Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Sembilan Pintu Masuk Pelanggaran

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persoalan kehutanan tak pernah ditangani secara terpadu. Compang-camping di sana-sini. Akibatnya, terjadi kebocoran di berbagai lini. Hariadi Kartodihardjo, pengajar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), mengidentifikasi sembilan potensi pelanggaran pemegang hak pengusahaan hutan (HPH).

Dari sembilan potensi pelanggaran ini, hanya tiga yang menjadi wewenang Departemen Kehutanan dan Perkebunan pusat: penentuan rencana kerja tahunan (RKT) dan rencana kerja lima tahunan (RKL), pungutan dana reboisasi (DR), dan perpanjangan konsesi. Pengawasan enam jenis pelanggaran yang lain diserahkan total kepada pemerintah daerah bersama kantor wilayah kehutanan setempat.

Pembagian wewenang ini ternyata sering membuat pengawasan tidak kompak. Yang di mata pusat dinilai jelek, bisa dipandang HPH bagus oleh daerah. Itu sebabnya, ”Saya mengusulkan pengawasan one-door policy,” kata Hariadi. Berikut ini rincian sembilan potensi pelanggaran HPH:

  1. Konsesi Perizinan HPH
    Awalnya, penunjukan konsesi HPH melalui penunjukan langsung tanpa tender atau lelang. Hutan dianggap tanah negara yang bebas ”dikapling” untuk para pemegang konsesi. Belakangan, konsesi HPH diperjual-belikan dengan ongkos tak resmi ratusan juta sampai miliaran rupiah.

  2. RKT dan RKL
    Rencana kerja ini disusun berdasar analisis pihak ketiga, konsultan, atau perguruan tinggi. Potensi hutan yang sebenarnya ternyata tidak pernah diklarifikasi secara benar. Penetapannya selalu dilakukan lewat diskusi tertutup antara Kanwil Dephutbun setempat dan pemegang konsesi. Untuk mengegolkan RKT dan RKL, dibutuhkan pelicin sedikitnya Rp 40 juta.

  3. ’Timber Cruising’ atau Pengecekan Tingkat Produksi Kayu Tahun ke Depan
    Menurut aturan, kayu yang ditebang tahun depan harus ditetapkan setahun sebelumnya. Biasanya, pengusaha menggelembungkan dan memanipulasi angka produksi. Petugas kanwil yang menginspeksi bersikap ”tahu sama tahu”. Tujuannya agar pengusaha bisa menadah kayu curian dengan harga supermurah untuk memenuhi target. Memang, kenaikan produksi juga mendongkrak iuran hasil hutan (IHH) dan dana reboisasi (DR) yang harus dibayar. Tapi, laba penjualan kayu curian jauh lebih menggiurkan.

  4. ’Logging Track’
    Selain jalur pengangkutan kayu ke luar areal, logging track berarti bagian hutan yang ditebang dan seberapa jauhnya dari jalan. Logging track in memungkinkan penebangan di luar areal HPH, termasuk menerobos hutan lindung. Mestinya, penebangan ini dikontrol aparat pemerintah daerah tingkat satu. Nyatanya, di lapangan nyaris tak ada pengawasan.

  5. Penggelembungan Kebutuhan Alat Berat Panen dan ’Logging’ Kayu
    Seharusnya, jumlah alat berat panen dan logging kayu disesuaikan dengan kapasitas hutan. Tapi, sering terjadi pengusaha ”main mata” dengan petugas dan membeli atau menyewa alat berat lebih dari kebutuhan. Nah, kelebihan alat berat ini menandakan adanya praktek over-cutting—biasanya penebangan di luar area.

  6. Sistem Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI)
    Banyak terjadi, pemegang HPH hanya menanam kembali areal yang berjarak beberapa meter dari jalan. Sisanya, lahan hutan ditebang habis dan dibiarkan gundul.

  7. ’Scaling & Grading’
    Tahap ini adalah penentuan volume, jenis, dan kualitas kayu. Gunanya untuk menentukan DR dan pungutan sumber daya hutan (PSDH) yang harus dibayar. Kayu meranti merah atau putih, misalnya, bertarif DR lebih mahal ketimbang kayu rimba campuran. Sesuai dengan aturan, pengusaha boleh menghitung sendiri DR dan PSDH yang harus dibayar. Dengan demikian, aksi tipu-tipu bisa lebih leluasa.

  8. Surat Angkutan Kayu Olahan dan Kayu Bulat (SAKO dan SAKB)
    Kedua surat keabsahan kayu ini dikeluarkan Kanwil Kehutanan. Dalam surat ini juga disebutkan asal, jenis, dan status kayu yang telah diperiksa petugas. Dalam prakteknya, para penebang liar bisa dengan mudah membeli SAKO dan SAKB dan bebas melewati pos pemeriksaan.

  9. Menunggak dan Memalsu Dana Reboisasi
    Petugas Dephutbun sebenarnya tidak pernah tahu berapa persisnya potensi kayu di hutan Indonesia. Maklum, tidak pernah ada penge-cekan secara benar. Peluang ini dimanfaatkan pengusaha dengan menggelembungkan dana reboisasi yang dibutuhkan untuk menanam HTI. Sudah begitu, tak jarang terjadi, pengusaha menunggak cicilan DR selama pengembangan HTI. n

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum