Sebuah foto yang dulu terpampang mencolok di kantor pusat Kalimanis Group?konglomerat perkayuan milik Bob Hasan?tak lagi punya makna, jikapun masih bertengger di sana.
Foto itu pernah menegaskan banyak hal, yang umumnya orang Indonesia ketahui, tentang kekuasaan dan pengaruh. Melukiskan tiga "raja" tengah berpesiar memancing di Teluk Jakarta?Presiden Soeharto, Sylvester "Rambo" Stallone, dan Bob "si Raja Hutan" sendiri?gambar itu juga mengingatkan betapa pentingnya seorang teman, terutama di ketinggian.
Kekuasaan dan pengaruh. Selama puluhan tahun Bob Hasan menikmati kedekatannya dengan Soeharto, temannya bermain golf. Selama puluhan tahun itu pula dia berhasil membangun bisnis raksasa yang menjadikannya salah satu orang terkaya di Indonesia, bahkan di dunia. Majalah Forbes edisi 28 Juli 1997, misalnya, menempatkan Bob sebagai salah satu orang terkaya dunia bersama antara lain Soeharto dan Liem Sioe Liong.
Kepemilikan saham Bob di puluhan perusahaan teranyam rapi bersama saham-saham putra presiden serta yayasan-yayasan dan bisnis para tentara: bersama Sigit Hardjojudanto di Nusamba, bersama Tommy Soeharto di Sempati, serta bersama Bambang Trihatmodjo dan Yayasan Kartika Eka Paksi milik Angkatan Darat di International Timber Corp.
Bisnisnya menggurita ke mana-mana: dari hutan hingga tambang emas, dari minyak hingga telepon seluler, dari asuransi hingga perbankan, dan dari pabrik kertas hingga angkutan udara. Apa saja yang disentuhnya seperti berubah menjadi emas. Tapi, itu dulu.
Pengangkatan Bob sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam kabinet Orde Baru terakhir memberikan citra kental tentang persekutuan terkutuk kroniisme, kolusi, dan korupsi, yang mempercepat keruntuhan Soeharto. Dan ketika Soeharto jatuh, sirna pula "sentuhan Midas" Bob.
Dia seketika menjadi paria. Satu per satu bisnisnya beralih tangan. Dan apa saja yang berkaitan dengannya kini dijauhi.
Pertengahan April lalu, Bob terpaksa menyetujui penjualan 5 persen sahamnya di PT Kertas Kraft Aceh (KKA) kepada pemerintah. Sebelumnya, Bob telah melepas 7 persen dari total 12 persen saham di pabrik kertas terbesar di Indonesia itu.
Nusantara Ampera Bhakti's (Nusamba)?imperium investasi yang dikendalikan Bob?juga tergerogoti sedikit demi sedikit. Dimiliki oleh tiga yayasan Soeharto (80 persen), sementara Bob dan Sigit berbagi sisanya, Nusamba sangat digdaya di masa lalu, merasuki terutama sektor pertambangan dan telekomunikasi.
Selamanya di bawah ketiak Soeharto, Pertamina?salah satu "sapi perah" Nusamba?kini juga berani. Februari lalu, perusahaan minyak negara itu mencaplok 35 persen saham Nusamba di PT Tugu Pratama Indonesia (TPI), sebuah perusahaan asuransi. Pada bulan yang sama, perusahaan itu mencaplok 25 persen saham Nusamba di Perta Oil Marketing, sebuah divisi pemasaran.
Tak hanya itu. Pertamina juga menghentikan kontrak pembangunan kilang LNG (gas bumi cair) Tangguh, Irianjaya, senilai US$ 3 miliar, yang pada 1997 diberikan kepada PT Inti Karya Persada Teknik milik Bob. Dan perusahaan itu memberikan rekomendasi agar perusahaan asing Unocal Corp. mencaplok 10 persen saham Nusamba di dua penambangan minyak Kalimantan Timur.
Semula menjadi tiket sakti, nama Bob kini bahkan berubah menjadi kutukan.
PT McDermott Indonesia, misalnya, menolak tudingan bahwa Bob memiliki saham di situ. Maret lalu, perusahaan konstruksi itu memenangi tender membangun pembuatan pipa bawah laut sepanjang 650 kilometer untuk menyalurkan gas alam dari Natuna ke Singapura. Namun, Pertamina kini tengah menimbang ulang tender tadi setelah muncul protes dari anggota DPR menyangkut "aroma" Bob di perusahaan tersebut.
International Air Finance (IAF)?perusahaan investasi internasional di bidang penerbangan?dikabarkan tertarik menghidupkan Sempati Air, yang kini mati suri. Namun, IAF mengajukan satu syarat: Bob?yang menguasai 35 persen saham?harus minggir dari perusahaan itu.
Kenapa Bob Hasan begitu dibenci? Jawabannya terletak pada sejarah Orde Baru. Meski bukan satu-satunya, Bob dikenal sebagai kroni Soeharto paling mencolok dan mungkin paling loyal. Terutama lewat Nusamba, Bob mewakili wajah bisnis yang bengis dan kotor dari kediktatoran Soeharto.
Bob Hasan serta kantornya menolak menjawab pertanyaan TEMPO yang berkaitan dengan soal-soal tadi ataupun tentang sejarah masa lalunya bersama Soeharto. "Terserah mau menulis apa saja tentang saya," katanya seperti dikutip seorang pembantunya pekan lalu.
Dibangun pada 1970-an, Kayumanis Group?bisnis US$ 3 miliar yang 75 persen dimilikinya?hanyalah sebuah intro yang didendangkan Bob dalam industri perkayuan. Lagu yang sebenarnya muncul dari Asosiasi Panel Kayu Lapis Indonesia (Apkindo). Christoper M. Barr, penulis tesis doktoral Universitas Cornell berjudul Bob Hasan, the Rise of Apkindo, and the Shifting Dynamics of Control in Indonesia's Timber Sector (1997), mengatakan bahwa Apkindolah sumber kekuatan riil Bob dalam industri itu. (Lihat: Cengkeraman Kartel Sang Baron.)
Dibentuk pada 1980 dan beranggotakan 108 perusahaan, Apkindo menyalahi hampir seluruh prinsip kapitalisme Adam Smith. Apkindo adalah kartel, adalah oligopoli. Tidak semua bentuk kartel bersifat buruk dan merusak. Namun, dengan wataknya yang samar-samar, monopolistik, serta "ramboistik", asosiasi itu menjadi sarang korupsi dan kolusi yang kelewat batas.
Untuk satu hal, lewat Apkindo, Bob sukses menggenjot daya saing internasional industri kayu Indonesia dan secara efektif pula berhasil mencaplok 70 persen pangsa ekspor plywood dunia. Namun, sebagai ketua dewan direkturnya sejak 1983, Bob juga menjadikan Apkindo mesin pencetak uang untuk dirinya sendiri, keluarga Soeharto, dan militer. Dia menggunakan pamor politik Soeharto untuk mengontrol ratusan juta dolar iuran wajib dan mengalokasikan kontrak besar untuk perusahaan sendiri.
Lembaga lain yang membuatnya benar-benar berkuasa adalah Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI)?payung organisasi yang membawahkan sembilan asosiasi usaha kehutanan, termasuk Apkindo. MPI pecah setelah Soeharto jatuh. Sofyan Siambaton, Ketua MPI Reformasi, menyatakan, selama 1991-1997 Bob telah mengeruk US$ 2,04 miliar berkat organisasi ini.
Minatnya yang begitu luas juga tak membuat dia simpatik. Bob menguasai dari hulu hingga hilir industri kayu: pengelolaan hak pengusahaan hutan (HPH), pabrik kertas, pengapalan, dan jasa asuransi. Dan tidak puas dengan itu semua, dia menjelajahi bisnis-bisnis lain, termasuk ikut serta dalam perebutan tambang emas Busang.
Bisnis tersebut banyak yang dikembangkan lewat kredit dari bank pemerintah yang mengucur lancar berkat Soeharto. Orang belum lupa bagaimana setahun sebelum Soeharto turun, sebuah konsorsium bank pemerintah memberikan kredit senilai US$ 1,3 miliar untuk pembangunan pabrik pulp milik Bob. Perusahaan Bob Hasan yang lain, seperti PT Kiani Kertas, juga memperoleh kucuran dana ratusan miliar rupiah dari yayasan Soeharto.
Seperti banyak konglomerat lain, Bob punya bank sendiri?cara murah untuk menarik dana publik. Bank Umum Nasional milik Bob ikut dilikuidasi dan termasuk salah satu pelanggar batas pemberian kredit untuk perusahaan sendiri?suatu bentuk tindak kriminal.
Bob mempersonifikasikan perselingkuhan antara bisnis dan politik yang secara umum merugikan. Sebuah laporan Bank Dunia dua tahun lalu menyebutkan, kaitan seperti itu "telah membuat mahal investasi di Indonesia, melemahkan daya saing, dan menyumbang ketimpangan."
Akhir tahun lalu, Jaksa Agung Andi Ghalib menyatakan bahwa nepotisme dan kroniisme memungkinkan Presiden Soeharto menggunakan posisinya untuk memperkaya keluarga dan para kroninya triliunan rupiah.
Rakyat Indonesia secara keseluruhan dirugikan karena?lewat pemerintah?kini harus membeli perusahaan yang kolaps dan menomboki bank Bob yang terlikuidasi. Sebagai konsumen, mereka juga harus membayar lebih mahal akibat mark-up dan kolusi di perusahaan negara seperti Pertamina, PLN, dan Telkom. Pertamina, misalnya, mengaku bisa menghemat Rp 1 triliun jika ratusan kontrak?antara lain dengan perusahaan Bob?yang berbau kolusi dan nepotisme bisa dipangkas.
Meski memegang saham minoritas, Bob praktis menguasasi perusahaan-perusahaan negara berkat kedekatannya dengan Soeharto. Di Pertamina, misalnya, Tugu Pratama tak hanya memonopoli asuransi, tapi juga menerapkan premi yang mahal. Di masa lalu, Kertas Kraft Aceh hanya boleh membeli bahan mentah dari perusahaan Bob, dengan harga yang tidak kompetitif.
Begitulah. Kekuasaan membawa hak-hak istimewa. Dan ketika kekuasaan runtuh, begitu pula semua hak istimewa yang terikat padanya.
Bisnis Bob Hasan mungkin tidak akan pernah sirna?meski teman main golfnya telah lengser. Akumulasi kekayaannya terlalu besar untuk meruntuhkannya seketika. Dan yang terpenting, Jaksa Agung tidak berani mengusut serius penyimpangan bisnisnya. Betapa menyenangkan jadi konglomerat di Indonesia!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini