Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sembilan tahun tinggal di Indonesia, Marc Bollanse merasa gundah. Pengamat seni rupa asal Belgia ini melihat banyak yang unik dari perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia tapi gaungnya tidak menyentuh Eropa.
Banyak wartawan dan kurator Prancis ingin tahu tentang seni rupa mutakhir Indonesia, tapi mereka kesulitan memperolah buku panduan berbahasa Inggris. Padahal bila ingin melihat peta seni rupa kontemporer India dan Cina begitu amat gampang. “Di sana setiap bulan selalu ada pameran perupa India dan Cina,” ucapnya.
Lalu, tergeraklah ia menjadi “humas” seni mutakhir kita. Menggandeng kritikus seni Enin Supriyanto, ia lalu membuat satu “direktori”: Indonesian Contemporary Art Now. Tebalnya 175 halaman. Ada 28 perupa yang dianggap Marc mewakili perupa Indonesia kurun waktu 1996-2006, dari Heri Dono, Ugo Untoro, Yuli Prayitno, Budi Kustarto, sampai Entang Wiharso. Mereka konsisten dengan seni rupa kontemporer. Mereka dianggap memberikan cara pandang dan penemuan baru dalam dunia seni rupa Tanah Air.
Inovasi-inovasi instalasi, art performance, seni video, hingga seni mix media menurutnya makin menyegarkan. Karya instalasi Agus Suwage yang berjudul Yin Yang menarik perhatian Marc. Karya ini berupa dua sosok tubuh tanpa kepala tengah memperebutkan sebuah kepala yang merupakan replika wajah Agus sendiri. Jika instalasi ini dinyalakan dengan tenaga listrik, akan terjadi gerak tarik-menarik rebutan kepala. Karya Agus bertema dominasi industri multinasional. “Ini luar biasa, tapi seniman luar negeri mana tahu,” ujar Marc.
Ada 24 halaman buku ini yang digunakan untuk mengulas karya Kelompok Jendela. Mereka antara lain Rudi Mantovani, Yusra Martunus, Yunizar, Junaldi Alfi, Handiwirman--anak-anak Padang yang mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Seperti eksprimen Sutardji Calzoum Bachri dalam puisi yang berusaha membebaskan kata-kata dari penjajahan pengertian, karya Kelompok Jendela ini banyak membebaskan benda-benda dari segi kegunaan sehari-harinya.
Memang pilihan Mister Bollanse ini belum mencakup semua eksponen perupa kontemporer kita. Popok Tri Wahyudi, Hardiman Radjab, pematung Awan Parulian Simatupang, Khrisna Murti, Setiawan Sabana, para perupa dari Taring Padi atau para seniman video dari Ruang Rupa, tidak dimasukkan.
“Karena di Indonesia hanya ada 7-8 galeri yang bagus,” Marc beralasan. Praktis mereka yang masuk dalam buku ini pun terbatas pada seniman yang telah berpameran di delapan galeri utama itu. Bahkan, yang jeli melihat, banyak di antara mereka yang telah berpameran di Galeri Nadi sendiri. Enin Supriyatno--ia menulis tentang Kelompok Jendela dalam buku itu--merujuk ke konsistensi pada seni kontemporernya. “Karya Hardiman memang bagus, tapi sebelumnya ia kan tidak seperti itu,” kilahnya.
Bukan pertama kali Marc Bollanse menulis buku tentang seni rupa Indonesia. Tahun 1997, bersama istrinya, Esmeralda Bollanse, ia meluncurkan Masterpieces of Contemporary Indonesian Painters. Buku ini menampilkan profil 10 seniman Indonesia periode 1986-1996. Selain itu, ia juga pernah menulis sebuah buku mengenai karya perupa Made Wianta.
Indonesian Contemporary Art Now dicetak di Singapura. Saat ini Bollanse telah mengirimkan 1.000 kopi buku ini ke berbagai kurator di mancanegara. “Semoga ini akan menarik perhatian mereka,” katanya.
Andi Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo