Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Haji Djuhri bin Haji Geni sudah menjulang di kawasan Meruya sejak 1950-an. Sebagai mandor Meruya Udik, Jakarta Barat, ia menguasai berpuluh hektare tanah. Namanya kian tenar ketika pada Mei lalu PT Porta Nigra akan mengeksekusi 44 hektare tanah, kini bernama Meruya Selatan, yang dulu ia beli.
Ketika Djuhri ”berkuasa”, Meruya masih dirungkup sawah, rawa, dan pohon mangga. Sawah itu sebagian besar milik keluarga Geni, warisan Haji Keleneng, ”tuan tanah” pada zaman Hindia Belanda. Djuhri mendapat sawah di sekeliling Universitas Mercu Buana kini.
Laki-laki gempal itu diangkat menjadi kepala lingkungan alias mandor Meruya Udik pada 20 Juli 1956. Di akta pengangkatannya, tertulis ia lahir pada 10 Juni 1926, sedangkan di KTP tercetak 2 Januari 1928. Sebagai pegawai negeri golongan I/B2, Djuhri digaji Rp 111 per bulan. Jabatan mandor ketika itu jatuh kepada keturunan jawara. Djuhri terkenal weduk, tak mempan dibacok.
Ia juga disebut lulusan sekolah rakyat kelas tiga. Tapi, kepada anak-anaknya, ia mengaku tak lulus kelas satu. ”Sekolah gua keburu roboh,” katanya, seperti ditirukan Mardani, anak kelima dari istri pertamanya, kepada Tempo dua pekan lalu. Praktis Djuhri tak bisa baca-tulis.
Djuhri punya 15 anak dari tiga istri. Ia naik haji pada awal 1954 bersama istri pertamanya, Djaimah, yang ia nikahi enam bulan sebelumnya dengan emas kawin Rp 5.000. Uang sebesar itu setara dengan bayaran setahun mobil kredit Bung Hatta. Predikat haji menambah syarat ia menjadi mandor.
Ada tiga mandor di Meruya Udik. Wilayah I dipegang Lebar (80 tahun), wilayah II dikuasai Djuhri, dan wilayah III oleh Asmat Siming (almarhum). Menurut Lebar, etika dunia permandoran tak membolehkan saling serobot wilayah. Para mandor ini biasa berkumpul pada pukul 07.00-14.00 di kantor kelurahan untuk membicarakan keamanan lingkungan. Ketika itu istilah ”bajingan” sudah populer untuk menyebut maling dan begal yang merampok orang ke pasar.
Jalanan Meruya masih berbatu dan banyak debu. Jalan aspal baru muncul pada awal 1960-an, itu pun cuma dari Rawa Belong hingga kantor Kecamatan Kebon Jeruk sepanjang lima kilometer. Warga harus berjalan kaki ke pasar Kebayoran Lama atau Senen jika akan menjual hasil sawah. ”Semiskin-miskinnya orang sini, mereka punya sawah 3.000 meter,” kata Haji Manaf, 61 tahun, sepupu Djuhri.
Djuhri sendiri punya banyak tanah di Meruya, Pondok Kacang, Tanah Abang, juga di Tambun, Bekasi, hingga Pondok Aren, Tangerang. Selain mendapat warisan, ia membeli tanah-tanah itu untuk dijual kembali ke berbagai perusahaan yang membutuhkan tanah, atau mengakuinya karena tak bertuan.
Hidupnya kian mencorong memasuki awal 1972. Itu bermula ketika ia berkenalan dengan Muhammad Yatim Toegono. Orang Jelambar kepercayaan Benedictus (Benny) Purwanto Rachmat, Direktur PT Porta Nigra, ini sedang mencari tanah 78 hektare. Benny ketika itu sudah banyak membebaskan tanah untuk perusahaan besar semacam Astra. Maka terbuhullah kerja sama antara Toegono dan Djuhri.
Toegono menyerahkan Rp 26 juta dalam 15 kali setor—dari Rp 225 juta yang dijanjikan. Djuhri pun giat mendatangi warga untuk mengumpulkan girik. Harga tanah Meruya ketika itu sekitar Rp 250 per meter persegi. Djuhri mendapat 10 persen komisi. ”Jika mau bayar tanah, dia bawa sepeda motor satu truk,” ini kesaksian sebagian warga. Ke mana-mana Djuhri dikawal jagoan dan pembawa karung duit.
Lebar mengenang, selain memakai kemeja dan safari licin, hampir setiap bulan Djuhri berganti mobil. Ia sering menunggang Toyota Corolla atau jip Toyota kanvas. Sejak sibuk membeli tanah, Djuhri agak jarang nongol di kelurahan. Djuhri juga agak ”nakal”. ”Dia ambil tanah di wilayah orang,” kata Lebar.
Sampai medio 1973, Djuhri mampu membeli tanah 40 hektare—separuh dari target. Tapi kucuran duit dari Benny berhenti setelah Djuhri dipanggil Zainuddin. Camat Kebon Jeruk periode 1969-1979 ini mencium aksi mandornya itu. ”Dor, bebasin tanah banyak gini apa punya izin?” tanyanya. Ketika itu ada ketentuan pembelian tanah di atas 5.000 meter persegi harus mengantongi izin dari Gubernur DKI Jakarta.
Zainuddin menceritakan, ketika itu Djuhri gelagapan. Ia mengaku hanya disuruh Toegono, yang mengatakan bahwa surat masih dipegang Benny. Ketika Djuhri menanyakan langsung ihwal surat itu, Benny ia cuma mengatakan, ”Surat gampang, nanti diurus belakangan.” Djuhri mengkeret dengan jawaban itu. Ia tak berani meneruskan borong-memborong tanah.
Zainuddin bertanya tentang surat karena ia mendapat laporan bahwa perusahaan yang punya izin bukan PT Porta Nigra, melainkan Bank Rakyat Indonesia, PT Intercon, PT Copylas, PT Labrata, dan juga Pemerintah Daerah Jakarta. ”Selama jadi camat, saya tak pernah mendengar nama Porta,” katanya.
Tak ingin urusan jadi panjang karena menyalahi aturan, Djuhri menjual kembali tanah-tanah yang sudah dibelinya itu kepada beberapa perusahaan tersebut. Bersama Haji Yahya, adik tirinya, ia menyerahkan berkarung-karung surat tanah.
Di sinilah masalah muncul. Toegono tak terima dengan tindakan sohibnya itu. Ia minta Djuhri mengembalikan uang. Djuhri menyanggupi dengan tanah pengganti di tempat lain. Kesepakatan tak tercapai sehingga Toegono melapor ke Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Opstib) pada 13 Maret 1979.
Ditemani Maswan, anak sulungnya, Djuhri diinterogasi. Ia baru dibebaskan pada pukul 22.00. Mobil Toyota kanvasnya ditahan karena tak sanggup menyediakan Rp 6,5 juta yang diminta Toegono. Maswan yang pulang ke rumah hanya sanggup memboyong Rp 1,5 juta hasil menjual gelang dan kalung istrinya.
Sejak itu cerita memasuki episode meja hijau. Pada 1985, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis Djuhri hukuman percobaan dua tahun dan membayar Rp 175 juta plus delapan hektare tanah kepada Porta. Djuhri menganggap urusan selesai. ”Kami tak tahu jika Benny menggugat lagi secara perdata,” kata Mardani, 39 tahun.
Kini hari-hari Djuhri berjalan sunyi. Ia tinggal sendiri di rumah besarnya di jalan yang mengabadikan namanya. Rumah ini, plus 3.000 hektare tanah diseberangnya yang dihuni pelbagai warung, harta yang masih tersisa. Setiap bulan ia mendapat uang pensiun Rp 770 ribu, yang naik menjadi Rp 890 ribu mulai bulan lalu.
Mata dan telinganya tak lagi awas. Tubuhnya ringkih. Anak-cucu bergantian menjaga sejak Djaimah meninggal pada 2006. Pada Kamis malam dua pekan lalu, tubuhnya ambruk, membiru, menceracau. Ia segera dibawa ke Rumah Sakit Pelni Petamburan. Djuhri ngedrop karena mendengar Mardani—yang lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir—berdoa, ”Semoga Haji Yahya segera disadarkan.…” Yahya dianggap ”pengkhianat”, bahkan oleh seluruh warga Meruya karena membelot ke Porta Nigra.
Ketika Tempo menjenguknya, Djuhri terbaring lemah di kamar VIP. Tangannya bergetar ketika disalami. Ia lupa berapa jumlah anaknya, bahkan tak mengenali mereka dari jarak satu meter, tak ingat nama-nama orang yang beperkara dengannya, kecuali Benny Rachmat. Kendati mengaku masih pusing, matanya berkilat ketika mendengar nama itu. ”Tau dah, apa maunya tu orang,” katanya lirih. ”Perang tanah, ya?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo