Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUT saja namanya Budi. Untuk anak seusianya, Budi tampak kecil dan ringkih. Dengan berat badan 22 kilogram, tinggi tubuh hanya sekitar semeter, dan gerakan yang lamban, segera orang tahu bahwa anak laki-laki berusia 10 tahun itu tidak sedang dalam kondisi sehat. Ketika TEMPO berkunjung ke rumahnya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Budi sedang bermain mobil-mobilan. Setiap kali mainannya membentur dinding, Budi minta tolong ibunya untuk mengambilnya karena anak berkulit sawo matang dan berambut bergelombang itu terlalu lemas untuk berkali-kali berdiri mengambil mobil mainannya.
Budi, yang duduk di kelas 3 SD, selalu ketinggalan mata pelajaran. Nilai rapornya buruk, sehingga tahun ini Budi hanya menduduki peringkat 30 dari 35 murid. Kalau disuruh belajar, anak saya sering terlihat capek, ujar sang ibu.
Semua itu bersumber dari kedua ginjal Budi, yang rusak cukup parah. Memang, kondisi ginjal anak bungsu dari tiga bersaudara itu belum sampai pada tahap gagal ginjal. Tapi, bila ginjalnya tidak ditangani dengan pengobatan yang tepat dan telaten, bisa jadi Budi harus menjalani cuci darah dua tahun lagi. Demikian menurut pendapat seorang dokter spesialis anak yang sedang melakukan pembenahan terhadap perlakuan medis yang pernah didapat Budi.
Pembenahan perlakuan medis? Begini ceritanya. Budi adalah anak yang relatif sering jatuh sakit. Setiap kali sakit, ia selalu dibawa orang tuanya ke seorang dokter umum yang sama di kawasan Rawamangun. Dokternya cukup ramah dan baik, kata ibu Budi.
Nah, masalahnya, apa pun jenis penyakit Budi, dokter selalu memberinya antibiotik dari jenis dan merek yang sama. Sakit panas, pilek, atau sakit lainnya, obatnya sama saja, kata sang ibu. Alhasil, selama tiga tahun terakhir, Budi selalu mengonsumsi antibiotik itu persis seperti aturan: diminum hingga habis.
Orang tua Budi baru mengetahui bahwa ada yang salah dalam pengobatan anaknya setelah mereka membawa Budi ke seorang dokter spesialis anak dan rutin berkonsultasi ke ahli penyakit dalam di Rumah Sakit Dian Nugraha, Rawamangun. Kini, mereka harus mengeluarkan minimum Rp 250 ribu per bulan. Tanggungan itu jelas terasa bagi orang tua Budi, yang pegawai negeri di Departemen Pendidikan Nasional. Penghasilan mereka berdua tiap bulan sekitar Rp 1,6 juta. Tapi, daripada ginjal anaknya tak tertolong dan harus menjalani cuci darah, mereka bertekad untuk habis-habisan memperbaiki keadaan.
Kepada TEMPO, pihak keluarga Budi menyatakan tidak ingin memperumit persoalan, meskipun mereka tahu bahwa kerusakan ginjal Budi adalah akibat pemberian antibiotik secara berlebihan. Pun, kasus Budi tidak atau belum membuktikan bahwa dokter langganan Budi itu memberi antibiotik dari perusahaan tertentu secara sembarangan karena dokter itu mendapat komisi dari perusahaan obat yang memproduksi antibiotik merek tertentu. Tapi, yang pasti, kasus Budi menunjukkan bahwa pihak pasien menjadi pihak yang paling lemah dan tidak punya pilihan.
Lebih jauh, pihak pasien tidak punya bayangan sama sekali bahwa obat yang masuk dalam tubuhnya justru memperburuk keadaaan. Seorang dokter spesialis kanker dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, yang tidak bersedia disebut namanya, pernah menegur keras seorang dokter bawahannya karena menyuntik pasien usus buntu dengan 10 kali suntikan antibiotik. Padahal, satu suntikan saja sudah cespleng, kata sumber dokter ahli itu.
Menurut sumber dokter ahli di RSCM itu, ia bahkan pernah menjumpai dokter yang meresepkan obat antikanker yang mahal, Rp 7 juta sekali suntik. Padahal, kondisi obyektif si pasien belum butuh obat yang mahal itu karena kankernya belum menyebar. Setelah saya tegur, si pasien mendapat resep obat antikanker yang harganya Rp 1 juta sekali suntik, katanya.
Perilaku sembarangan semacam itu tampaknya belum bergeser dari kecenderungan sama yang dulu sudah pernah terdeteksi. Lima tahun lalu, Laboratorium Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, melakukan riset untuk mengetahui perilaku dokter dalam menulis resep. Riset ini beresponden 1.000 dokter di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasilnya, hampir 40 persen resep dokter di Yogyakarta digolongkan irasional. Artinya, para dokter itu memberikan obat kepada pasien tidak sesuai dengan penyakitnya.
Cukup banyak dokter yang menuliskan obat dobel, dan ada juga obat yang diberikan ke pasien yang saling bertentangan, kata dr. Sulanto Saleh Danu, peneliti di Laboratorium Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran UGM. Misalnya, ada penderita sejenis infeksi. Dokter memberinya dua antibiotik yang kelihatannya untuk saling memperkuat efek pengobatan, tapi sebenarnya tidak ada artinya. Akhirnya, pihak pasien mengonsumsi obat lebih banyak tanpa mereka ketahui.
Menurut Sulanto, penyebabnya bisa karena dokter kurang berpengetahuan tentang obat, informasi yang diterima dokter tentang obat sangat minim, atau dokter hanya menerima informasi sepihak berdasarkan kepentingan pabrik obat tertentu. Atau, sang dokter bekerja sama dengan produsen obat untuk keuntungan pribadi. Faktor yang terakhir inilah yang sangat memprihatinkan karena menjadi penyebab terbesar pengobatan tidak rasional, kata Sulanto, yang juga pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Sleman.
Dan ternyata krisis ekonomi yang parah pun tak mampu menggugah sebagian dokter untuk mengurangi penggunaan obat secara tidak rasional. Hal itu dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat UGM. Salah satu pokok penelitian adalah tentang peresepan obat esensial. Apakah dokter memberikan obat-obatan yang sesuai dan diperlukan untuk mengobati penyakit, kata dr. Sri Suryawati, salah seorang peneliti. Peresepan yang bagus adalah bila penggunaan obat esensial mencapai 90 persen.
Dalam penelitian itu, tim peneliti terjun langsung ke tempat-tempat praktek dokterdi rumah sakit atau di tempat lain. Lalu, mereka mencegat pasien-pasien yang keluar dari ruang periksa untuk meminjam resep yang baru diberikan oleh dokter. Kami mencatat obat-obat yang diberikan, dengan mempertimbangkan penyakit yang diderita pasien, kata Suryawati.
Ternyata, hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian obat esensial masih rendah. Di rumah sakit swasta, dalam periode Desember 1997 hingga Oktober 1999, pemberian obat esensial hanya di bawah 50 persen. Kondisi yang lebih parah pada periode yang sama terjadi di tempat praktek dokter-dokter swasta. Artinya, di masa krisis, dokter justru memberi pasien obat-obat yang sebenarnya tak diperlukan pasien, kata Suryawati.
Nah, yang menjadi masalah adalah ada praktek pemasaran dari pabrik obat yang memberi imbalan kepada dokter yang menuliskan resep memakai produk pabrik obat tertentu. Bila dokter terdorong meresepkan obat yang tak perlu karena itu, pasien harus menanggung biaya pengobatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Harga obat jadi mahal, bahkan ada harga obat yang meningkat hingga 200 persen, kata dr. Aris T.S., dokter umum di Sesko AD. Misalnya, Amoxillin, produk antibiotik dari Beuchem, perusahaan asal Amerika Serikat, yang kalah laku ketika Sanbe Farma meluncurkan Amoxan. Nah, Amoxan ini dijual sekitar Rp 2.000 per butir, padahal seharusnya bisa Rp 200-Rp 400 saja.
Patgulipat dokter dengan pabrik obat tidak hanya memberatkan keuangan pasien, tapi juga menimbulkan efek samping obat yang akan merugikan pasien. Apalagi bila dokter berkukuh memberikan obat dari sebuah perusahaan farmasi, meskipun obat itu jelas kurang bermutu. Mereka memaksakan untuk menggunakan sebuah obat, tanpa pertimbangan bukti klinis, kata Prof. Dr. Iwan Darmansjah, 70 tahun, mantan guru besar farmakologi Universitas Indonesia.
Yang harus diwaspadai pasien, efek samping obat-obatan yang penggunaannya berlebihan sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Organisasi kesehatan sedunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, WHO, memiliki hasil penelitian tentang penggunaan satu jenis obat secara berlebihan. Akibat terparah adalah munculnya resistansi alias kekebalan terhadap obat itu dalam tubuh pasien. Hal demikian sangat membahayakan karena pasien menjadi kebal terhadap obat dan sulit sembuh dengan dosis normal. Resistansi seperti itu terutama terjadi pada antibiotik.
Persoalan itu sebenarnya sudah membuat gelisah banyak dokter, dari tahun ke tahun. Tapi, semuanya hanya seperti geremengan lebah: persoalan dibicarakan dan didebatkan, tanpa ada solusi konkret. Menurut Sulanto, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memang tidak bisa bertindak tegas terhadap dokter yang melakukan kerja sama dengan pabrik obat, karena sulit membuktikannya. IDI baru bisa bertindak bila ada pengaduan pasien tentang penggunaan obat yang mengakibatkan efek negatif. Ujungnya adalah tuduhan malapraktek, katanya.
Semua pihak yang terlibat dalam dunia obat ini tidak punya kejujuran, kata Darmansjah. Sudah separah itukah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo