Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya pemilik PT Porta Nigra, Benedictus Purwanto Rachmat, mengambil kembali tanah yang diperolehnya dari warga Meruya Udik—sekarang disebut Meruya Selatan—melalui Haji Djuhri kian menggerogoti ginjalnya. ”Ia sudah lima kali cuci darah setelah kasus ini,” kata seorang kerabat yang mendampinginya dalam wawancara.
Benny yang dulu lebih dikenal dengan nama Benny Astra—ia masih kerabat pendiri Astra—saat ini tengah berusaha mengeksekusi lahan 44 hektare di Meruya Selatan. Pria 65 tahun ini hendak melaksanakan putusan kasasi Mahkamah Agung dalam kasus perdata Porta Nigra versus Djuhri.
Ia mengeluh masyarakat telanjur melempar kebencian kepada Porta Nigra tanpa berusaha mencari kebenaran. ”Saya bisa apa? Lawan saya Pemda,” katanya meradang. Kepada Tempo, ia menjelaskan perihal Meruya selama tiga jam pada Rabu pekan lalu di Hotel Gran Melia. Tak jarang, ia menunjukkan kemarahannya hingga berbicara di luar konteks.
Apa bukti kepemilikan tanah yang Anda miliki?
Girik putih. Ada juga surat keterangan girik hilang, dan surat penyerahan kuasa yang diperlukan.
Banyak warga yang masih memiliki girik asli?
Mereka punya salinan. Punya saya asli.
Bagaimana kronologi pembebasan Meruya?
Saya membebaskan tanah di Meruya sekitar 100 hektare. Rencananya (pembebasan) ini sebagai alternatif pencadangan tanah untuk relokasi Kedoya, Sunrise, dan Multiplaza. Saya beli sekitar Rp 250 juta. Tapi, saya keluarnya Rp 300 jutaan. Uang yang hilang di jalan juga banyak.
Anda tidak memiliki surat izin pembebasan tanah di atas 5.000 meter seperti seharusnya?
Saya menunggu SK (surat izin pembebasan tanah) turun pada 1973. Sampai 1974, SK-nya tidak juga keluar. Tapi, sayalah pembeli tanah pertama di Meruya.
Staf Anda, Sutanto Suganda, sudah mengingatkan soal itu.
Surat izin di Meruya itu sudah diblokir Wali Kota Jakarta Barat, S. Silalahi MA.
Jika belum berizin, mengapa Anda terus membeli tanah pada 1973?
Saya tidak pernah membeli lagi karena SK itu tidak keluar. Sampai 1973, saya hanya membereskan administrasinya saja. Ada girik hilang, girik putih. Saya sempurnakan surat-surat itu menjadi girik merah karena akan saya sertifikatkan. Sebelumnya, BPN sudah mengukur tanah saya. Jadi, kalau BPN bilang tidak ada gambar ukur, saya bisa buktikan, terbitnya tahun 1973.
Bagaimana cara Anda membayar Djuhri?
Saya bawa tunai pakai mobil, wong dulu belum lewat bank.
Tidak ada yang lewat Pak Suganda?
Ada sebagian lewat Pak Suganda.
Kepada Opstib, Djuhri mengaku menerima Rp 225 juta dari Anda?
Ya segitu. Semuanya berawal dari itikad baik. Tidak ada penduduk yang jual tanah bohong-bohongan. Semua, baik Pak Haji Djuhri, Pak Yahya, Pak Toegono, semua baik. Uang yang membuat mereka menjadi jahat.
Dalam putusan pidana, Djuhri harus mengembalikan tanah yang lima hektare, memberikan tanah tiga hektare, dan uang Rp 175 juta kepada Anda. Apa itu berarti Djuhri sudah mengganti seluruh kerugian Anda?
Salah. Tidak mungkin duit yang sama pada 1972 dipakai untuk membeli luas tanah yang sama pada 1986–1987. Nilainya pasti sudah beberapa kali lipat. Buat saya pembayaran itu tidak ada artinya. Misalnya saya beli tanah di Sunter Rp 2.000. Apa dengan mengembalikan Rp 200 ribu sudah beres? Kan tidak.
Sebenarnya uang itu sudah pernah dibayarkan?
Saya tidak tahu. Kepada saya tidak pernah.
Mengenai penggantian lima hektare itu?
Itu dari dulu sudah punya kami, yang sekarang menjadi Meruya Residence.
Jika bukan ganti rugi, kenapa Anda terima?
Saya tidak pernah terima uang dari Haji Djuhri.
Kami ada kuitansinya dan di situ ada nama Anda?
Tidak ada nama saya. Pak Anwar mungkin. Tapi itu pun dipakai untuk membatalkan sertifikat yang muncul. (Tempo mendapatkan salinan kuitansi dengan tanda tangan dan nama Ir. Benny Purwanto Rachmat di atas meterai Rp 1.000 untuk penerimaan uang Rp 10 juta pada 29 April 1987).
Kami masih ingin penegasan soal kuitansi, Anda membantah menandatangani kuitansi itu?
Nggak tahu saya. Saya kan nggak ngerti. Saya bukan tiba-tiba butuh uang sekarang. Kami tidak pernah hidup dengan uang dari Meruya. Tanah itu tidak saja dijual ke warga, tapi ada yang dibagi-bagi.
Kenapa Anda baru mengurus sekarang?
Kami berulang kali mencoba mengurusnya, tapi selalu ditolak. Situasi politik tidak mendukung karena ada Pemda DKI. Kedua, ada Probosutedjo. Jadi, kami kini fokus ke kaveling DKI karena di kaveling lain, seperti milik Intercon dan Copylas, masih berupa tanah kosong. Mereka sudah diberi tahu Opstib agar jangan membangun di atas tanah beperkara. Sampai hari ini juga tidak dibangun. Apa yang terjadi di Kaveling DKI? Oknum-oknumnya bagi-bagi tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo