Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Tergorok Girik Asli

Putusan Mahkamah Agung yang memenangkan Porta Nigra berbenturan dengan dokumen asli yang dikantongi warga.

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Girik-girik itu seratus persen sahih. Meski wujudnya sudah lapuk dan menguning, surat itu klop dengan buku induk tanah adat alias Leter C yang tersimpan di kelurahan. Tapi dokumen-dokumen ini tak menjadi pertimbangan majelis hakim kasasi Mahkamah Agung dalam memutus perkara perdata antara PT Porta Nigra dan Haji Djuhri bin Haji Geni. Mahkamah Agung menyatakan, melalui Haji Djuhri, perusahaan itu terbukti telah membeli tanah seluas 44 hektare atau sepersepuluh Kelurahan Meruya Selatan, Jakarta Barat, pada 1970-an-meskipun tak diikuti dengan pengambilalihan girik dan pencatatan pada Leter C (lihat infografis: "Jeruk Makan Jeruk"). Inilah kisah girik asli yang tak bisa membela tuannya.

Musowir

Nahas benar nasib Musowir jika PT Porta Nigra jadi mengeksekusi tanahnya. Lahan seluas 760 meter persegi yang dibelinya dari girik nomor 460 persil nomor 14 atas nama Remik bin Gobel terancam disita Porta. Padahal ia sudah memiliki sertifikat atas tanahnya tersebut.

Lagi pula, Musowir membelinya dengan sangat hati-hati. Mantan pegawai Bank Dagang Nasional ini mengaku, ketika membeli lahan di RT 03/04 pada 1984 itu, ia menelusuri riwayat tanah tersebut langsung kepada pemiliknya. "Saya juga memastikan keaslian girik itu," ujarnya. Saat jual-beli, ia pun meminta perubahan pencatatan dalam buku induk tanah, Leter C, di Kelurahan Meruya Selatan.

Ketika membuat sertifikat pada 2000, ia menggunakan fotokopi girik ini beserta akta jual-beli asli dan surat bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan. Proses pembuatan sertifikat ini lancar-lancar saja. Artinya, tanahnya tidak dalam sengketa. "Selama ini, saya juga tidak pernah mendengar kalau tanah ini bersengketa," katanya.

Pria 65 tahun itu menuturkan, ia membeli lahan di atas girik milik Remik itu dalam dua tahap. Tahap pertama, seluas 540 meter persegi, dibelinya dari tangan Rojali, yang membelinya dari Sana bin Remik. Harganya ketika itu Rp 20 ribu per meter persegi. Pembelian kedua, seluas 150 meter persegi pada 10 Agustus 1984 langsung kepada Minah binti Remik seharga Rp 25 ribu per meter persegi, masih menggunakan girik yang sama. Selain kepada dirinya, sebagian tanah Remik yang luas totalnya mencapai 4.470 meter persegi itu dijual kepada orang lain.

Penelusuran Tempo menemukan penjualan tanah Remik kepada Musowir memang tercatat dalam Leter C di Kelurahan Meruya Selatan. Di lembaran C itu terdapat catatan pengalihan tanah dari pemilik sebelumnya, Remik bin Gobel, kepada Endang Sri Rahayu, istri Musowir.

Tempo juga melihat proses peralihan tanah dari pemilik lama ke pemilik baru di buku yang sudah terlihat kumal dan rapuh itu. Dan dari lembaran yang diperiksa majalah ini, tak ditemukan nama PT Porta Nigra. Kepada Tempo, Wakil Lurah Meruya Selatan Saidi Tunggul juga memastikan dalam buku Leter C di kelurahannya tak ditemukan peralihan lahan di Meruya Selatan atas nama Porta Nigra atau Ir. Benedictus (Benny) Purwanto Rachmat.

Goler bin Dait

Saat rencana eksekusi puluhan hektare lahan Porta Nigra di Meruya Selatan ramai dibicarakan, Goler bin Dait tengah mengurus kebunnya, tidak jauh dari kompleks Kaveling DKI Meruya Selatan, Jakarta Barat. Pada awalnya, ia tak peduli dengan ribut-ribut tetangga sekitarnya.

Belakangan ia baru tahu tanahnya di sisi utara kompleks Meruya Residen termasuk yang diklaim PT Porta Nigra. Dalam daftar penetapan pengadilan Porta Nigra, 3.475 meter persegi lahannya dinyatakan sebagai milik perusahaan Purwanto Rachmat itu. Mengacu pada luas tanah yang tertulis pada giriknya, untuk dia cuma tersisa 525 meter persegi.

Keruan lelaki 57 tahun itu gundah. "Hati saya jadi tak tenang. Lah bagaimana ceritanya girik enggak ke mana-mana, kok, diaku-aku orang," ujarnya. Girik nomor 85 atas nama orang tuanya, Dait bin Niman, memang masih aman di tempat penyimpanannya.

Goler mengakui orang tuanya telah menjual sebagian dari lahan seluas 4.000 meter persegi itu kepada orang lain. Namun pembelinya bukan Porta Nigra atau anteknya. Orang tuanya juga selalu memberi tahu anak-anaknya setiap kali menjual tanah. "Jualnya juga tidak pake perantara," katanya.

Para pembeli tanahnya pun jelas. Mereka langsung membangun lahan yang dibeli untuk ditinggali. Sebagian pembeli bahkan sudah membuat sertifikat tanah.

Kini Goler memiliki kegiatan baru selain berkebun. Hampir tiap malam ia rajin menyambangi Posko Forum Masyarakat Meruya Selatan, tempat warga berkumpul mengatur strategi perlawanan dan gugatan kepada PT Porta Nigra, yang berjarak seratus meter dari rumahnya. "Supaya tahu perkembangan," ujarnya.

H. Manaf bin Nusih

Keinginan PT Porta Nigra untuk mengakuisisi lahan di Meruya Selatan membuat Haji Abdul Manaf, 59 tahun, keheranan. Inilah soalnya: orang tuanya, Nusih bin Kleneng, hanya menjual tanah itu sekali, kepada Pemda DKI, pada 1973.

Sejak penjualan lahan kepada Pemda itu, tak ada lagi surat girik karena sudah diserahkan kepada Pemda saat jual-beli. Eh, girik yang sama-atas nama orang tuanya, Nusih bin Kleneng-ternyata tercantum dalam penetapan pengadilan sebagai alas hak tanah Porta Nigra.

Manaf, yang rumahnya di kompleks Kaveling DKI direlakan menjadi markas Posko Forum Masyarakat Meruya Selatan, mengaku tahu persis orang tuanya tidak pernah menjual lahan itu kepada Porta ataupun para calo suruhannya. Dia menceritakan, keluarganya adalah yang paling akhir melepas tanahnya di kawasan itu kepada Pemda DKI.

Penjualan 5.000 meter persegi lahan darat dan sawah itu pun tidak seluruhnya diganti uang. Sebagian lahan darat ditukar dengan 7 kaveling, setara dengan 2.200 meter persegi. Sedangkan lahan sawahnya ditukar dengan lahan sawah di daerah Mauk, Tangerang. Hanya 500 meter persegi lahan yang kemudian diganti dengan uang. "Saat itu harga tanah masih Rp 175 per meter persegi," ujar dia.

Kutur bin Senan

Turmudji alias Kutur bin Senan, 50 tahun, terkejut ketika Haji Rizki Utama-Ketua Ahli Waris Tanah Gondang-memberitahukan bahwa tanah seluas 3.500 meter persegi miliknya diklaim PT Porta Nigra pada Mei lalu. "Porta? Porta siapa?" ia bertanya.

Kutur sudah sering berhadapan dengan para penyerobot tanahnya yang berlokasi di Kampung Gondang, Meruya Selatan. Tapi tak ada yang bernama Porta. Ia bergidik ketika mengetahui Porta ternyata bukan nama sembarangan. Perusahaan ini mengklaim memiliki sepersepuluh luas lahan di kelurahannya!

Sudah sejak zaman ayahnya, Senan bin Katek, tanah itu kerap diserobot orang. Penyerobot terakhir adalah Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Gara-gara penyerobotan Pemda itu, ia tak pernah bisa menjual tanah seluas 1,3 hektare tersebut.

Pada 1994, misalnya, Kutur mencoba menjual tanah itu kepada PT Kuningan Persada-perusahaan kontraktor milik Usman Admadjaja. Namun penjualan itu batal di tengah jalan gara-gara klaim Pemda. Padahal kedua belah pihak sudah deal pada harga Rp 65 ribu per meter persegi. Artinya, ia akan mendapat Rp 845 juta dari penjualan tanahnya. PT Kuningan pun sudah memberikan uang muka Rp 70 juta.

Kutur sudah mengantongi tanda tangan Lurah Meruya Selatan karena dokumen kepemilikan tanahnya tercatat di Leter C kelurahan itu. Tapi, ketika Kutur dan Senan menyambangi kantor kecamatan, petugas menyebutkan tanah di girik nomor 602 itu sudah menjadi milik Pemda. "La, dari mana ceritanya?" kata Kutur kepada Tempo. "Saya tak pernah mendapat duit dari Pemda." Entah mengapa, PT Kuningan juga sampai kini tak pernah nongol lagi.

Kutur menduga penolakan waktu itu terjadi karena ia cuma punya girik. Agar bisa segera melepaskan tanahnya, Kutur pun mencoba mengurus dokumennya untuk dijadikan sertifikat. Ia berangkat ke kantor wali kota untuk memastikan klaim Pemda. Ia kecele. Pejabat di sana juga menyebutkan tanah mereka dimiliki Pemda.

Kini datang pula PT Porta Nigra. Porta mengakui tanah itu karena pernah dibeli Haji Djuhri. Tapi Kutur menangkisnya. Ia dan ayahnya mengaku tak pernah menjual tanah sejengkal pun kepada mandor Meruya Udik itu. Tempo menemukan, riwayat di Leter C Kelurahan Meruya Selatan pun menunjukkan pemilik tanah itu masih Senan bin Katek.

Kepala Seksi Pemberitaan Humas Pemda DKI Jakarta Rahmat mengaku tidak mengetahui persis persoalan tanah di Kampung Gondang. Setahu dia, Pemda DKI memang pernah membebaskan sebagian dari 17 hektare tanah di Gondang. "Tapi, apakah girik yang dimaksud Kutur termasuk dalam lahan yang telah dibebaskan Pemda DKI, mesti dicek satu per satu dari surat pelepasan haknya," kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus