ANDI (bukan nama sebenarnya) menenteng koper berisi duit Rp 100 juta. Sampai di tempat yang sudah disepakati, seorang kurir datang menemui staf BUMN kehutanan itu. Tas koper pun berpindah tangan. Tapi perjalanan fulus tak berhenti hingga di situ. Duit itu bakal berujung di brankas pejabat Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) Kalimantan Timur.
Kejadian setahun lalu itu tak pernah terungkap. Kalaupun ada yang mempersoalkan, pastilah tidak mudah. Semua sudah diatur rapi. "Tak ada kuitansi. Tak ada omongan apa pun," kata Andi. Dengan kata lain, tak ada satu celah pun yang bisa mengaitkan pengoperan tas penuh uang itu dengan sang pejabat.
Menurut Andi kepada TEMPO, transaksi semacam itu bukan barang baru dalam bisnis kehutanan. Setiap pembahasan proposal rencana kerja tahunan (RKT), pengusaha swasta ataupun BUMN selalu menyediakan uang pelicin. Dengan begitulah RKT bisa segera diteken petinggi Kanwil. "Tanpa pelicin, RKT bisa ditolak," kata Andi. Padahal, tanpa RKT, pengusaha tak bisa memutar roda bisnisnya.
Meski praktek semacam itu sudah menjadi rahasia yang diketahui umum, untuk membuktikannya ibarat orang tersesat di belantara. Nyaris tak berujung. Investigasi yang dipimpin Sekretaris Jenderal Dephutbun, Soeripto, yang melanjutkan kerja tim Menteri Kehutanan Muslimin Nasution, sampai kini belum menemukan bukti pamungkas. Berbagai penyimpangan kasat mata yang dilakukan pengusaha ternyata selalu ditunjang peraturan resmi yang diteken pejabat pemerintah.
Pelacakan TEMPO dari berbagai jalur menunjukkan adanya simbiosis antara pengusaha dan pejabat Dephutbun. Abdon Nababan, aktivis Forest Watch International (FWI), menuturkan bahwa ongkos tak resmi untuk mengurus perizinan hak pengusahaan hutan (HPH) adalah Rp 800 juta hingga Rp 1,4 miliar. Besarnya tarif bergantung pada luas dan potensi hutannya. Angka ini, menurut Abdon, adalah hasil investigasi Probela, gabungan 10 LSM lingkungan, selama dua tahun terakhir.
Selama puluhan tahun, tarif semacam itu agaknya dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) yang selalu bertukar kiat memuluskan bisnis bahkan mengeluarkan data resmi biaya pengurusan HPH. Menurut APHI, untuk mengurus HPH, pengusaha harus menyiapkan US$ 4,5 per hektare. Untuk hutan perawan yang masih rimbun, tarifnya lebih besar: US$ 7,5 setiap hektare. Mahal? "Rupiah sudah nggak laku, Bung," kata seorang pengurus APHI.
Menurut Jusuf Hamka, bekas pemilik HPH PT Dayak Besar, patokan uang pelicin US$ 7,5 per hektare masih kelewat murah dibandingkan dengan realitas yang terjadi di lapangan. Untuk HPH yang bagus, katanya, "Banyak yang berani membayar US$ 25 per hektare." Dan jangan salah, angka tersebut barulah jatah pejabat top di Jakarta. Masih ada lagi fulus yang mesti diupetikan kepada para "raja kecil" yang menyebar di berbagai lini. Jusuf yakin, pengusaha yang berpraktek tebang hantam kromo bersedia dengan ringan tangan mengobral uang suap hingga berlipat ganda. Tak masalah.
Tak pula jadi soal buat pengusaha hutan untuk mengobral hadiah buat kepentingan di luar usaha. Mereka malah seakan berlomba-lomba menyenangkan hati "penguasa hutan" dengan berbagai cara. Alkisah, ada seorang pengusaha konglomerat kehutanan yang sampai kehabisan akal untuk mencari hadiah bagi menteri kehutanan waktu itu, Hasjrul Harahap. Ketika itu, pada 1988, Hasjrul menggelar empat pesta dalam sepekan: ulang tahun istri, anak, keponakan, dan ulang tahun perkawinan. Mobil, segepok uang, sudah dihadiahkan. Mau kado apa lagi? Akhirnya, sang bos konglomerat memberi satu kilogram emas batangan. Kebenaran cerita miring itu, sayangnya, hanya memperoleh konfirmasi dari tangan kanan sang konglomerat. Sementara itu, Hasjrul tak berminat menanggapi usaha berkali-kali reporter TEMPO untuk memperoleh konfirmasi darinya.
Kalau begitu, tak perlu heran bila selama bertahun-tahun hutan terjarah oleh jalinan kolusi pengusaha-penguasa. Sepanjang ada setoran, segala aturan main bisa dilipat. Diduga, resep semacam itu pula yang mengantarkan sukses bagi Prajogo Pangestu. Taipan bernama asli Djun Phen ini menguasai 2,2 juta hektare konsesi HPH.
Menurut bekas Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) Solichin G.P., Prajogo sering menemui mantan presiden Soeharto dengan membawa foto HPH yang hijau berseri. Padahal, Solichin tahu persis, foto yang memperlihatkan kerimbunan belantara itu diambil dari hutan di tepi jalan. Bila dari tepi jalan itu orang masuk lebih dalam—seratus meter saja—yang terlihat hanyalah hutan yang sudah pelontos. "Istilahnya, teknik poni," kata Solichin. Toh, dengan teknik poni itu Prajogo melaju, setelah mendapat lampu hijau langsung dari orang nomor satu di Indonesia pada waktu itu.
Kedekatan dengan RI-1 itu tak hanya membuat urusan birokrasi berjalan mulus tapi juga membuat Prajogo leluasa menguasai lahan. Kasus Musi Hutan Persada (MHP), misalnya. Rakyat Rambanglubai, Muaraenim, Sumatra Selatan, kini memerkarakan lahan seluas 12 ribu hektare tanah yang dikuasai MHP sejak 1991. Menurut warga, tanah rakyat itu diambil alih tanpa ganti rugi yang jelas. "Kami dituduh PKI kalau tak mau pindah dari hutan," kata Asnandar, 50 tahun, warga Rambang.
Setelah Soeharto tak lagi menjadi RI-1, penduduk baru berani bergerak untuk mendapatkan kembali tanahnya, antara lain dengan menggelar serangkaian demonstrasi. Sebulan lalu, Soeripto berkunjung ke area sengketa. Konsesi HPH atas lahan itu akhirnya dicabut dan MHP pun diharuskan membayar kerugian yang diderita rakyat.
Yang mengherankan, Prajogo tak perlu repot-repot menjalankan putusan itu. Engkos Kosasih, Kepala Kanwil Dephutbun Sumatra Selatan, dengan enteng menyatakan bahwa Prajogo tak perlu khawatir. "Gampang. Gubernur dan saya sudah menyiapkan lahan pengganti. Tinggal pilih mana suka," katanya. Ada apa di balik kebaikan hati para penguasa daerah? Wallahualam….
Yang jelas, Soeripto tampaknya belum hendak berhenti mengejar Prajogo. Bos konglomerat yang sempat dijuluki pengusaha berlampu aladin ini—karena cepatnya meroket—memang masih menyimpan persoalan menyangkut dana reboisasi. Pada 1992, MHP menerima kucuran dana senilai Rp 346,7 miliar. Ternyata, baru lima tahun kemudian, MHP menanam Accacia mangium, kayu untuk bahan bubur kertas. Alasannya, "Kami harus memilih lokasi, membebaskan lahan, dan membuat perencanaan," kata Prajogo berkilah. Dana yang tanpa bunga memang sangat menggiurkan untuk diputar atau didepositokan lebih dulu.
Kok bisa, proyek baru dijalankan setelah uang mengucur jauh-jauh hari sebelumnya? Tak aneh. Permainan semacam itu bisa terjadi lantaran ada uluran tangan "dari dalam". Dalam buku putih kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) Dephutbun yang dirilis departemen dan Indonesian Corruption Watch (ICW), tercantum sederetan pejabat eselon I departemen maupun BUMN yang terlibat KKN. Bahkan, Soeripto tak hanya merekomendasikan pemeriksaan mereka, tapi semua mantan menteri kehutanan: Soedjarwo, Hasjrul Harahap, Djamaludin Suryohadikusumo, dan Muslimin Nasution. Menurut Soeripto, para mantan menteri itu setidaknya telah melalaikan fungsi pengawasan yang membuat hutan amburadul.
Dalam "nyanyian" beberapa sumber TEMPO, mereka memang sulit dikatagorikan "bersih". Hampir semua menteri punya pengusaha hutan kesayangan. Mungkin hanya Soedjarwo yang disebut-sebut relatif bersih dari upeti pengusaha. Namun, Soedjarwo punya catatan tentang Yayasan Manggala Wana Bhakti yang membeli tanah negara—tempat perkantoran Dephutbun—yang berlokasi di Senayan. "Dibelinya dengan uang iuran hasil hutan," kata seorang sumber yang kini sedang meneliti Yayasan Manggala.
Dibandingkan dengan menteri lainnya, Hasjrul Harahap tampaknya paling mendapat sorotan. "Dia yang mengapling hutan untuk konglomerat," kata Agus Miftach, Ketua Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) Reformasi. Pada masa Hasjrul, kerajaan HPH Bob Hasan, Prajogo, dan Gunawan Widjojanto memang berkembang pesat. Konsesi HPH para jenderal dan pengusaha pribumi banyak yang beralih ke tangan pengusaha konglomerat. Kepemilikan HPH akhirnya terpusat pada beberapa gelintir pengusaha.
Pada masa Djamaludin Suryohadikusumo, pengusaha Bob Hasan berkibar. Begitu jayanya hingga Bob sering disebut sebagai menteri kehutanan sesungguhnya. Djamaludin hanya menyokong keinginan Bob untuk memonopoli perdagangan kayu lapis, menentukan iuran bagi pengusaha kayu, dan mendapatkan proyek pemetaan Mapindo Parama, yang kini menyeret Bob ke jeruji besi penjara. "Main golf dengan pengusaha lain pun harus seizin Bob, yang khawatir peta lobi bergeser," kata seorang bekas pejabat eselon I Dephutbun, menggambarkan kedigdayaan Bob.
Namun, Djamaludin membantah semua tudingan itu karena semua keputusan diambil dengan panduan prosedur resmi. Kelambatan kerja Mapindo, menurut Djamaludin, berdasar alasan yang bisa diterima. Sayang, ia tak bersedia menjelaskan mengapa prosedur resmi hampir selalu menguntungkan kroni Soeharto itu. "Sudah saya jelaskan semua ke Kejaksaan Agung," katanya.
Masa kepemimpinan Muslimin Nasution juga tak sepi dari kabar miring. Menteri Muslimin dikabarkan buka "praktek malam" buat para pengusaha yang ingin memperpanjang HPH. Tarifnya Rp 1 miliar per HPH. Dana yang terkumpul digunakan untuk menggalang dukungan bagi mantan presiden Habibie. Namun, kabar miring itu ia tepis. "Buat apa saya mendukung Habibie?" katanya. Tentang perpanjangan 51 HPH, menurut Muslimin, semata-mata hal itu karena proses yang sudah berlangsung empat tahun. Jadi, saya bereskan semua," ujarnya.
Sekarang, Menteri Nurmahmudi memang cukup menciutkan nyali pengusaha. Namun, kisah-kisah miring tampaknya belum menjadi bagian dari cerita di masa lalu. Pintu buat praktek tercela masih bisa dibuka oleh para bawahannya, yang telah bertahun-tahun bermain di ladang yang basah. Konsentrasi yang hanya kepada pemberantasan KKN Soeharto dan kroninya, yang sekarang ini sedang dilakukan Menteri Nurmahmudi, memang bisa memberi peluang cukup lebar untuk memunculkan kolusi gaya baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini