Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Soeripto: "Biar Para Koruptor itu Berhadapan dengan Peradilan Rakyat"

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Soeripto, ibarat tokoh antagonis di departemen itu. Saat diangkat menjadi sekjen—pada Februari Dê00Ã a didemo sebagian karyawan yang menganggapnya "tak lebih dari orang luar" yang tiba-tiba dicantolkan pada jabatan karir departemen. Sebagai "orang luar", Soeripto juga dipandang membuat sebuah terobosan yang terlalu berani: membentuk tim investigasi kolusi, korupsi, dan nepotisme di Dephutbun, sejak tiga bulan lalu.

Sejak saat itu pula Soeripto praktis menghadapi kendala yang jauh lebih serius ketimbang sekadar demo karyawan: jaringan kolusi pengusaha—pejabat yang menguras kekayaan hutan Indonesia pada awal 1970-an (menyusul berlakunya konsesi hak pengusahaan hutan)—yang tak pernah bisa dibuktikan. Mudah diduga, aksi bersih-bersih Soeripto mendatangkan rupa-rupa reaksi.

Ada yang memberinya acungan jempol. Ada yang penuh curiga. Pria kelahiran Bandung, 20 November 1936, ini bahkan dituding menyimpan sejumlah agenda pribadi, dari sikap anti-Cina hingga menyimpan orang-orang yang tidak bersih dalam tim investigasinya. Bekas anggota Badan Koordinasi Intelijen (Bakin) ini juga diragukan kemampuannya membongkar borok korupsi yang telah berakar sekian lama. "Saya tidak putus asa dan terus berupaya menangkap penjahat-penjahat itu," ujarnya kepada TEMPO, pekan lalu. Berikut petikannya:


Bagaimana kans penangkapan Tommy Soeharto?

Kansnya masih terbuka kendati Kejaksaan Agung—dalam pertemuan dengan Dephutbun, 3 Mei lalu—masih ragu. Yang sudah bisa dipastikan jadi tersangka adalah bekas Direktur Utama Gatari, Kabul Riswanto, dan bekas Sekretaris Jenderal Dephutbun, Sudjono Suryo.

Mengapa kedua orang ini yang jadi tersangka?

Mereka yang menandatangani perjanjian kerja sama Gatari-Dephutbun (ketika itu masih bernama Departemen Kehutanan), pada 31 Maret 1990. Isi perjanjian itu jelas-jelas merugikan karena Departemen Kehutanan harus menyewa pesawat miliknya sendiri.

Memangnya Kabul dan Sudjono mau "bernyanyi" bila ditahan?

Saya yakin mereka mau bernyanyi. Kecuali, mereka mau dijadikan korban begitu saja. Dan kalaupun tidak dari mereka, kami akan membuktikan Tommy melakukan intervensi agar perjanjian Dephutbun-Gatari bisa ditandatangani.

Lalu, apa kendala utama penahanan Tommy?

Saat penandatanganan kerja sama Gatari-Dephutbun, posisi Tommy bukan direktur utama melainkan komisaris utama. Tapi, kejaksaan seharusnya tidak menggunakan prosedur konvensional dalam menangani kasus korupsi.

Jadi, prosedur mana yang harus digunakan?

Kalau menggunakan Undang-Undang No. 3/1971 (Undang Undang Antikorupsi) untuk menyelidiki kasus korupsi, ada tiga faktor yang harus terpenuhi: melawan hukum, merugikan keuangan negara, dan memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Tentu saja akan sulit. Saya lebih setuju kita menggunakan Undang-Undang Anti-Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme Tahun 1999. Dengan undang-undang ini, kita bisa memulai penyelidikan dari kolusi dan nepotisme. Setelah itu, baru korupsi. Ini kan soal hukum kausalitas: akibat kolusi dan nepotisme, muncul korupsi.

Bagaimana dengan Hasjrul Harahap (Menteri Kehutanan saat perjanjian Gatari-Dephutbun dibuat)?

Dia pun akan terkena. Tunggu saja.

Berdasarkan investigasi Anda, siapa lagi yang masuk "daftar tunggu" tersangka?

Prajogo Pangestu, Probosutedjo, Antony Salim, Ibrahim Risjad, Burhan Uray, Hashim Djojohadikusumo, Titik Prabowo, Tutut, Sigit, dan Bambang Trihatmodjo.

Dalam kasus apa?

Kasusnya berbeda-beda. Prajogo Pangestu, misalnya, dalam kasus penggelapan dana reboisasi sebesar Rp 7 miliar di hutan Musi Persada, Sumatra Selatan. Uang ini bukan jumlah berarti bagi Prajogo, tapi bisa menyeretnya ke penjara. Prajogo adalah kasus terkuat setelah
Gatari.

Bagaimana proses Anda menjerat calon tersangka?

Kami bekerja sesuai dengan temuan. Ada ekspose dengan pihak kejaksaan untuk tiap kasus, dan dimulai dari kasus yang paling kuat.

Ada yang bilang, Anda putus asa karena mentok di mana-mana?

Bukan putus asa. Tapi rasanya saya tidak bisa sepenuhnya menggantungkan diri pada kejaksaan.

Anda tahu apa implikasi politik dari investigasi ini?

Tentu saja. Calon tersangka bisa melobi Gus Dur atau mencari dukungan ke partai politik. Saya pun akan melakukan hal yang sama. Sekarang, tinggal kuat-kuatan lobi.

Kalau gagal?

Bisa saja gagal. Dan kalau gagal, saya akan menempuh jalan politik. Akan saya bawa semua berkas ke sidang MPR pada Agustus 2000. Biar para koruptor itu berhadapan dengan peradilan rakyat.

Apakah Anda punya motif politik di balik semua ini?

Ini semua cuma bagian dari tanggung jawab, tanpa motif atau agenda politik apa pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus