepemilikannya atas dua bidang tanah di Pondok Cabe dan Pamulang dengan nilai yang dianggap sama.

Soal mudahnya Theda mengantongi lisensi Kema-yoran dijelaskan Gaguk Nugroho, Direktur Pemba-ngunan Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangu-n-an Kompleks Kemayoran (DP3KK)—selanjutnya kita sebut saja Pengendali Kemayoran—yang kala itu bertanggung jawab menilai proposal proyek. Katanya, yang mengincar tanah itu sebenarnya ada dua: Theda dan PT Ancol Pusaka. Ancol ditolak karena menaksir nilai tanah jauh di bawah nilai jual obyek pajak. Sebaliknya, Theda menghargai tanah itu Rp 480,3 miliar alias Rp 90 miliar di atas nilai pajak.

Theda juga kelihatan mentereng karena, kepada Pengendali Kemayoran, Bing mengatakan ada investor- Cina yang telah menyiapkan dana US$ 700 juta untuk proyek itu. Bukan itu saja, menurut Ketua- Direksi Pengendali Kemayoran, Semeru Soekarno-, ketika mengajukan proposal penawaran, Theda membawa serta deposito milik Dana Pensiun Perkebunan yang nilainya di atas satu triliun rupiah.

Untuk mendapatkan HGB, Theda kemudian menyetor Rp 28,8 miliar kepada Pengelola Kemayoran sebagai uang muka pembayaran tanah. Harusnya, jumlah itu ditanggung bersama oleh Bing, Rizki, dan Dapenbun. Nyatanya, menurut sumber Tempo, pembayaran itu sepenuhnya menggunakan uang Dapenbun. Toh, sampai di situ belum ada kecurigaan. Semua pihak senang. Apalagi, ”Ketika itu kami percaya ini investasi yang menguntungkan,” ujar Samingoen. Terbayang, setelah sepuluh tahun mereka akan mendapatkan laba ratusan miliar.

l l l

LABA besar bagi Dapenbun sangat berarti. Lembaga ini didirikan pada 1976 dalam bentuk yayasan dan berubah menjadi badan hukum pada 1997 meng-ikuti Undang-Undang Dana Pensiun Nomor 11/1992. Kini Dapenbun bertanggung jawab terhadap sekitar 325 ribu pensiunan perkebunan di seluruh Indonesia, yang kalau dihitung dengan keluarganya kira-kira berjumlah 1,2 juta jiwa. Samingoen menjadi direktur utama di sini sejak 1995.

Mulanya Dapenbun hanya menanggung pensiun- karyawan kantoran. Namun, karena modalnya ber-kembang pesat, sejak 2000 seluruh karyawan tetap termasuk buruh harian, tukang sapu, tukang rumput, tukang sadap karet pun mendapat pensiun. Uang pensiun terendah pada 2004 sekitar Rp 150 ribu per orang. Nah, investasi yang bagus diharapkan bisa meningkatkan penerimaan para pensiunan. Makanya-, ”Kami sangat berharap pada proyek Kemayoran ini,” ujar Bachtiar Umar Sobri, Ketua Serikat Pekerja Dana Pensiun Perkebunan.

Tapi, apa lacur, setahun berlalu, tak tampak tanda-tanda bisnis triliunan berlanjut. Samingoen mulai bimbang. Apalagi hingga setahun Dapenbun telah menggelontorkan modal susulan hingga Rp 125 miliar-. Lebih celaka lagi, investor Cina yang digembar-gemborkan Bing tak juga muncul. Bing sendiri- tak menyetor duit tambahan. Tapi orang-orang dekatnya sesumbar, Bing telah mengeluarkan uang untuk membuat rancangan proyek dan ”membersih-kan” tanah yang kala itu dikuasai preman, pemukim liar, dan banyak lembaga swadaya masyarakat. Namun, ketika ditanya rincian uang yang sudah digelontor-kan, Bing ”memplester mulut”. Uang buruh perkebun-an kini jadi taruhan. Runding sana-sini, ditambah modal- Cina yang tak kunjung datang, akhirnya Dana Pensiun Perkebunan dan Bing sepakat meneruskan kerja sama dan mencari investasi tambahan lewat pasar modal. ”Menurut Bing, banyak investor asing yang mau kerja sama, asal kita sudah go public,” ujar Samingoen.

Tapi di sini muncul masalah lain: Theda perusahaan baru, sedangkan yang boleh go public adalah perusahaan yang selalu meraih laba minimal tiga tahun berturut-turut. Apa akal?

Aha...! Sebuah perusahaan muda dan gemuk dilirik Bing: PT Dana Pensiun Perkebunan- Nusantara (Dapenus). Ini adalah anak per-usahaan Dana Pensiun Perkebunan yang bergerak- di bidang investasi dan sudah eksis sejak 1998. Dapenus sehat dan berkantong tebal karena selalu untung tiga tahun terakhir.

Dengan janji selangit dari Bing, Samingoen mengangguk. Maka, pada 2004 di-gabungkanlah Theda dengan -Dape-nus. Karena aset Dapenus saat itu Rp 159,9 miliar, Theda harus menyetor modal- dalam jumlah yang sama agar mendapat 50 persen saham. Tapi Theda tak punya duit.

Di sini praktek kongkalikong berlanjut. Alih-alih menyetor duit, Bing malah mengajukan HGB atas tanah seluas 17,6 hektare di Kemayoran sebagai aset. Oleh penilai independen, PT Hutama Penilai, aset Theda saat itu ditaksir Rp 1,1 triliun. Dokumen penilaian yang kopinya diperoleh Tempo itu diteken Sonny Mangkuto Ameh, Managing Director PT Hutama, pada 24 Januari 2004.

Demikianlah, bermodal gambar proyek dan HGB, Theda akhirnya memiliki 50 persen saham Dapenus. Dalam perjalanannya, entah bagaimana caranya, saham Theda meningkat menjadi 50,5 persen.

Tapi janji go public tak kunjung dipenuhi. Sementa-ra itu, modal Dapenus terus dikuras untuk berbagai ala-san. Samingoen mulai waswas. ”Saya lalu membu-at surat edaran agar pengeluaran uang di atas Rp 50 juta harus sepengetahuan saya,” kata Samingoen. Namun, itu ternyata tak menghentikan aliran dana keluar. Aturan baru itu malah diakali: uang ditarik dalam jumlah kecil, tapi dengan frekuensi tinggi.

Berkali-kali Samingoen meminta laporan per-tanggung-jawaban keuangan, tapi tak pernah digubris- Bing. Bahkan, menurut sumber Tempo, permintaan yang sama oleh tim pemeriksa dari Departemen Keuangan pun tak ditanggapi.

Khawatir kerja sama ini akan membangkrutkan Dapenbun, Samingoen mengusulkan agar Dapenus mereka ambil alih. Toh, ketika bergabung, Bing tak membawa apa pun kecuali selembar kertas. Tapi ini tak berbuah. Malahan, 20 September 2004, Sami-ngoen yang ”dirumahkan” oleh Pendiri dan Dewan Pengawas. Kedudukannya diserahkan kepada Anang Sujat sebagai caretaker. Dalam selembar kertas yang sempat dilihat Tempo, alasan merumahkan Sami-ngoen adalah untuk memuluskan investasi Dapenbun di proyek Kemayoran. Tidak terlalu jelas adakah peran- Bing dalam penyingkiran Samingoen ini. Tapi beberapa sumber di Dapenbun mengatakan, ”Pengaruh- Bing kepada Badan Pengawas Dapenbun sangat kuat.”

l l l

TAK mampu mengambil kembali Dapenus ”si sapi gemuk”, pada 28 September 2005 Direksi PTPN X selaku pendiri Dana Pensiun Perkebunan mengeluarkan fatwa: tarik penyertaan modal Dapenbun dari Dapenus. Analoginya, daripada tak pulang kandang, lebih baik ”sapi gemuk” itu dilepas asalkan ada uang pengganti. Keputusan ini besar kemungkinan juga disebabkan oleh berbagai sorotan dari luar, termasuk- DPR.

Untuk melaksanakan titah tersebut, dibentuklah Tim Negosiasi Internal Dana Pensiun Perkebunan dengan Anang Sujat sebagai ketua. Langkah pertama: menarik kembali penyertaan Dapenbun seba-nyak Rp 131 miliar di Theda.

Bukannya merogoh kocek, Bing malah membayar dengan aset Dapenus, yakni saham di Bank Agro, PT Jasatania, dan di PT Surya Senia. Itu terjadi pada 8 Desember 2005. Ini aneh. Ketiganya bukan milik Theda, melainkan aset Dapenus yang dimiliki bersama antara Dapenbun dan Theda. Bing beralasan langkah itu atas persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Dapenus.

Toh, semua berjalan lancar. Bing aman. Hingga tak lama kemudian, Dapenbun kembali meminta pulang sahamnya. Kali ini dari Dapenus. Bagi Bing, itu berarti dia harus membayar 49,5 persen saham Da-penbun senilai sekitar Rp 158,3 miliar. Jelas ini bukan jumlah yang kecil. Dari mana uangnya?

Tempo menelusuri jejak jual-beli saham Dapenus ini dan menemukan praktek yang seolah wajar namun sesungguhnya penuh ”akal busuk”. Ternyata, lagi-lagi entah kenapa Dapenbun kembali ”memodali-” Bing untuk mengambil alih saham mereka sendiri. Caranya, Dapenbun membeli promes (promissory- notes) senilai Rp 180 miliar dengan harga Rp 158 miliar-. Promes ini dijual Bing melalui PT Victory Indo Perkasa pada 27 Desember 2005 dan akan jatuh tempo pada 1 Januari 2007.

Victory didirikan pada November 2001 oleh keluarga Eddy Sutanto dengan modal dasar Rp 300 juta dan bergerak di bidang industri dan perdagang-an. Perusahaan ini dijual kepada PT Theda Development, yang merupakan jelmaan baru dari Theda, awal 2005. Melalui promes ini, The Hok Bing bisa sesumbar bahwa dialah kini yang sepenuhnya memiliki Dapenus. Surat tanda lunas yang diteken Anang Sujat itulah yang dilampirkannya dalam jawaban wawancara tertulisnya kepada Tempo.

Menelusuri PT Victory Indo Perkasa, Tempo mene-mukan patgulipat lainnya. Dokumen promes, misal-nya, diteken oleh Direktur PT Victory, Nautinius Sony. Tapi ada yang mencurigakan dalam surat itu: tanda tangan Nautinius persis sama dengan tanda tangan Sonny Mangkuto Ameh, Managing Director PT Hutama Penilai. ”Mereka orang yang sama,” kata seorang sumber Tempo.

Satu orang dengan dua nama? Ketika dihubungi melalui telepon, Sonny tak menyangkal. Katanya ia memang pernah bekerja di PT Hutama Penilai dan PT Victory. Soal nama yang berganti-ganti entah kenapa ia mendadak sulit dihubungi. Teleponnya yang biasa ramah mendadak bungkam.

Sonny adalah pemain lain dalam skandal ini. Tahun 2005 ia datang ke haribaan Bing dengan menjadi Direktur Pemasaran Dapenus hingga sekarang. Sebelum ”meloncat” ke Bing, Sonny pernah dipercaya Samingoen menjadi Kepala Cabang Bank Agro milik Dapenbun di Jawa Timur. Mungkin ini sebabnya Samingoen dalam surat rahasia kepada para direktur utama PTPN se-Indonesia dan Mitra Pendiri—yang kopinya diperoleh Tempo—mengaku banyak staf senior Dapenbun dipengaruhi Bing. ”Dapenbun harus ’berkelahi’ dengan kolega-koleganya sendiri,” demikian ditulis Samingoen dalam surat itu.

Sonny bukan satu-satunya orang Dapenbun yang tergoda Bing. Noor Prajitno, mantan Kepala Bagian Kepesertaan Dapenbun, juga ditarik Bing begitu ia pensiun. Alfian Fatham, Kepala Bagian Investasi Dapenbun yang lama, melepaskan jabatannya dan bergabung di Dapenus ketika perusahaan itu sepenuhnya jadi milik Bing. Alfian kini Direktur Keuangan Dapenus. Menurut Samingoen, ketika hengkang Alfian membawa serta pelbagai dokumen perusahaan. ”Seluruh data investasi Dapenbun dibawa dia,” kata Samingoen. Tapi Alfian membantah. ”Semua dokumen sudah saya serahkan bersamaan dengan memori serah-terima saya,” katanya.

l l l

DIAKALI berkali-kali, anehnya Dapenbun pasrah bongkokan. Soal promes PT Victory, Anang Sujat berkeras bahwa itu bisnis murni. ”Bunganya 15 persen, tiga persen lebih tinggi dari suku bunga deposito waktu itu,” katanya. Lagi pula keputusan untuk membeli, menurut dia, datang dari Dewan Pengawas.

Tapi, ketika dikejar lebih jauh, dia mulai ngelantur. Anang, misalnya, mengatakan ia mempercayai surat utang itu karena dijamin Bank Niaga. Nyatanya, dalam kopi sertifikat promes itu, Bank Niaga bukan penjamin melainkan hanya agen pembayar.

Anang juga berkali-kali berusaha meyakinkan- Tempo bahwa mereka tidak pernah tahu Victory adalah anak perusahaan Theda. Komisaris Victory- yang juga Komisaris Independen Dapenus, Moses Fernandez da Silva, malah mengatakan untuk pinjaman itu mereka menjaminkan saham Theda di Da-penus kepada Dapenbun. Silang sengkarut? Patgulipat? Begitulah.

Sejak awal, Dapenbun memang jadi ”kas” bagi Bing. Celakanya, sumber Tempo mengatakan, meski hubungan bisnis mereka sudah putus, praktek itu belum berhenti. Dapenbun masih terus mengeluarkan uang untuk membiayai urusan-urusan Bing, termasuk membayar pengacara hingga ratusan juta rupiah-. Menurut sumber itu, hingga saat ini uang Dapenbun yang keluar tanpa pertanggungjawaban yang jelas dan belum dikembalikan berjumlah sekitar Rp 325 miliar. Kepada Tempo, Bing membantah semua tuduh-an. Bagi dia, apa yang terjadi di antara dirinya- dan Dapenbun murni bisnis dan Dapenbun sama sekali tidak dirugikan.

Berita terbaru yang diperoleh Tempo, Bing kini menyalin wajah Dapenus menjadi PT Oceania Development. Direksinya, ya, itu-itu juga: Sonny Mangkuto Ameh, Alfian Fatham, dan lain-lain. Aksi sulap wajah ini diduga disebabkan oleh terendusnya kasus ini oleh media massa.

Bing tampaknya harus terus pandai berkelit. Tak hanya kepada kuli tinta dan DPR, tapi juga kepada polisi. Desember lalu, Syafei SH, seseorang yang punya kaitan dengan Dapenbun, mengadukan Bing ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Dia mencurigai Bing telah melakukan penggelapan uang di Dapenbun. Sekarang kasus pidana ini tengah ditangani polda. Untuk waktu yang lama, Bing tampaknya akan sulit tidur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus