Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH berpilar merah muda itu tampak mencolok di antara rumah-rumah lain di permukiman padat Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, apalagi dengan lebar bangunan 15 meter dan dinding yang berlapis porselen mengkilap. Di garasinya, diparkir sedan Holden Gemini buatan 1981. Di sebelah rumah, sedang dibangun ruang baru. Saya akan membuka toko barang kelontong, kata Abdul Rochim, si pemilik rumah.
Orang di Diwek dan sekitarnya mengenal Rochim sebagai Pak Mantri. Sehari-hari, di samping membuka praktek di rumah, ia memang bertugas sebagai mantri kesehatan di Poliklinik Pabrik Gula Cukir, Pare, Kedirisekitar 20 kilometer dari rumahnya.
Pasien Rochim terhitung banyak. Poliklinik itu melayani secara gratis sekitar 1.000 karyawan Pabrik Gula Cukir. Setiap hari, pasien membeludak50-60 orang. Pada Rabu, jumlah itu biasa melonjak menjadi 90-100 orang. Setiap Rabu, ada kunjungan dokter dari Rumah Sakit Toeloengredjo, ujar Rochim. Rumah Sakit Toeloengredjo, Kediri, memang induk poliklinik itu, tempat Rochim mengirim pasien yang sakitnya serius.
Pria gendut berusia 36 tahun itu menjadi mantri kesehatan sejak 1987, setelah lulus dari Sekolah Perawat Kesehatan di Surabaya. Saya datang dari keluarga miskin, katanya. Tapi, kini tidak lagi. Selain rumah bagus itu, ia juga punya rumah lain di Pare serta tiga hektare sawah dan ladang tebu, yang diakuinya berstatus sewa.
Selama 10 tahun, ia bertugas di beberapa poliklinik pelosok, termasuk di kawasan pinggir Kabupaten Blitar. Rochim memang sudah malang-melintang. Selama sepuluh tahun itu pula, ia mengaku merasa memetik keuntungan dari animo masyarakat pedesaan, yang melihat mantri sebagai tenaga medis yang mujarab.
Tapi, bagaimana bisa seorang mantri kecamatan yang tidak memungut bayaran dari pasien, betapapun larisnya, bisa sekaya Rochim?
Kehidupan Rochim melukiskan betapa agresifnya para penjaja obat yang dikirim perusahaan farmasi dalam melakukan penetrasi pasar. Ada dua perusahaan yang bersaing memasok obat ke kawasan itu: Kalbe Farma dan Pyridam. Seorang detailman (agen) yang pernah menggarap klinik itu punya cerita tentang Rochim.
November lalu, Rochim mengeluh kepada detailman dari Pyridam bahwa ia membutuhkan mobil baru karena yang lama digadaikan. Pembicaraan berlangsung lugas. Bisa enggak mengusahakan? Jangan khawatir, pemakaian obat akan saya naikkan, ujar Rochim ketika itu, seperti ditirukan sang detailman. Kesepakatan akhirnya tercapai. Rochim mendapat Rp 35 juta, yang dibayar dengan giro bilyet. Selain itu, Rochim juga memperoleh komisi sekitar 25 persen dari total transaksi pemakaian produk Pyridam.
Namun, pihak Pyridam tidak mau mendengar hanya janji. Rochim diminta mengisi formulir perjanjian diskonformulir standar yang contohnya diperoleh TEMPO. Di dalamnya, tertera kolom-kolom mengenai rencana pemakaian produk Pyridam di Poliklinik Cukir. Setelah perjanjian dibuat, Mantri Rochim mengajukan rencana pengadaan obat. Targetnya Rp 25 juta sampai Rp 30 juta sebulan, kata sumber tadi.
Pengadaan obat Poliklinik Cukir harus disetujui Kepala Rumah Sakit Toeloengredjo, dr. Bambang Samudera. Bambang, menurut sumber itu, memperoleh Rp 8 juta lewat pembayaran giro bilyet pula. Dan apoteker rumah sakit kebagian 5 persen komisi. Semua dipermudah karena istri Rochim kebetulan bekerja di Bagian Keuangan Rumah Sakit Toeloengredjo.
Semua mendapat bagian. Seorang bekas detailer yang beberapa bulan lalu menggarap Poliklinik Cukir dan Rumah Sakit Toeloengredjo memang mengaku berhasil menggaet mantri, apoteker, dan pimpinan rumah sakit. Kesepakatan itu dijalankan sedemikian rahasia dan dijaga rapat-rapat agar tidak bocor. Bak agen intelijen, ia mendekati mantri, tapi di depan apoteker berlagak seperti ia tidak ada hubungan apa-apa. Begitu pula saat menggaet apoteker, ia memberi kesan sebuah hubungan yang hambar di hadapan mantri dan pimpinan rumah sakit. Jadi, memang harus kucing-kucingan, sehingga satu sama lain tidak tahu bahwa terjalin hubungan dengan saya, tuturnya.
Namun, praktek seperti itu sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Soal dokter atau mantri menerima uang dari detailman bukanlah masalah baru, kata seorang karyawan Rumah Sakit Toeloengredjo. Seorang dokter spesialis di rumah sakit itu, katanya, bisa saja memperoleh pendapatan sampai Rp 21 juta per bulanenam-tujuh kali lipat dari gajinya.
Rochim dan Bambang Samudera membantah telah berselingkuh dengan para penjaja obat. Kalau benar saya memperoleh uang itu, wah, enak benar saya, ujar Rochim. Mustahil, kata Bambang. Anggaran pengadaan obat di Cukir tidak mungkin mencapai Rp 30 juta. Paling-paling hanya Rp 10 juta per bulan. Bagaimana mungkin ditarget sebesar itu. Tidak bisa, meski mantri bersangkutan mendapat pemberian Rp 35 juta.
Meski membantah menerima pemberian uang berlimpah dari Pyridam, Rochim mengaku memang sering memakai obat keluaran perusahaan itu. Tapi, dia mengatakan memakai pula obat Kalbe Farma. Rochim mengakui, ada pemberian dari pabrik obat, tapi tidaklah besar. Misalnya, ditraktir makan. Saya juga pernah memperoleh uang transportasi dan penginapan hotel ketika mengajak anak-anak ke kebun binatang. Hanya itu, ujarnya.
Pada 12 Maret lalu, dia berangkat ke Jakarta untuk mendukung Presiden Abdurrahman Wahid, yang tengah digoyang oposisi. Diwek tidaklah jauh dari Tebuireng, pesantren tempat asal Presiden Abdurrahman. Dia mengaku memperoleh uang saku dari Pyridam. Hanya Rp 40 ribu. Saya juga diberi donat dan kacang untuk bekal di perjalanan, ujarnya sembari menyedot rokok kretek Jarum 76. Ya, hanya itu.
Benarkah Pyridam melimpahi para mantri dan dokter dengan angpau yang menggiurkan? Hingga laporan ini ditulis, TEMPO tidak berhasil memperoleh konfirmasi dari pimpinan perusahaan itu. Salah satu staf Pyridam--ia menolak disebut namanya--hanya bisa menjawab, "Ya, begitulah. Namun, uang itu bisa dikategorikan komisi, bisa juga tidak."
Bagaimanapun, Rochim hanya satu sasaran bagi perusahaan farmasi. Menurut seorang bekas detailman Pyridam, pemberiaan komisi melibatkan banyak pihak. Yang paling besar adalah untuk dokter dan rumah sakit, dengan kisaran 20-30 persen. Kemudian, untuk apotek 15-20 persen, distributor dan tenaga ekspedisi 10 persen, supervisor 5 persen, dan untuk si detailman 5 persen.
Semua komisi itu dikompensasikan dalam harga dan banyaknya penjualan obat. Artinya, dibebankan pada pasien atau penyelenggara poliklinik. Kalau dihitung-hitung, biaya produksi riil obat itu hanya 25 persen. Selebihnya, dibagi-bagi, katanya.
Semua mendapat bagian. Dan pasien harus menanggungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo