Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mahal Proyek Listrik Sampah

Pembangunan PLTSa di 12 kota berpotensi merugikan pemerintah dan PLN. Ada model bisnis lain yang lebih menguntungkan.

28 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK sepatutnya pemerintah membiarkan PT PLN menjadi korban rente yang tidak ada habis-habisnya. Pembangunan 12 pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) merugikan PLN karena perusahaan negara itu harus membeli listrik dua kali lebih mahal dibanding harga pokok pembeliannya. Pemerintah daerah juga dirugikan karena harus membeli sampah olahan pada angka tertentu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah puluhan tahun PLN terpaksa membeli listrik dari pembangkit swasta dengan harga lebih mahal. Kini saatnya pemerintah mengoreksi model bisnis seperti itu dan tidak lagi mencampuri urusan bisnis PLN dengan kebijakan-kebijakan yang seolah-olah baik tapi justru merugikan perusahaan ini. Tidak ada yang salah dengan pembangunan pembangkit ramah lingkungan sepanjang program tersebut tetap mempertimbangkan aspek bisnis, terutama jika opsi untuk itu tersedia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah bisa bersandar pada rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK mengkaji model bisnis PLTSa sejak 2019. Ini adalah bagian dari kerja koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi, yang dalam sektor kelistrikan sudah berlangsung sejak 2015. Pemerintah harus segera mengkaji ulang proyek ini karena akan membebani PLN. Pada akhirnya, pemerintah juga harus menambalnya dalam bentuk kompensasi kerugian tersebut di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang percepatan proyek PLTSa, pemerintah menetapkan pembangunan PLTSa di Jakarta dan sebelas kota lain. Kota-kota itu merupakan penyumbang sampah terbesar di Indonesia. Aturan tersebut menetapkan kontrak pengolahan sampah antara pemerintah dan investor serta perjanjian jual-beli listrik antara pengembang PLTSa dan PLN.

Dalam skema itu, pemerintah daerah mesti membayar tipping fee atau biaya layanan pengolahan sampah (BLPS) maksimal Rp 500 ribu per ton kepada investor. Sedangkan PLN harus membeli listrik dari PLTSa dengan skema feed in tariff selama 25 tahun. Harganya US$ 13,35 sen per kilowatt-jam untuk PLTSa berkapasitas maksimal 20 megawatt dan US$ 14,54 sen untuk pembangkit lebih dari 20 MW. Khusus di Jakarta, PLN membayar US$ 11,8 sen per kWh.

Angka-angka tersebut jelas tak masuk hitungan bisnis PLN. Menurut KPK, jika itu diteruskan, PLN sudah pasti merugi. Beban ini pada akhirnya akan ditanggung konsumen dalam bentuk kenaikan tarif listrik. Kalau PLN tidak bisa menaikkan tarif listrik, pemerintahlah yang harus menanggung kerugian itu. Langkah terbaik bagi pemerintah adalah mengikuti rekomendasi KPK dengan membatalkan proyek ini.

Lagi pula, ada persoalan lain, yakni penggunaan teknologi pengolahan sampah yang tak ramah lingkungan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018, pemerintah tidak mengatur jenis pembangkit listrik yang digunakan, sehingga beberapa wilayah masih memakai teknologi berbasis termal atau pembakaran. Padahal sistem semacam ini seharusnya tak digunakan lagi karena bisa meracuni udara. Mahkamah Agung pada 2017 juga membatalkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 yang menjadi landasan proyek PLTSa dengan teknologi termal.

Jika PLN masih bertekad meneruskan program pembangkit ramah lingkungan, ada pilihan yang lebih masuk akal dari sisi hitungan bisnis, yakni pengolahan pelet atau briket sampah sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Cara yang disebut co-firing ini sudah diuji di empat PLTU dan PLN ternyata bisa menghemat biaya pembelian batu bara. Cara ini jelas lebih efisien ketimbang membangun PLTSa, yang mahal dan memberi peluang bagi masuknya para pemburu rente.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus