Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Akhirnya, hua menotok jalan darah...

Hua kuo feng diumumkan secara resmi sebagai perdana menteri rrt. ada dugaan, keempat tokoh radikal dari shanghai telah dihukum mati. ada beda pendapat tentang penekanan kampanye. (int)

30 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, yang semula cuma desas-desus kini jadi pengumuman resmi Ahad yang lalu, Perdana Menteri RRT Hua Kuo-Feng tampil dalam rapat umum di lapangan Tien An Mien Peking puncak perayaan atas pengangkatannya sebagai Ketua Partai. Ia tak berpidato. Tapi dari pidato walikota Peking Wu Teh, dari siaran Radio Peking sehari sebelumnya dan dari gelombang teriakan massa yang jutaan jumlahnya tu jelas sudah nasib Chiang Ching janda Mao dan tiga rekan radikalnya, sudah putus Ada dugaan mereka telah dihukum mati. Yang pasti mereka tak putus-putusnya dicerca. Para pembuat karikatur hampir berlomba-lomba melukiskan ke-4 tokoh dari Shanghai itu dalam wujud yang paling jelek. Di dekat Kementerian Luar Negeri misalnya, Chiang Ching dilukiskan sebagai "janda girang", berbaju malam merah merona, dengan sepatu timggi dan selendang leher hitam, merangkul kaki Chang Chun-chiao, wakil PM yang kini ikut dikutuk itu. Suasana demonstrasi lebih bebas dari biasa. Orang asing bahkan bisa bergabung dengan kelompokan orang banyak, bagaikan dalam karnaval. Sebuah bis penuh dengan anak-anak diplomat asing berumur antara 5 sampai 12, terhenti oleh massa -- yang kemudian dengan gembira memberi anak-anak itu bendera dan slogan mendukung Hua dan mengutuk Chiang Ching dkk. Dalam demonstrasi sehari sebelumnya, tampak ikut serta keponakan Mao, Wang Hai jung (yang juga wakil Mentri Luar Negri) dan juga penterjemah kesayangan Mao, Nancy Tang Wen-seng. Wang, yang disambut meriah ikut berseru: "Ganyang Chiang Ching!" Wanita itu adalah tante tirinya sendiri. Singkatnya, sejarah naik dan turunnya kaum radikal pun lengkaplah kali ini. Orang hampir lupa bagaimana mereka sebenarnya bisa jadi terkemuka. Orang mungkin sengaja tak mencatat bahwa sebenarnya Mao sendiri ikut membesarkan mereka. Di tahun 1957 Mao merasa bahwa kekuasaan Partai Komunis sudah mutlak. "Tak pernah negeri kita demikian bersatu seperti sekarang", katanya. Perekonomian cukuo baik dan rakyat sudah cukup sandang-pangan. Panen 1957 merupakan panen terbaik selama 100 tahun , demikian pengakuan mereka. Karena itu ia mengambil risiko walaupun ditentang oleh para pemimpin partai lainnya, terutama Liu Shao-chi -- untuk mengujinya. Tidak jelas benar maksud Mao Mungkin ia melihat tumbuhnya rasa puas diri di kalangan kader-kader partai, sehingga mereka lupa akan tujuan yang lebih tinggi: masyarakat komunis. Maka Mao membuka kampanye "Biar seratus bunga sama-sama berkembang, biar seratus aliran berlaga" Ia mengundang rakyat terutama orang-orang terpelajar yang berada di luar partai, untuk mengeluarkan pendapatnya dan mengritik "langgam kerja partai". Sebenarnya hal ini kurang menyenangkan seorang organisator macam Liu Shao-chi. Liu bukannya tidak setuju dengan "Kampanye 100 Bunga". Tapi baginya itu harus diadakan demi memperkuat kendali partai atas massa rakyat. Bukan untuk mempersilakan orang-orang yang ada di luar pagar untuk mencaci-maki partai yang berkuasa. Apa yang terjadi berada di luar dugaan Mao. Kritik bukan saja dialamatkan kepada cara kerja partai dan para kader partai, tapi juga faham komunisme dicerca. Mao terkejut. Dengan segera para pengritik dibasmi meskipun konon tanpa pembunuhan. Keyakinan Mao sendiri menjadi keras bahwa kemakmuran semata bukan jalan menuju komunisme. Untuk mencapai masyarakat komunis semua orang harus dikerahkan bekerja dan mengabdi kepentingan umum. Atas dasar itulah Mao memerintahkan diselenggarakannya suatu kampanye baru di musim semi 1958. Kali ini bernama Tiga Bendera Merah dengan program utamanya Lompatan Besar ke Muka (Ta Yueh-chin) dan Komune Rakyat. Kampanye baru ini disebutnya sebagai "jalan memintas menuju masyarakat komunis". Lompatan Besar ke Muka dimaksudkan untuk "mengejar Inggeris sebagai negara industri berat dalam waktu 15 tahun". Di seluruh pelosok negeri dipopulerkan pembangunan tungku-tungku untuk membuat besi dengan cara yang sederhana. Sedang program Komune Rakyat merupakan kebijaksanaan Mao untuk mempercepat kolektifisasi di semua bidang kehidupan. Sebagai negeri petani, gelombang kolektifisasi ini terutama terasa dalam pertanian. Tahun 1953 program land-reform selesai sudah. Kolektilisasi dijalankan secara bertahap. Mula-mula dibentuk kelompok-kelompok gotong royong, dimaksudkan untuk mengerjakan tanah bersama-sama. Tahap selanjutnya adalah pemilikan alat-alat produksi bersama, walaupun tanah masih dimiliki pribadi. Kemudian: kolektifisasi penuh. Seluruh tanah dan alat-alat produksi dimiliki secara kolektif. Anggauta-angauta kolektif dibayar menurut banyaknya tenaga kerja yang mereka sumbangkan. Tapi mereka masih boleh mengurus rumah tangganya sendiri, masak sendiri dan lain-lain. Anggota kolektif biasanya terdiri dari beberapa lusin keluarga atau maksimal beberapa ratus keluarga. Untuk Mao ini belum cukup. Kolektifisasi harus menyeluruh. Seluruh anggota masyarakat harus tinggal bersama, bekerja bersama. Azas "sama rata sama rasa" dipraktekkan. Itulah dasar Komune rakyat, suatu unit yang jauh lebih besar, yang menghimpun sampai ribuan keluarga, suatu kota ataupun beberapa kota kecil. Sesuai dengan instruksi Mao, kedua kampanye itu dijalankan. Walaupun beberapa kalangan, terutama kaum teknokrat yang dipimpin oleh Liu Shao-chi menggerutu. Mereka ini menyukai pembangunan pertanian secara rasionil dan bertahap, misalnya dengan cara Pelita I Pelita II dan seterusnya. Tapi Mao berhasil melewati mereka dengan cara mendekati para pemimpin partai daerah. Ia dapat menciptakan suatu fait-a-compli, sehingga kampanye tersebut mau tak mau dilaksanakan. Tapi hasil dari kedua gerakan itu sangat menyedihkan. Metode pembuatan baja secara sederhana menyebabkan mutu baja yang dihasilkan sangat buruk, tidak bisa dipakai. Program komune rakyat lain lagi. Para petani sebenarnya menolak dihapuskannya hak milik pribadi atas tanah. Mereka hanya terpaksa patuh. Sementara itu kurangnya ketrampilan berorganisasi dan teknik pengelolaan pada para pemimpin komune menyebabkan kekacauan. Ditambah dengan bencana kekeringan, timbullah keadaan kekurangan bahan makanan. Ini membawa akibat adanya oposisi petani. Banyak terjadi perlawanan yang seringkali dilakukan secara kekerasan. Yang jadi saaran kemarahan tentu saja aparat pemerintahan dan partai pada tingkat paling bawah. Pertentangan ideologi dengan Uni Soviet menyebabkan semua bantuan ekonomi negara itu kepada Cina ditarik kembali. Ini menambah bertumpuknya kesukaran dan cobaan yang diderita Cina. Tahun 1959-1961 merupakan "tiga tahun yang penuh kegetiran". Bagi Mao pribadi, ini merupakan pukulan berat terhadap cita-citanya. Dia tak mau lagi jadi Ketua RRT. Kedudukan itu diambil alih oleh Liu Shao-chi dan Mao hanya memegang jabatan ketua partai. Banyak yang menganggap tindakan Mao ini sebagai suatu "kritik diri". Menurut kisah pengawalnya kemudian, selama 3 tahun itu pula Mao tak makan daging dan tak berganti sepatu -- suatu petunjuk bahwa ia ikut solider dengan penderitaan rakyatnya. Dan sejak 1959 Liu Shao --chilah yang dominan di antara semua orang-orang terkemuka partai. Ditambah dengan dipegangnya kedudukan Sekretaris Jenderal PKT oleh Teng Hsiao-p'ing. Lengkaplah sudah dominasi kaum pragmatis di RRT. Begitu jadi Ketua RRT, Liu segera mengambil bermacam kebijaksanaan untuk menguasai keadaan. Tindakannya dinamakan "langkah-langkah penyesuaian kembali". Kampanye pembuatan baja ditinggalkan. Di bidang pertanian, keadaan dikembalikan seperti 1953, ketika land reform baru saja usai. Petani diberi berbagai kelonggaran. Mereka diperkenankan mengerjakan tanah mereka sendiri, memelihara ternak mereka sendiri dan menjual hasil panennya di pasaran bebas. Kewibawaan partai yang telah luntur akibat kegagalan "Kampanye 100 bunga" dan kesukaran akibat tidak berhasilnya Gerakan Tiga Bedera Merah, berhasil ditegakkan kembali. Menjelang awal 1962 semua kesulitan hampir bisa diatasi. Namun Mao tak senang akan keadaan ini. Program "penyesuaian kembali-nya Liu telah menghambarkan semua cita-citanya. Baginya Cina jadi lebih jauh dari masyarakat komunis yang dikejarnya. Ini berarti, kata Mao, "kebangkitan kembali kapitalisme". Juga Mao kembali khawatir akan "birokratisme" dan perasaan puas diri di seluruh lapisan kader partai. Inilah yang menyebabkan makin meruncingnya pertentangan di dalam partai, antara golongan "teknokrat" di bawah Liu Shao-chi dengan golongan "ideolog" di bawah pimpinan Mao Tsetung. Setelah Revolusi Kebudayaan selesai, golongan pertama lebih terkenal sebagai golongan moderat. Lawannya terkenal sebagai golongan radikal. Revolusi Kebudayaan merupakan klimaks dari pertentangan antara kedua fraksi itu. Apakah penyebabnya? Peristiwa-peristiwa sebelum 1962 hanya merupakan letupan pertentangan antara penganut "Maois" dengan para penganut "Liuis". Ada hal lain yang lebih mendasari pertentangan tersebut. Mungkin isyu utama adalah masalah perjuangan kelas dan cara-cara untuk menanganinya. Ini bertitik tolak pada teori Mao tentang "kontradiksi" Mao berpendapat bahwa perjuangan kelas di Cina harus diteruskan walaupun PKT telah berkuasa dan semua alat produksi sudah jadi milik umum. Ini karena, menurut Mao, kontradiksi adalah ciri semua masyarakat, termasuk yang sosialis. Misalnya kontradiksi antara buruh dengan tani, yang harus diselesaikan dengan kolektifisasi dan mekanisasi pertanian. TENTANG mana yang harus didahulukan, kolektifitasi ataukah mekanisasi, kedua fihak juga berbeda pendapat. Para "Liuis' berpendapat bahwa mekanisasilah yang harus didahulukan, karena penguasaan teknis merupakan jalan mutlak ke arah sosialisme dan kemudian komunisme. Mao sebaliknya berpendapat kolektifisasi yang harus didahulukan. Mendahulukan mekanisasi hanya akan menghasilkan jurang pemisah antara suatu lapisan atas yang punya keahlian teknis dengan petani yang hanya bisa bekerja dengan tangan. Menghadapi perbedaan pendapat itu Mao kembali kepada teorinya: dalam partai komunis sendiri pun ada kontradiksi, walaupun tak bersifat bermusuhan. Penyelesaiannya bisa dilakukan dengan kritik dan kritik-diri. Tapi kontradiksi ini akhirnya berubah menjadi bersifat bermusuhan. Penyelesaiannya harus dengan penghancuran. Memang telah banyak "kampanye rektifikasi" dijalankan untuk membawa musuh dalam partai itu kembali ke "jalan yang benar". Tapi sebegitu jauh tak banyak hasilnya. Partai begitu berkuasa dan jalin-menjalin dengan birokrasi pemerintahan. Memaksanya untuk "mencuci sendiri" badannya betarti mengocok kembali suatu sistem. Dan seperti umumnya para birokrat dan orang berkuasa, orang partai di RRT pun berusaha mempertahankan keadaan yang sudah berlaku. Maka cara satu-satunya bagi Mao untuk mengadakan perubahan adalah dengan menyerang "mereka yang berkuasa di dalam partai". Dan hanya ada satu senjata untuk itu: Mao sendiri, prestise, kharisma dan kekuasaannya. Waktu itu ia didesas-desuskan dalam keadaan sakit, dan memang jarang muncul di depan publik. Kini buat menyangkal itu semua, ia berenang di Sungai Yangtze lalu mengerahkan massa untuk secara hebat-hebatan memuja kepribadian dan fikiran-fikirannya. Revolusi Kebudayaan pecah, dan ditandai dengan para Pengawal Merah yang menghancurkan Partai seraya mengagung-agungkan sang Ketua. Di saat itulah mulai lebih terlihat apa yang disebut sebagai golongan radikal sekarang. Chiang Ching muncul dengan program "merevolusionerkan" Opera Peking di tahun 1964. Tampil pula tokoh-tokoh radikal lain seperti misalnya Wang Hung-wen, Chang Chun-chun chiao dan Yao Wen-yuan. Mao tak lupa "membina" tentara. Sejak semula ia percaya hahwa "kekuasaan politik keluar dari laras bedil". Sebelum 1965, tentara dikuasai golongan "Liuis", dalam arti: mereka mengharapkan perbaikan senjata dan bukan cuma perbaikan ideologi. Hanya dengan melalui berpuluh-puluh kampanye, akhirnya pimpinan tentara jatuh ke tangan kaum radikal, dengan munculnya Lin Piao sebagai menteri pertahanan. Golongan intelektuil, sastrawan dan seniman tentu saja, sekali lagi, jadi ssaaran. Sejak tahun 1942 dalam "Forum Sastra dan Seni Yenan" Mao mengatakan bahwa kaum intelektuil Cina belum mencipta- kan "kesusastraan proletariat". Kebanyakan dari mereka hanya mengkhotbahkan "doktrin humanisme borjuis", konsep yang beranggapan semua manusia sama keinginannya, tanpa memandang asal kelas mereka. Itu kata Mao, hanya membawa kepada "kerjasama kelas" dan bukan "perjuangan kelas". Karenanya konsep itu adalah "kontara-revolusioner" Dan memang dari bidang kesenian tembakan pertama Revolusi Kebudayaan terdengar: Yao We-yuan, dengan dilindungi Mao, mengganyang drama karya Wu Han,wakil tokoh partai dan birokrat dari Peking: walikota Peng-chen. (lihat: Apel Biru) Selanjutnya, melalui demonstrasi di jalanan oleh Pengawal Merah yang terdiri dari para pemuda yang tak puas, pemecatan besar-besaran diadakan. Korban utama, tentu saja Presiden Liu Shaochi. Juga sekjen Komite Sentral Ten Hsiao-p'ing. Tahun 1966-1968 Cina kacau dan hampir mendekati perang saudara. Keadaan hanya bisa diatasi setelah tentara turun tangan dan Mao merasa bahwa waktunya sudah mendesak untuk mengatur pemerintahan kembali. Namun ternyata Revolusi Kebudayaan belum menyelesaikan pertentangan antara kaum moderat dengan kaum radikal. Kekuasaan partai memang praktis digantikan oleh "komite revolusioner". yang dibentuk di semua tingkat -- kecuali di tingkat teratas, yakni pemerintahan RRT sebagai keseluruhan. Dalam teori, komite-komite itu hendak menggabungkan kaum radikal, tentara dan pejabat partai yang tak kena ganyang. Dalam praktek, tentaralah yang paling menonjol Lin Piao sendiri sudah dinyatakan sebagai penggani Mao sampai pada suatu saat ia dinyatakan sebagai pembelot dan pesawatnya ditembak jatuh dalam suatu kejadian yang sebenarnya masih tetap misterius. Kematian Lin Piao, yang disusul dengan kampanye mengganyang namanya makin membuka petunjuk bahwa kaum radikal sebetulnya tak kebal seperti yang diduga. Memang, Chiang Ching, Yao Wen-yuan. Chang Chun-chiao dan Wang Hungwen semuanya kemabali masuk ke dalam Politbiro yang berkuasa. Chang Chun-chiao bahkan jadi salah satu wakil PM dan pegang posisi puncak mengurusi angkatan bersenjata. Juga Wang yang masih muda (sekitar 40 tahun) naik ke atas dengan luar biasa pesat: dari seorang pemimpin buruh pabrik di Shanghai jadi salah satu wakil Ketua Partai. Tapi mereka ini, betapa pun juga adalah tokoh-tokoh yang dikatrol ke atas oleh Mao. Mereka bukan jenis pemimpin yang, lewat masa bertahun-tahun, menumbuhkan akar yang menunjang posisinya. Mungkin itulah sebabnya perkembangan RRT sesudah Revolusi Kebudayaan menunjukkan kembalinya kompromi. Pertandanya yang terbesar ialah kembalinya Teng Hsiao-p'ing. Pertanda lainnya ialah munculnya ribuan orang di lapangan Tien An Mien dengan dalih untuk memperingati almarhum Chou di hari Ching Ming, April yang lalu, ketika kampanye anti Teng mulai terdengar kembali dari atas. Ribuan orang ini seakan ingin memperlihtkan, bahwa kampanye anti Teng yang diatur oleh golongan radikal itu adalah kampanye yang tak didukung rakyat. Setidaknya mereka mau kasih lihat kenyataan bahwa kaum radikal tidak disukai massa. Dalam hal ini mereka berhasil -- walaupun Teng dicopot dan para pemimpin demonstran ditangkapi. Apalagi yang muncul adalah Hua, sebagai pengganti Ketua Mao, dan bukan salah satu dari keempat tokoh radikal itu. Sebagai orang yang menyatakan diri penjaga kemurnian ajaran Mao, kelompok radikal tentunya merasa lebih suci ketimbang yang lain-lain. Dengan begitu mereka tak jadi tambah populer. Yao dikenal congkak dan Wang sudah teramat yakin akan jadi pemimpin, hang dinilai licik: bahkan dialah yang kemudian dituduh otak komplotan. Tapi ketidak-populeran kaum radikal mungkin juga mencerminkan secara samar atau terselubung -- ketidak-populeran beberapa garis pikiran Mao sendiri. Terutama yang berkenaan dengan niatnya untuk menciptakan "manusia baru". Manusia yang tak tergoda oleh perbaikan gaji, penghasilan dan kemakmuran. Sebab rakyat banyak biasanya bukanlah sekelompok pengabdi yang bisa terus-menerus bersedia kerja keras. buat "Ketua Mao dan tanah air" -- dan tidak buat diri sendiri. Bagi mereka yang seperti ini, yang ingin mencicipi kemakmuran kaum pragmatis lebih memikat. Tapi setelah kaum radikal jauh, akankah RRT menjurus pelan-pelan ke jalan yang ditempuh Uni Soviet, di mana rakyat tak cuma puas dengan sepeda dan baju seragam" Hanya waktu yang akan membuktikan. Pada suatu saa negara jadi lebih makmur, biasanya ketidak-adilan jadi lebih terasa. Dan kaum radikal bisa kembali. untuk mengingatkan ajaran sama-rata-sama-rasa agama mereka semua. Maoisme

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus