Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Dampak Buruk Penambangan Nikel Antam di Tanjung Buli

Laut, darat, dan udara Tanjung Buli rusak setelah ada penambangan bijih nikel. Nelayan kehilangan mata pencarian.

28 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penambangan bijih nikel Antam di Halmahera merusak lingkungan di sana.

  • Nelayan mengeluh laut jadi tercemar karena kontraktor membuang limbah sembarangan.

  • Lahan tambang juga tak direklamasi sehingga udara kotor dan air tercemar.

DESA Buli di Kecamatan Maba, Halmahera Timur, praktis dikelilingi pertambangan. Sekitar 10 kilometer ke utara dari pusat desa, ada lahan yang menjadi pusat penambangan bijih nikel oleh PT Aneka Tambang Tbk. Di selatan desa, Antam membangun tempat pemurnian (smelter) bijih nikel berbiaya US$ 1,6 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desa ini terpencil nun di utara di pulau kecil Maluku Utara. Dari Jakarta, dibutuhkan waktu hampir 12 jam perjalanan dengan pesawat melalui Manado, lalu singgah di Bandar Udara Sultan Babullah di Ternate. Dari sini, naik pesawat kecil lagi menuju Bandara Buli di Halmahera Timur. Untuk sampai ke Desa Buli, perlu naik mobil selama setengah jam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti umumnya penduduk desa lain di seluruh Indonesia, masyarakat Desa Buli hidup miskin meski berada di pusat sumber daya ekonomi. Menurut data Badan Pusat Statistik, pendapatan keluarga di desa ini hanya Rp 2 juta per bulan atau Rp 400 ribu per kapita—jauh di bawah garis kemiskinan. “Setelah tambang beroperasi, hidup jadi makin sulit,” kata Robby, tokoh masyarakat Wefimlowos—komunitas nelayan sekitar Tanjung Buli.

Penduduk di pulau-pulau kecil itu, yang jumlahnya 12 ribu jiwa, umumnya mengandalkan pekerjaan sebagai nelayan untuk hidup. Robby menunjuk puncak bukit di atas tanjung yang kini gundul. Tanahnya dikeruk sejak 2001 oleh PT Yudistira Bumi Bhakti, perusahaan yang sahamnya dimiliki Agus Suparmanto—kini Menteri Perdagangan—dan Pramono Anung—kini Sekretaris Kabinet.

Menurut Robby, sejak Yudistira mengeduk nikel di sana, nelayan sulit melaut. Pasalnya, lumpur sisa penambangan nikel meluncur begitu saja ke laut di bawahnya ketika hujan. Sejak 1995 tinggal di Desa Buli, Robby bersaksi air laut tak pernah sehitam sekarang. Lumpur juga membuat laut menjadi dangkal sehingga nelayan harus memutar perahu ketika melaut. Akibatnya, biaya menangkap ikan bertambah untuk membeli solar.

Hingga 2000, Robby dan nelayan lain tak pernah melaut hingga bermil-mil jauhnya. Sejak limbah menimbun teluk, ikan menjadi sulit diperoleh. Itu artinya risiko para nelayan pun bertambah karena harus berlayar ke laut lepas. “Sekarang jala juga harus dicuci dua hari sekali karena kotor oleh lumpur,” ucap laki-laki 59 tahun ini.

Pada 2012, Robby dan para nelayan lain berdemonstrasi ke kantor PT Yudistira, meminta perusahaan memperhatikan pengelolaan limbah pengerukan agar tak mengotori laut. Mereka juga meminta Yudistira mereklamasi lubang-lubang nikel agar kembali hijau karena menjadi sumber air. Alih-alih memenuhi tuntutan penduduk, Yudistira menambah derita laut Buli. “Kapal membuang sisa tanah nikel ke laut ketika mencucinya,” ujar Ismunandar, 35 tahun, laki-laki yang mendorong pendukung berani berdemo ke perusahaan.

Dengan mata kepala telanjang saja, kata Ismunandar, sedimen laut tampak menebal setidaknya dua meter. Jika satu kapal berkapasitas 70 ton, Ismunandar menghitung, sisa tanah nikel sekitar 1 persen atau 700 kilogram. Dalam sebulan setidaknya ada 10-13 kapal yang buang sauh di Tanjung Buli untuk membersihkan sisa nikel. Selama 14 tahun, kapal-kapal tersebut melakukan “ritual” membersihkan sisa nikel tanpa peduli terhadap protes masyarakat.

Rafli Ananta Murad, salah satu pemegang saham Yudistira, menjelaskan bahwa ihwal kapal tongkang pengangkut bijih nikel ke kapal-kapal untuk ekspor diserahkan kepada agen yang disewa perusahaan. “Itu transshipment,” ucapnya. Ia mengakui dosa terberat para agen kapal adalah kebiasaan membuang limbah sisa penambangan ke laut ketika mencucinya.

Penunjukan agen kapal, pengaturan, dan pengawasannya, tutur Rafli, merupakan tanggung jawab manajemen PT Yudistira. Ia menunjuk Direktur Utama Yudistira, Juandy Tanumihardja, sebagai pihak yang bisa menjelaskan soal limbah-limbah itu. Tempo sudah menemui Juandy untuk meminta penjelasan, tapi ia menolak seluruh pernyataannya dikutip.

Menurut Rafli, jangankan limbah sisa nikel, satu kapal pengangkut bijih pernah tenggelam sekitar 2012 di sekitar perairan Tanjung Buli. Namun manajemen perusahaan baru mengangkatnya pada 2019 dan melaporkannya ke Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan.

Pencemaran ini membuat para nelayan di Tanjung Buli, Pulau Pakal, dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya tak lagi mendapatkan ikan goropa merah atau kerapu sunu, yang dulu menjadi tangkapan andalan para nelayan karena harganya mahal. Hidup ikan ini bergantung pada terumbu karang di kedalaman 3-300 meter. “Sekarang tidak ketemu lagi meskipun sudah mati-matian melaut,” ucap Ismunandar.

Tingkat pencemaran di Tanjung Buli juga dibuktikan oleh penelitian Institut Pertanian Bogor pada 2007. Para peneliti menemukan biological oxygen demand dan chemical oxygen demand—indikator pencemaran laut—di Laut Buli sebesar 23-37 miligram per liter dan 27-75 miligram per liter. Jauh di ambang batas laut normal.

Penelitian itu juga menyebutkan penambangan terbuka dengan mengupas gunung, seperti yang dilakukan PT Yudistira, secara bertahap mengubah bentang alam Tanjung Buli. Erosi dan sedimentasi laut adalah ancaman yang merusak ekosistem di sana jika tak segera direklamasi.

Jejak usaha reklamasi Yudistira terlihat dari gundukan-gundukan tanah merah di lahan bekas tambang. Namun tak terlihat pepohonan akan tumbuh kembali setelah enam tahun. Tempo, yang menyambangi lokasi tambang itu pada Selasa, 24 Maret lalu, bertemu dengan lubang-lubang yang masih menganga dan pohon mati di tanah urukan. Di ujung ada pohon dengan semak merimbun. “Pohon yang tumbuh itu pohon liar, bukan hasil reklamasi,” ujar Ismunandar.

Keadaan ini tak cocok dengan pengakuan mantan Direktur Utama Antam, Dedi Aditya Sumanagara. Dedi memimpin Antam ketika proyek Yudistira dimulai. Menurut dia, harga beli jasa Antam kepada Yudistira lebih mahal dari harga proyek normal karena memasukkan kegiatan reklamasi dan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar proyek. Pada 2001, harga proyek Yudistira sebesar US$ 8,47 per wet metric ton, lebih tinggi dari harga normal sebesar US$ 8,35 WMT. “Selain itu, perusahaan punya effort melakukan konservasi cadangan dan keselamatan kerja,” kata Dedi. 

Rafli mengatakan usaha konservasi dilakukan perusahaannya di daratan. Karena itu, Antam mendapat predikat hijau untuk tambang Buli selama 2001-2014. Menurut dia, Antam melarang Yudistira melakukan konservasi di lahan yang masih punya sisa nikel. Akibatnya, air tanah di sekitar tambang tak jernih lagi. Di sini air untuk mandi dan minum berbau, keruh, lengket, dan asam. Untuk dipakai mandi, air harus diendapkan sekitar 10 menit agar jernih.

Dampak lain adalah merebaknya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Polusi udara dari mesin-mesin pengeruk nikel mencemari udara Tanjung Buli yang dihirup penduduk sekitar. “ISPA adalah penyakit terbanyak yang diderita penduduk sini,” tutur Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Buli, Nurridha Asmayati Kiye.

Di Puskesmas Buli ada enam tabung oksigen yang dioperasikan dua dokter umum. Satu dokter didatangkan Antam sebagai bagian dari tanggung jawab perusahaan. Tapi minimnya fasilitas dan perhatian Antam yang tak kunjung datang membuat banyak pasien tak tertangani. Rumah sakit rujukan ada di Ternate, yang butuh waktu setengah hari untuk dicapai dengan mobil dan kapal. “Dari sepuluh pasien, sembilan meninggal dalam perjalanan,” ujar Nurridha.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kerapu Pergi dari Tanjung Buli"

Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus