Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Catatan Hitam Para Pendahulu

Ibist adalah perusahaan kesekian yang mencoba mengeruk uang masyarakat, dan berakhir tragis. Tetapi masyarakat tak juga kapok.

22 Januari 2007 | 00.00 WIB

Catatan Hitam Para Pendahulu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Peristiwa itu sudah lama berlalu, tapi pahitnya masih dirasakan Inu Komariyah. Gara-gara tergoda rayuan PT Adess Sumber Hidup Dinamika, uang Rp 180 juta di tabungan pensiunnya ludes. Apa boleh buat, bersama suami, dia kini hidup sangat sederhana. ”Baiknya, sedikit-sedikit anak-anak masih membantu,” ujarnya.

Kisah tragis wanita 65 tahun itu bermula pada pertengahan 2002. Dia dan suami mendapat tawaran berinvestasi di perusahaan peternakan bebek, PT Add Farm. Imbalannya, dia akan mendapat bagi hasil keuntungan secara berlipat. ”Setelah habis masa kontrak, teorinya uang kami akan kembali 20 kali lipat,” ujarnya. Terbuai janji, mereka akhirnya menguras hampir semua isi tabungannya.

Tak ada rasa waswas. Apalagi, pada tanggal yang dijanjikan mereka menerima pembagian keuntungan pertama sebesar Rp 6 juta. Inu tentu saja sangat girang. Tetapi itu tak berumur lama. Empat bulan kemudian pembayaran bunga terhenti. Bolak-balik dia mendatangi kantor PT Add Farm di Hotel Kharisma, Cirebon, menagih haknya. Namun yang didapat cuma janji. Hingga kini. ”Saya hanya bisa pasrah,” tuturnya kepada Tempo dengan mata berkaca-kaca, dua pekan lalu.

Ibu Inu hanya satu dari ribuan investor yang ”buntung” setelah terbuai janji manis. Didirikan pada 14 Juni 2000, PT Add Farm memang cepat besar. Dengan janji bagi hasil yang menggiurkan, yakni 44 persen per tahun, mereka berhasil mengeruk investasi hingga Rp 600 miliar dari sekitar 3.000 orang dalam dua tahun.

Mulanya semua berjalan lancar. Namun, sejak Oktober 2002, bisnis perusahaan itu mulai oleng. Hingga sebulan kemudian kewajibannya kepada investor yang tak terbayarkan sudah mencapai Rp 277 miliar. Karena tak bisa lagi memenuhi kewajibannya, pada tahun 2003 perusahaan ini pun dinyatakan pailit.

Polisi lalu menetapkan pemilik PT Add Farm, Ade Suhidin, sebagai tersangka, meski keberadaannya tak diketahui. Namun istri Ade, Hj. Reni Damayanti, tak terima dan balik mempraperadilkan polisi di PN Kota Cirebon. Sungguh mengejutkan, pada Oktober 2005, hakim tunggal Jemmy W.L., SH memenangkan Reni! Bukan itu saja, dia membebaskan Ade dari segala tuduhan dan mengharuskan polisi merehabilitasi nama baik Ade.

Meski pengadilan sudah membebaskan dirinya, Ade tak juga kembali. Juru bicara keluarga Ade, Hengki Irawan, mengatakan Ade kini ada di Singapura. ”Itu berdasarkan kabar terakhir,” katanya.

Menurut Hengki, keluarga Ade sebenarnya berniat mengembalikan semua investasi. Tetapi proses itu tersendat. ”Soalnya para investor tidak hanya meminta kembali modal, tapi juga bunganya,” ujarnya. Ini yang memberatkan. Alasannya, nilai seluruh aset PT Add Farm yang tersisa tak lebih dari Rp 150 miliar. Aset itu antara lain tanah peternakan di Desa Bungko Kidul dan Kalipasan, Cirebon, dua lainnya di Indramayu, serta beberapa bangunan termasuk Hotel Kharisma. Dengan sisa aset sebanyak itu, jangankan dengan bunga, untuk mengembalikan modal para investor pun tak cukup.

PT Add Farm sebenarnya bukan kasus pertama dan ternyata bukan yang terakhir. Anehnya, para investor seperti tak belajar dari kasus terdahulu. Padahal sebelum PT Add Farm goyah, sebuah usaha sejenis di Sukabumi, Jawa Barat, rontok dan menjadi isu hangat di Tanah Air.

Perusahaan itu, PT Qurnia Subur Alam Raya (PT QSAR), dinyatakan pailit pada Juni 2002. Saat dipailitkan, aset perusahaan agrobisnis yang tersisa hanya Rp 40 miliar. Padahal duit sekitar 6.800 investor yang mereka keruk sejak perusahaan berdiri pada 1997 mendekati Rp 500 miliar.

Itu sebabnya, saat mengeksekusi aset PT QSAR, Ketua Umum Forum Komunikasi Investor QSAR, Mas Soekotjo, mengatakan akan menginvestasikan lagi hasil penjualan aset itu. ”Soalnya, nilainya paling hanya sekitar lima persen dari uang yang telah kami investasikan,” ujarnya kepada wartawan. Dengan menginvestasikan kembali aset yang tersisa, Forum berharap kerugian mereka bisa diperkecil.

Qurnia Subur didirikan oleh Ramli Araby, yang juga menjadi direktur utama. Pada mulanya ini hanya sebuah perusahaan kecil dengan modal awal Rp 30 jutaan. Begitu Ramli, 48 tahun, mulai menawarkan paket investasi berbunga hingga 60 persen per tahun, modal perusahaan itu meningkat pesat.

Bukan cuma rakyat biasa, pejabat dan politisi pun banyak yang kepincut janji Ramli. Di antaranya Tosari Wijaya, salah seorang Ketua Partai Persatuan Pembangunan. Tosari ”menempatkan” Rp 5 miliar uang partai di perusahaan Ramli.

Aksi Tosari ini sempat membawa masalah besar bagi PPP. Soalnya, Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 1999 tegas melarang partai politik mendirikan atau memiliki saham di suatu badan usaha. Partai berlambang Ka’bah itu terancam didiskualifikasi dalam pemilu.

Baiknya, Tosari cepat mengklarifikasi. Dalam sebuah wawancara dengan Tempo, misalnya, dia mengatakan itu investasi pribadi, atas namanya. Cuma uangnya ia pinjam dari partai. ”Saya meminta kepada bendahara PPP untuk meminjam dana,” ujarnya.

Tosari bukan satu-satunya petinggi yang terkecoh. Ramli tampaknya sengaja mendekati para pejabat, lokal maupun nasional, untuk mengangkat pamor perusahaannya. Dia, misalnya, pernah berfoto bersama Hamzah Haz dan Tosari. Foto ketiganya itu digantung di belakang spanduk ucapan selamat datang, saat Hamzah—yang saat itu menjabat wakil presiden—mengunjungi perkebunan miliknya di Sukabumi pada 2002 lalu.

Megawati Soekarnoputri, ketika masih menjabat wakil presiden, dan bekas Ketua MPR Amien Rais pun pernah mampir ke tempat Ramli. Makanya, Adnan Buyung Nasution, kuasa hukum para investor PT QSAR, pernah minta Hamzah dan para pejabat ini ikut bertanggung jawab. ”Karena nama baik dan kredibilitas mereka digunakan oleh perusahaan ini,” kata Buyung.

Setelah boroknya terbongkar, Ramli sempat menghilang, namun akhirnya menyerahkan diri di Markas Besar Kepolisian Indonesia, Jakarta. Pada akhir Juli 2003 Pengadilan Negeri Cibadak, Sukabumi, memvonis dia delapan tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.

Harus diakui ”kesuksesan” PT Add Farm dan PT QSAR juga karena banyaknya anggota masyarakat yang mudah percaya pada janji-janji mereka yang sebenarnya tak masuk akal. Pada akhir 2002, ketika investasi di sektor riil masih tersendat, sedikitnya ada 45 perusahaan semacam itu. Ada yang masih bertahan, tapi tak sedikit yang rontok.

Sebelum heboh PT InterBanking Bisnis Terencana atau PT Ibist, Oktober lalu, sebuah perusahaan bagi hasil juga terkapar di Karanganyar, Jawa Tengah. Perusahaan dengan nama CV Medical itu, menjaring dana ribuan investor untuk budi daya ginseng. Namun sejak awal 2005, bagi hasil yang sebelumnya lancar, mulai seret. Atas laporan beberapa investor, pemiliknya usaha itu, Timotius Tri Sabarno, akhirnya dicokok polisi di Solo.

Mungkin karena khawatir mengenai nasib investasinya, menurut cerita yang beredar di kalangan investor, saat mendengar kabar tertangkapnya Timotius, beberapa investor mendadak meninggal dunia. Sisanya, seperti Ibu Inu Komariyah di Cirebon, barangkali hanya bisa pasrah atau gigit jari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus