Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski baru menginjak tahun kelima menjadi warga Meruya Selatan, Francisca Romana, 35 tahun, sudah menyingsingkan lengan baju sama tinggi dengan warga lainnya dalam melawan PT Porta Nigra. Ia tergerak karena, katanya, ”Ketika ke posko Forum Meruya, warga membicarakan soal itu tapi tak tahu apa yang harus mereka buat.”
Di sana ada dua pengacara lainnya yang turut aktif di posko warga Meruya: Lorensius Toreh dan Kisnu Haryo. Karena satu-satunya wanita, mantan pengacara kantor hukum Frans Hendra Winarta itu pun didaulat menjadi ketua tim. Selain diwawancarai lewat telepon, Francisca juga sempat berkunjung ke kantor Tempo di Jalan Proklamasi.
Anda yakin bisa menang melawan Porta Nigra?
Ada tiga alasan mengapa kami bisa menang. Pertama, warga memiliki alas hak yang jelas seperti sertifikat, surat kaveling, dan girik. Secara hukum administrasi negara dan hukum pertanahan produk-produk tersebut diakui sebagai hak kepemilikan atas tanah. Kedua, warga memelihara serta menguasai tanah dan bangunannya. Sebagai bukti kepemilikan dan penguasaan warga dipungut pajak bumi dan bangunan. Ketiga, alas hak warga sampai saat ini belum dibatalkan oleh siapa pun atau instansi mana pun.
Di mana kelemahan klaim Porta Nigra atas tanah warga?
Porta Nigra tidak pernah menguasai tanah, tidak mengetahui persis lokasi tanahnya. Selain itu, sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria yang berhak memiliki tanah hak milik (adat) adalah warga negara Indonesia (perorangan) dan badan hukum tertentu. Badan hukum swasta dimungkinkan membeli, tapi harus ada izin prinsip. Undang-undang menetapkan untuk luas kepemilikan perorangan untuk lahan darat dibatasi hanya lima hektare dan enam hektare untuk lahan sawah. Berarti Porta menabrak tiga dasar hukum. Sekarang yang dia miliki hanya keputusan Mahkamah Agung dan itu bisa diuji kembali.
Porta mengatakan, dengan putusan pidana yang menghukum Djuhri dan teman-temannya, hak alas warga Meruya atas tanah menjadi gugur. Menurut Anda?
Putusan pidana Toegono maupun Haji Djuhri hanya mengatakan Djuhri terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan. Tapi pemalsuan di lahan yang mana, surat yang mana, dalam putusan itu tidak jelas. Base on putusan pidananya juga tidak nyambung. Itu suatu cacat.
Benjamin Mangkoedilaga berdalih, majelis kasasi memaksudkan tanah kosong dalam pertimbangan kasasi adalah situasi pada 1972–1973. Apakah ini bisa diterima?
Jelas-jelas di halaman 133 putusan kasasi dikatakan, berdasarkan berita acara tertanggal 1 dan 7 April 1997 ternyata di atas tanah sengketa tidak ada catatan penghuni dan bangunan. Berarti dasar pertimbangannya fakta di lapangan pada 1997, bukan 1972. Yang pasti, apa pun yang dikatakan putusan perdata itu kurang pihak. Di sini hukum acara sudah dilanggar.
Dalam perkara pidana, juga pihak-pihak lain sudah muncul seperti Pemda DKI, Copylas, Lambrata, dan sebagainya. Pihak ini katanya menerima penjualan lahan. Kalau terbukti Djuhri menjual pada mereka, mengapa mereka tidak digugat? Istilahnya, mereka itu penadah, tapi kenapa Porta Nigra tidak menggugat itu? Ini patut dipertanyakan.
Benny mengatakan sejak 1980-an sudah ada sita jaminan atas tanah di Meruya. Artinya, sertifikat yang dibuat atas tanah itu pada periode tersebut tidak berdasar?
Blokade itu meliputi tanah yang disertifikatkan oleh Toegono, jadi hanya lima hektare. Jadi, blokade telah selesai ketika putusan itu keluar.
Porta Nigra berjanji tidak akan mengusik warga, tapi hanya akan mengeksekusi lahan kosong seluas 15 hektare. Kenapa penawaran mediasi Anda tolak?
Ketika acara mediasi di pengadilan Porta Nigra tidak menawarkan apa pun kepada kami. Tawaran itu melalui mediator Komisi II DPR, di mana format atau apa-apanya tidak konkret, tetapi baru wacana. Bagaimana kita bisa menerima kalau hanya wacana? Yang pasti, warga posisinya tidak menuntut apa pun. Warga hanya mempertahankan hak. Prinsipnya, mediasi atau apa pun di pengadilan, warga siap. Tapi kalau di luar lembaga itu, maaf, kami tidak menerima.
Anda percaya tidak ada pelanggaran hukum dalam proses pembelian tanah dan sertifikasi oleh DKI dan perusahaan-perusahaan lain?
Kami bukan pelaku sejarah. Pada 1972, kita juga baru lahir. Ada pelanggaran atau tidak, yang pasti warga pembeli beritikad baik. Warga juga punya alas hak yang jelas. Jika Porta Nigra punya data itu, tuntut saja mereka.
Apa target minimal gugatan warga terhadap Porta Nigra?
Target minimal kita membatalkan penetapan eksekusi dan agar warga tidak terikat dengan keputusan Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo