Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Cengkeraman Kartel Sang Baron

Apkindo dibangun atas nama sebuah misi suci. Dalam praktek: kartel itu menjadi mesin uang Bob Hasan dan Dinasti Cendana.

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOHAMMAD "Bob" Hasan dan Muhammad Soeharto punya banyak kesamaan. Seminggu dua kali, mereka bermain golf bersama. Soeharto adalah sejenis diktator yang sempat mendikte hitam putih Republik. Bob Hasan adalah bak baron yang nyaris merambah tiap jengkal bisnis perkayuan di Tanah Air. Soeharto melanggengkan tahtanya lewat Golkar dan ABRI. Bob melakukannya melalui kartel bermantel Asosiasi Panel Kayu Lapis Indonesia (Apkindo). Padahal, ihwal The Kian Seng?begitu nama asli Bob?di bisnis kayu nyaris cuma bermodalkan dengkul. Pada 1970, sebuah perusahaan raksasa dari Amerika Serikat, Georgia Pacific Co., membidik konsesi hutan seluas 350 ribu hektare di Kal-Tim. Melalui perantaraan Angkatan Darat, Bob lalu digandeng untuk mendirikan PT Georgia Pacific Indonesia. Sebagai imbalan, 10 persen "saham kosong" dijatahkan untuknya. Bob lalu mulai merajalela. Dibeking kawan lamanya sejak 30 tahun lalu, Soeharto, ia menendangi satu per satu rekan kongsinya. Dalam kurun waktu 14 tahun, Georgia Pacific terdepak sudah. Seratus persen kepemilikan berhasil dikangkanginya. Ia pun menahbiskan sebuah nama baru: PT Kiani Lestari. Berikutnya, Kalimanis Group didirikan untuk menaungi berbagai cabang perusahaannya di sektor perkayuan. Langkahnya tak berhenti sampai di situ. Ia membagikan saham berbagai perusahaan yang dikuasainya kepada anggota keluarga Soeharto. Utak-atik kepemilikan Santi Murni Plywood (lihat: infografik) adalah tahap awal dari strategi besar mengonsolidasi kongsinya dengan jalur Cendana. Dengan pola yang sama, ia membangun kelompok usaha Nusantara Ampera Bhakti (Nusamba), International Timber Corporation of Indonesia (ITCI), dan banyak lainnya. Hasilnya, posisinya sebagai manajer bisnis Cendana dan militer makin kukuh. Puncaknya adalah ketika pada 1980 Soeharto "mengutusnya" ke Apkindo. Melalui lembaga beranggotakan 108 perusahaan inilah, kuku bisnis Bob menghunjam dalam. Atas nama mission sacred (misi suci): menggenjot daya saing kayu lapis Indonesia di pasar internasional, Apkindo lalu dipoles menjadi kartel. Berikut berbagai kewenangan berbau oligopoli, dari menentukan kuota, harga jual, sampai negara pasar. Yang luar biasa, praktek ini selalu dilegitimasi pemerintah. Surat Keputusan Menteri Perdagangan, misalnya, mengukuhkan kewenangan Dewan Pemasaran Bersama?salah satu perangkat Apkindo?untuk melakukan negosiasi dengan pembeli di luar negeri atas nama seluruh anggotanya, termasuk urusan menerbitkan setiap kontrak penjualan sampai letter of credit (LC). Soeharto memang tak tanggung-tanggung memberi dukungan. Pada pertengahan 1985, delapan perusahaan kepergok membanting harga di bawah standar yang ditetapkan. Pemerintah tak ragu bersikap tegas. Atas "permintaan" Apkindo, lisensi ekspor perusahaan itu lalu dibekukan enam bulan. Padahal, pemiliknya adalah "nama-nama besar": Liem Sioe Liong, Departemen Pertahanan dan Keamanan, yayasan-yayasan Soeharto, juga Bambang Trihatmodjo. Keputusan yang langsung diambil Soeharto sendiri itu?atas saran Bob?rupanya hendak mengirim sinyal: pemerintah berada di belakang Apkindo. Membawa bendera Cendana, Bob si Raja Hutan "memerintah" dengan tangan besi. Ia tidak menolerir setiap pembangkangan. Sama seperti Soeharto, kepemimpinannya nyaris tanpa kritik. Tak satu pun pengusaha berani berselisih pendapat dengannya. Tanpa tanda tangannya, jangan harap izin ekspor bisa keluar. Rapat yang dipimpinnya selalu singkat. Ia memaparkan persoalan, merumuskan jalan keluar, dan sekaligus mengambil keputusan. Yang lain tinggal manggut-manggut dan pasrah. Pada awalnya, jurus Apkindo seolah berhasil menganvaskan pesaing dari negara lain. Contohnya, di Amerika Serikat. Menerapkan strategi banting harga?50 persen sampai 80 persen?kayu lapis nasional sukses mendepak produk Korea Selatan dan Taiwan, yang pada 1983 telah menguasai 60 persen pangsa pasar. Empat tahun kemudian, Apkindo telah berhasil meraup 74 persen pasar impor di Amerika. Sementara itu, Taiwan dan Korea Selatan jeblok, masing-masing ke angka 18 persen dan 1 persen. Dalam kurun waktu 10 tahun, Apkindo sukses menggenjot pangsa pasar ekspor dunia sampai sepuluh kali lipatnya. Pertanyaannya ialah: siapa yang diuntungkan? Ternyata cuma segelintir pengusaha?pengurus teras asosiasi?yang punya akses ke penentuan kebijakan. Dan khususnya, tentu saja, Bob sang ketua, dan Keluarga Cendana. Anggota lain cuma beroleh "buntung". Bayangkan saja: setiap anggota dibebani berbagai setoran. Untuk sertifikat kualitas produk, mereka ditarik ongkos US$ 2 per meter kubik. Untuk keperluan promosi, Apkindo mengutip US$ 10. Dari pos ini saja, selama 10 tahun?sejak diberlakukan pada 1983?total setoran produsen diperkirakan mencapai US$ 700 juta. Diam-diam, berbagai keganjilan di belakangnya mulai dikeluhkan. Kenapa pada saat Apkindo sudah berhasil menembus pasar ekspor, ongkos promosi terus dikutip? Apalagi, pembukuannya jauh dari transparan. Banyak yang meyakini dana "pungli" itu digunakan Bob untuk mendanai investasi pribadinya. Yang jelas, berbagai biaya siluman itu justru membebani ongkos produksi. Tapi, siapa yang berani terang-terangan menggugat? Bayangkan saja, suatu waktu Presiden Soeharto sampai perlu menandaskan sendiri kepada produsen untuk melakukan pemetaan dari udara. Dengan catatan, mereka wajib bekerja sama dengan Apkindo dan menyetor US$ 1 per meter kubik produksi tiap tahun. Bob tak tinggal diam. Ia malah makin merangsek: memonopoli asuransi dan pengapalan kayu lapis setiap anggota asosiasi. Untuk setiap kontrak asuransi, perusahaan miliknya, PT Asuransi Tugu Pratama, mendapat satu persen dari total nilai penjualan. Pengapalan kayu lapis wajib menggunakan armada PT Kencana Freight Lines, yang lagi-lagi dimiliki Bob. Ongkosnya: US$ 31 per meter kubik. Bukan Bob Hasan kalau puas cuma sampai di situ. Langkah berikut, ia mendirikan berbagai perusahan impor dan distributor?masih dengan semangat monopoli?untuk memusatkan ekspor kayu lapis Indonesia di satu pintu. Di Jepang, didirikan Nippon Indonesia (Nippindo). Juga, Indo Kor Panels Ltd. untuk pasar Korea Selatan, Celandine Co. Ltd. untuk Cina dan Taiwan, PT Fendi Indah untuk Timur Tengah, dan Fendi Wood untuk Singapura dan Eropa. Lagi-lagi, itu semua dipelintirnya menjadi bagian bisnis pribadinya. Dalam kasus Nippindo, misalnya. Semula ia meminta setiap anggota Apkindo menyetor US$ 50 ribu untuk menyokong penerbitan LC perdana. Tapi, tiga bulan kemudian, eh, Bob mengembalikan dana tersebut dan langsung mengklaim seluruh saham Apkindo di Nippindo atas nama pribadinya. Kasus Indo Kor?yang sepenuhnya berada di bawah kontrol Bob?sami mawon. Sesil Trading Co., yang ditunjuk menangani impor dan distribusi kayu lapis Indonesia di Korea Selatan, adalah perusahaan yang punya sejarah kental dengan Bob sebagai pemasok Grup Kalimanis. Tambahan lagi, pemilik Sesil, Lee Won Kyu, tak lain adalah ipar Direktur Pemasaran Kalimanis, Gerald White. Dengan manuver itu, semua jalur langsung antara produsen lokal dan pembeli internasional dibabat habis. Pendek kata, semua harus lewat tangan Bob. Sampai-sampai, para produsen baru bisa mengetahui identitas pembeli saat tanda bukti penjualan datang. Hasilnya, si Raja Hutan berhasil menguasai 87 persen pangsa pasar internasional dari total produksi kayu lapis nasional. Sambil ongkang-ongkang kaki, tanpa risiko apa pun, ia tinggal menerima sejumlah ongkos pemasaran yang dikutipnya. Belum lagi keuntungan yang diperolehnya dengan menaikkan harga jual dari harga semula yang ditetapkan Apkindo. Praktek ini jelas-jelas membuat anggota Apkindo megap-megap. Produsen yang mengekspor ke Jepang dirugikan US$ 120 untuk setiap meter kubiknya. Meskipun ongkos produksi mencapai US$ 320, Apkindo mencekik harga jual ke Nippindo hingga cuma US$ 200. Sementara itu, Nippindo malah enak-enakan menaikkan harga jualnya antara US$ 220 dan US$ 225 per meter kubik. Antara 1990 dan 1991, total kerugian produsen mencapai US$ 210 juta. Sementara itu, Nippindo malah menangguk keuntungan antara US$ 42 juta dan US$ 57 juta. Meski Bob selalu tak bergeming, berbagai kenyataan membuktikan bahwa praktek oligopoli itu jelas-jelas telah berbalik memukul industri kayu lapis dalam negeri. Dan, untunglah, patgulipat itu berakhir juga di bawah sedekap Direktur International Monetary Fund (IMF), Michel Camdessus. Atas desakan nota kesepakatan IMF-Pemerintah RI, terhitung mulai 1 Februari 1997 lalu, eksportir kayu lapis dibebaskan dari cengkeraman Apkindo. Bob, yang tak lagi berdaya, seperti dikutip Financial Times, cuma bisa uring-uringan, "Ini adalah Republik Indonesia, bukan Republik IMF!" Bob benar. Tapi, dia juga perlu tahu: negara ini bukan Republik Cendana pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus