AKHIRNYA, yang semula cuma desas-desus kini jadi pengumuman
resmi Ahad yang lalu, Perdana Menteri RRT Hua Kuo-Feng tampil
dalam rapat umum di lapangan Tien An Mien Peking puncak
perayaan atas pengangkatannya sebagai Ketua Partai. Ia tak
berpidato. Tapi dari pidato walikota Peking Wu Teh, dari siaran
Radio Peking sehari sebelumnya dan dari gelombang teriakan
massa yang jutaan jumlahnya tu jelas sudah nasib Chiang Ching
janda Mao dan tiga rekan radikalnya, sudah putus
Ada dugaan mereka telah dihukum mati. Yang pasti mereka tak
putus-putusnya dicerca. Para pembuat karikatur hampir
berlomba-lomba melukiskan ke-4 tokoh dari Shanghai itu dalam
wujud yang paling jelek. Di dekat Kementerian Luar Negeri
misalnya, Chiang Ching dilukiskan sebagai "janda girang",
berbaju malam merah merona, dengan sepatu timggi dan
selendang leher hitam, merangkul kaki Chang Chun-chiao,
wakil PM yang kini ikut dikutuk itu.
Suasana demonstrasi lebih bebas dari biasa. Orang asing bahkan
bisa bergabung dengan kelompokan orang banyak, bagaikan dalam
karnaval. Sebuah bis penuh dengan anak-anak diplomat asing
berumur antara 5 sampai 12, terhenti oleh massa -- yang
kemudian dengan gembira memberi anak-anak itu bendera dan
slogan mendukung Hua dan mengutuk Chiang Ching dkk. Dalam
demonstrasi sehari sebelumnya, tampak ikut serta keponakan
Mao, Wang Hai jung (yang juga wakil Mentri Luar Negri) dan
juga penterjemah kesayangan Mao, Nancy Tang Wen-seng.
Wang, yang disambut meriah ikut berseru: "Ganyang Chiang
Ching!" Wanita itu adalah tante tirinya sendiri.
Singkatnya, sejarah naik dan turunnya kaum radikal pun
lengkaplah kali ini. Orang hampir lupa bagaimana mereka
sebenarnya bisa jadi terkemuka. Orang mungkin sengaja tak
mencatat bahwa sebenarnya Mao sendiri ikut membesarkan
mereka.
Di tahun 1957 Mao merasa bahwa kekuasaan Partai Komunis
sudah mutlak. "Tak pernah negeri kita demikian bersatu seperti
sekarang", katanya. Perekonomian cukuo baik dan rakyat sudah
cukup sandang-pangan. Panen 1957 merupakan panen terbaik
selama 100 tahun , demikian pengakuan mereka.
Karena itu ia mengambil risiko walaupun ditentang oleh para
pemimpin partai lainnya, terutama Liu Shao-chi -- untuk
mengujinya. Tidak jelas benar maksud Mao Mungkin ia melihat
tumbuhnya rasa puas diri di kalangan kader-kader partai,
sehingga mereka lupa akan tujuan yang lebih tinggi: masyarakat
komunis. Maka Mao membuka kampanye "Biar seratus bunga
sama-sama berkembang, biar seratus aliran berlaga" Ia
mengundang rakyat terutama orang-orang terpelajar yang berada di
luar partai, untuk mengeluarkan pendapatnya dan mengritik
"langgam kerja partai". Sebenarnya hal ini kurang menyenangkan
seorang organisator macam Liu Shao-chi. Liu bukannya tidak
setuju dengan "Kampanye 100 Bunga". Tapi baginya itu harus
diadakan demi memperkuat kendali partai atas massa rakyat. Bukan
untuk mempersilakan orang-orang yang ada di luar pagar untuk
mencaci-maki partai yang berkuasa.
Apa yang terjadi berada di luar dugaan Mao. Kritik bukan saja
dialamatkan kepada cara kerja partai dan para kader partai, tapi
juga faham komunisme dicerca. Mao terkejut. Dengan segera para
pengritik dibasmi meskipun konon tanpa pembunuhan. Keyakinan Mao
sendiri menjadi keras bahwa kemakmuran semata bukan jalan menuju
komunisme. Untuk mencapai masyarakat komunis semua orang harus
dikerahkan bekerja dan mengabdi kepentingan umum.
Atas dasar itulah Mao memerintahkan diselenggarakannya suatu
kampanye baru di musim semi 1958. Kali ini bernama Tiga
Bendera Merah dengan program utamanya Lompatan Besar ke Muka
(Ta Yueh-chin) dan Komune Rakyat. Kampanye baru ini disebutnya
sebagai "jalan memintas menuju masyarakat komunis". Lompatan
Besar ke Muka dimaksudkan untuk "mengejar Inggeris sebagai
negara industri berat dalam waktu 15 tahun". Di seluruh pelosok
negeri dipopulerkan pembangunan tungku-tungku untuk membuat besi
dengan cara yang sederhana. Sedang program Komune Rakyat
merupakan kebijaksanaan Mao untuk mempercepat kolektifisasi di
semua bidang kehidupan.
Sebagai negeri petani, gelombang kolektifisasi ini terutama
terasa dalam pertanian. Tahun 1953 program land-reform selesai
sudah. Kolektilisasi dijalankan secara bertahap. Mula-mula
dibentuk kelompok-kelompok gotong royong, dimaksudkan untuk
mengerjakan tanah bersama-sama. Tahap selanjutnya adalah
pemilikan alat-alat produksi bersama, walaupun tanah masih
dimiliki pribadi. Kemudian: kolektifisasi penuh. Seluruh tanah
dan alat-alat produksi dimiliki secara kolektif.
Anggauta-angauta kolektif dibayar menurut banyaknya tenaga
kerja yang mereka sumbangkan. Tapi mereka masih boleh mengurus
rumah tangganya sendiri, masak sendiri dan lain-lain. Anggota
kolektif biasanya terdiri dari beberapa lusin keluarga atau
maksimal beberapa ratus keluarga.
Untuk Mao ini belum cukup. Kolektifisasi harus menyeluruh.
Seluruh anggota masyarakat harus tinggal bersama, bekerja
bersama. Azas "sama rata sama rasa" dipraktekkan. Itulah dasar
Komune rakyat, suatu unit yang jauh lebih besar, yang menghimpun
sampai ribuan keluarga, suatu kota ataupun beberapa kota kecil.
Sesuai dengan instruksi Mao, kedua kampanye itu dijalankan.
Walaupun beberapa kalangan, terutama kaum teknokrat yang
dipimpin oleh Liu Shao-chi menggerutu. Mereka ini menyukai
pembangunan pertanian secara rasionil dan bertahap, misalnya
dengan cara Pelita I Pelita II dan seterusnya. Tapi Mao berhasil
melewati mereka dengan cara mendekati para pemimpin partai
daerah. Ia dapat menciptakan suatu fait-a-compli, sehingga
kampanye tersebut mau tak mau dilaksanakan.
Tapi hasil dari kedua gerakan itu sangat menyedihkan. Metode
pembuatan baja secara sederhana menyebabkan mutu baja yang
dihasilkan sangat buruk, tidak bisa dipakai. Program komune
rakyat lain lagi. Para petani sebenarnya menolak dihapuskannya
hak milik pribadi atas tanah. Mereka hanya terpaksa patuh.
Sementara itu kurangnya ketrampilan berorganisasi dan teknik
pengelolaan pada para pemimpin komune menyebabkan kekacauan.
Ditambah dengan bencana kekeringan, timbullah keadaan kekurangan
bahan makanan. Ini membawa akibat adanya oposisi petani. Banyak
terjadi perlawanan yang seringkali dilakukan secara kekerasan.
Yang jadi saaran kemarahan tentu saja aparat pemerintahan dan
partai pada tingkat paling bawah.
Pertentangan ideologi dengan Uni Soviet menyebabkan semua
bantuan ekonomi negara itu kepada Cina ditarik kembali. Ini
menambah bertumpuknya kesukaran dan cobaan yang diderita Cina.
Tahun 1959-1961 merupakan "tiga tahun yang penuh kegetiran".
Bagi Mao pribadi, ini merupakan pukulan berat terhadap
cita-citanya. Dia tak mau lagi jadi Ketua RRT. Kedudukan itu
diambil alih oleh Liu Shao-chi dan Mao hanya memegang jabatan
ketua partai. Banyak yang menganggap tindakan Mao ini sebagai
suatu "kritik diri". Menurut kisah pengawalnya kemudian, selama
3 tahun itu pula Mao tak makan daging dan tak berganti sepatu --
suatu petunjuk bahwa ia ikut solider dengan penderitaan
rakyatnya. Dan sejak 1959 Liu Shao --chilah yang dominan di
antara semua orang-orang terkemuka partai. Ditambah dengan
dipegangnya kedudukan Sekretaris Jenderal PKT oleh Teng
Hsiao-p'ing. Lengkaplah sudah dominasi kaum pragmatis di RRT.
Begitu jadi Ketua RRT, Liu segera mengambil bermacam
kebijaksanaan untuk menguasai keadaan. Tindakannya dinamakan
"langkah-langkah penyesuaian kembali". Kampanye pembuatan baja
ditinggalkan. Di bidang pertanian, keadaan dikembalikan seperti
1953, ketika land reform baru saja usai. Petani diberi berbagai
kelonggaran. Mereka diperkenankan mengerjakan tanah mereka
sendiri, memelihara ternak mereka sendiri dan menjual hasil
panennya di pasaran bebas. Kewibawaan partai yang telah luntur
akibat kegagalan "Kampanye 100 bunga" dan kesukaran akibat
tidak berhasilnya Gerakan Tiga Bedera Merah, berhasil
ditegakkan kembali. Menjelang awal 1962 semua kesulitan hampir
bisa diatasi.
Namun Mao tak senang akan keadaan ini. Program "penyesuaian
kembali-nya Liu telah menghambarkan semua cita-citanya. Baginya
Cina jadi lebih jauh dari masyarakat komunis yang dikejarnya.
Ini berarti, kata Mao, "kebangkitan kembali kapitalisme". Juga
Mao kembali khawatir akan "birokratisme" dan perasaan puas diri
di seluruh lapisan kader partai.
Inilah yang menyebabkan makin meruncingnya pertentangan di dalam
partai, antara golongan "teknokrat" di bawah Liu Shao-chi dengan
golongan "ideolog" di bawah pimpinan Mao Tsetung. Setelah
Revolusi Kebudayaan selesai, golongan pertama lebih terkenal
sebagai golongan moderat. Lawannya terkenal sebagai golongan
radikal.
Revolusi Kebudayaan merupakan klimaks dari pertentangan antara
kedua fraksi itu. Apakah penyebabnya? Peristiwa-peristiwa
sebelum 1962 hanya merupakan letupan pertentangan antara
penganut "Maois" dengan para penganut "Liuis". Ada hal lain yang
lebih mendasari pertentangan tersebut.
Mungkin isyu utama adalah masalah perjuangan kelas dan cara-cara
untuk menanganinya. Ini bertitik tolak pada teori Mao tentang
"kontradiksi" Mao berpendapat bahwa perjuangan kelas di Cina
harus diteruskan walaupun PKT telah berkuasa dan semua alat
produksi sudah jadi milik umum. Ini karena, menurut Mao,
kontradiksi adalah ciri semua masyarakat, termasuk yang
sosialis. Misalnya kontradiksi antara buruh dengan tani, yang
harus diselesaikan dengan kolektifisasi dan mekanisasi
pertanian.
TENTANG mana yang harus didahulukan, kolektifitasi ataukah
mekanisasi, kedua fihak juga berbeda pendapat. Para "Liuis'
berpendapat bahwa mekanisasilah yang harus didahulukan, karena
penguasaan teknis merupakan jalan mutlak ke arah sosialisme dan
kemudian komunisme. Mao sebaliknya berpendapat kolektifisasi
yang harus didahulukan. Mendahulukan mekanisasi hanya akan
menghasilkan jurang pemisah antara suatu lapisan atas yang punya
keahlian teknis dengan petani yang hanya bisa bekerja dengan
tangan.
Menghadapi perbedaan pendapat itu Mao kembali kepada teorinya:
dalam partai komunis sendiri pun ada kontradiksi, walaupun tak
bersifat bermusuhan. Penyelesaiannya bisa dilakukan dengan
kritik dan kritik-diri. Tapi kontradiksi ini akhirnya berubah
menjadi bersifat bermusuhan. Penyelesaiannya harus dengan
penghancuran.
Memang telah banyak "kampanye rektifikasi" dijalankan untuk
membawa musuh dalam partai itu kembali ke "jalan yang benar".
Tapi sebegitu jauh tak banyak hasilnya. Partai begitu berkuasa
dan jalin-menjalin dengan birokrasi pemerintahan. Memaksanya
untuk "mencuci sendiri" badannya betarti mengocok kembali suatu
sistem. Dan seperti umumnya para birokrat dan orang berkuasa,
orang partai di RRT pun berusaha mempertahankan keadaan yang
sudah berlaku.
Maka cara satu-satunya bagi Mao untuk mengadakan perubahan
adalah dengan menyerang "mereka yang berkuasa di dalam partai".
Dan hanya ada satu senjata untuk itu: Mao sendiri, prestise,
kharisma dan kekuasaannya. Waktu itu ia didesas-desuskan dalam
keadaan sakit, dan memang jarang muncul di depan publik. Kini
buat menyangkal itu semua, ia berenang di Sungai Yangtze lalu
mengerahkan massa untuk secara hebat-hebatan memuja kepribadian
dan fikiran-fikirannya. Revolusi Kebudayaan pecah, dan ditandai
dengan para Pengawal Merah yang menghancurkan Partai seraya
mengagung-agungkan sang Ketua.
Di saat itulah mulai lebih terlihat apa yang disebut sebagai
golongan radikal sekarang. Chiang Ching muncul dengan program
"merevolusionerkan" Opera Peking di tahun 1964. Tampil pula
tokoh-tokoh radikal lain seperti misalnya Wang Hung-wen, Chang
Chun-chun chiao dan Yao Wen-yuan.
Mao tak lupa "membina" tentara. Sejak semula ia percaya hahwa
"kekuasaan politik keluar dari laras bedil". Sebelum 1965,
tentara dikuasai golongan "Liuis", dalam arti: mereka
mengharapkan perbaikan senjata dan bukan cuma perbaikan
ideologi. Hanya dengan melalui berpuluh-puluh kampanye, akhirnya
pimpinan tentara jatuh ke tangan kaum radikal, dengan munculnya
Lin Piao sebagai menteri pertahanan.
Golongan intelektuil, sastrawan dan seniman tentu saja, sekali
lagi, jadi ssaaran. Sejak tahun 1942 dalam "Forum Sastra dan
Seni Yenan" Mao mengatakan bahwa kaum intelektuil Cina belum
mencipta- kan "kesusastraan proletariat". Kebanyakan dari
mereka hanya mengkhotbahkan "doktrin humanisme borjuis", konsep
yang beranggapan semua manusia sama keinginannya, tanpa
memandang asal kelas mereka. Itu kata Mao, hanya membawa kepada
"kerjasama kelas" dan bukan "perjuangan kelas". Karenanya
konsep itu adalah "kontara-revolusioner" Dan memang dari bidang
kesenian tembakan pertama Revolusi Kebudayaan terdengar: Yao
We-yuan, dengan dilindungi Mao, mengganyang drama karya Wu
Han,wakil tokoh partai dan birokrat dari Peking: walikota
Peng-chen. (lihat: Apel Biru)
Selanjutnya, melalui demonstrasi di jalanan oleh Pengawal Merah
yang terdiri dari para pemuda yang tak puas, pemecatan
besar-besaran diadakan. Korban utama, tentu saja Presiden Liu
Shaochi. Juga sekjen Komite Sentral Ten Hsiao-p'ing. Tahun
1966-1968 Cina kacau dan hampir mendekati perang saudara.
Keadaan hanya bisa diatasi setelah tentara turun tangan dan Mao
merasa bahwa waktunya sudah mendesak untuk mengatur
pemerintahan kembali.
Namun ternyata Revolusi Kebudayaan belum menyelesaikan
pertentangan antara kaum moderat dengan kaum radikal. Kekuasaan
partai memang praktis digantikan oleh "komite revolusioner".
yang dibentuk di semua tingkat -- kecuali di tingkat teratas,
yakni pemerintahan RRT sebagai keseluruhan. Dalam teori,
komite-komite itu hendak menggabungkan kaum radikal, tentara dan
pejabat partai yang tak kena ganyang. Dalam praktek, tentaralah
yang paling menonjol Lin Piao sendiri sudah dinyatakan sebagai
penggani Mao sampai pada suatu saat ia dinyatakan sebagai
pembelot dan pesawatnya ditembak jatuh dalam suatu kejadian yang
sebenarnya masih tetap misterius.
Kematian Lin Piao, yang disusul dengan kampanye mengganyang
namanya makin membuka petunjuk bahwa kaum radikal sebetulnya tak
kebal seperti yang diduga. Memang, Chiang Ching, Yao Wen-yuan.
Chang Chun-chiao dan Wang Hungwen semuanya kemabali masuk ke
dalam Politbiro yang berkuasa. Chang Chun-chiao bahkan jadi
salah satu wakil PM dan pegang posisi puncak mengurusi angkatan
bersenjata. Juga Wang yang masih muda (sekitar 40 tahun) naik ke
atas dengan luar biasa pesat: dari seorang pemimpin buruh pabrik
di Shanghai jadi salah satu wakil Ketua Partai. Tapi mereka ini,
betapa pun juga adalah tokoh-tokoh yang dikatrol ke atas oleh
Mao. Mereka bukan jenis pemimpin yang, lewat masa
bertahun-tahun, menumbuhkan akar yang menunjang posisinya.
Mungkin itulah sebabnya perkembangan RRT sesudah Revolusi
Kebudayaan menunjukkan kembalinya kompromi. Pertandanya yang
terbesar ialah kembalinya Teng Hsiao-p'ing. Pertanda lainnya
ialah munculnya ribuan orang di lapangan Tien An Mien dengan
dalih untuk memperingati almarhum Chou di hari Ching Ming, April
yang lalu, ketika kampanye anti Teng mulai terdengar kembali
dari atas. Ribuan orang ini seakan ingin memperlihtkan, bahwa
kampanye anti Teng yang diatur oleh golongan radikal itu adalah
kampanye yang tak didukung rakyat. Setidaknya mereka mau kasih
lihat kenyataan bahwa kaum radikal tidak disukai massa. Dalam
hal ini mereka berhasil -- walaupun Teng dicopot dan para
pemimpin demonstran ditangkapi.
Apalagi yang muncul adalah Hua, sebagai pengganti Ketua Mao, dan
bukan salah satu dari keempat tokoh radikal itu. Sebagai orang
yang menyatakan diri penjaga kemurnian ajaran Mao, kelompok
radikal tentunya merasa lebih suci ketimbang yang lain-lain.
Dengan begitu mereka tak jadi tambah populer. Yao dikenal
congkak dan Wang sudah teramat yakin akan jadi pemimpin, hang
dinilai licik: bahkan dialah yang kemudian dituduh otak
komplotan.
Tapi ketidak-populeran kaum radikal mungkin juga mencerminkan
secara samar atau terselubung -- ketidak-populeran beberapa
garis pikiran Mao sendiri. Terutama yang berkenaan dengan
niatnya untuk menciptakan "manusia baru". Manusia yang tak
tergoda oleh perbaikan gaji, penghasilan dan kemakmuran. Sebab
rakyat banyak biasanya bukanlah sekelompok pengabdi yang bisa
terus-menerus bersedia kerja keras. buat "Ketua Mao dan tanah
air" -- dan tidak buat diri sendiri. Bagi mereka yang seperti
ini, yang ingin mencicipi kemakmuran kaum pragmatis lebih
memikat.
Tapi setelah kaum radikal jauh, akankah RRT menjurus pelan-pelan
ke jalan yang ditempuh Uni Soviet, di mana rakyat tak cuma puas
dengan sepeda dan baju seragam" Hanya waktu yang akan
membuktikan. Pada suatu saa negara jadi lebih makmur, biasanya
ketidak-adilan jadi lebih terasa. Dan kaum radikal bisa kembali.
untuk mengingatkan ajaran sama-rata-sama-rasa agama mereka
semua. Maoisme
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini