Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Urusan suap-menyuap memang rumit. Orang yang menyuap akan enggan bernyanyi, apalagi yang disuap. Pengalaman Dokter Emiel B. Moerad bisa dicontoh. Ketika masih menjadi ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Samarinda, tiga tahun silam, ia pernah mendapatkan bukti. Ada empat dokter di wilayahnya mendapat kiriman uang dari sebuah perusahaan farmasi. Keempat dokter itu telah mengakui. Cuma, kata mereka, duit itu untuk biaya seminar, bukan komisi. Emiel pun tidak bisa memberikan rekomendasi agar mereka diberi sanksi. Lalu, masalah itu menguap begitu saja.
Padahal, aturannya cukup jelas. Para dokter yang menerima suapentah berbentuk hadiah atau komisijelas-jelas melanggar kode etik. Pada Pasal 3 Kode Etik Kedokteran Indonesia disebutkan, dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi yang mengakibatkan hilangnya kebebasan profesi.
Kalau ukuran itu benar-benar dipakai untuk menakar kelakuan para dokter, hasilnya amat menyedihkan. Menerima suap seolah hal yang lumrah. Menurut Kartono Mohamad, mantan ketua IDI (1985-1994), hampir 50 persen dokter pernah disuap. Dan, jangan dikira yang belum pernah disuap tak bisa dikatakan bermoral malaikat, tapi lebih karena tidak mempunyai kesempatan.
Menurut dr. Sulanto Saleh Danu, peneliti di Laboratorium Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, praktek kerja sama dokter dengan perusahaan obat, apalagi yang berbentuk kontrak, jelas melanggar kode etik profesi. Menjadi salah satu mata rantai pemasaran obat untuk kepentingan diri sendiri bisa dikatakan sebagai perbuatan yang tidak benar, kata Sulanto.
Upaya menegakkan kode etik bukannya tidak ada. Selain yang dilakukan Emeil tadi, dulu Kartono juga pernah melaporkan sekitar 500 dokter yang diduga disuap berikut buktinya. Sayangnya, Departemen Kesehatan tidak mengusutnya dengan tuntas. Namun, pada 1980-an ada juga tindakan tegas. Karena terbukti disuap, 125 dokter ditegur, diskorsing, dan disuruh mengembalikan uang sogokan.
Kini gebrakan semacam itu jarang terdengar. Menurut Ketua Umum PB IDI, Ahmad Djojosugito, selama tiga bulan menjabat, ia memang belum memergoki dokter yang nakal. Kalaupun ketahuan ada yang melanggar kode etik, kata Ahmad, akan dilakukan langkah persuasif dulu.
Bukan cuma dokter. Kalangan perusahaan farmasi juga mempunyai norma. Malah, dalam kode etik yang mereka susun tahun lalu, rumusannya lebih detail. Di situ diatur, misalnya, untuk mensponsori kegiatan seminar, sebuah perusahaan farmasi hanya boleh membayar biaya akomodasi, transportasi, dan pendaftaran para dokter. Biaya perjalanan keluarganya tidak boleh ditanggung.
Dalam soal pemberian hadiah, ada pula batasannya. Hadiah yang diberikan perusahaan farmasi kepada dokter tidak boleh dikaitkan dengan penulisan resep. Ditegaskan juga, pemberian hadiah jangan sampai memberikan kesan kurang pantas di mata masyarakat.
Yang jelas, pemberian uang tunai dan pinjaman tidak boleh. Tapi, hadiah berupa barang diperbolehkan. Nilainya tak boleh lebih dari US$ 50 atau sekitar Rp 475.000.
Menurut Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Anthony Ch. Sunarjo, kode etik tersebut mengikat semua anggota GP Farmasi, yang terdiri dari perusahaan farmasi nasional dan asing, pedagang besar farmasi, apotek, dan toko obat yang berizin. Kalau melanggar, mereka akan dikeluarkan dari keanggotaan organisasi. Sanksi lainnya, diserahkan ke pemerintah. Hanya, kata Anthony, Sejauh ini belum ada laporan pelanggaran yang masuk.
Keseriusan untuk memberantas praktek kotor itu memang agak diragukan. Apalagi ada anggapan bahwa mereka cuma melanggar kode etik yang sanksinya ringan. Padahal, sebetulnya para pengusaha farmasi dan dokter yang nakal bisa dijaring dengan Undang-Undang No. 11/1980 tentang Tindak Pidana Suap. Ancaman hukumannya lumayan berat, yang menyuap bisa dipenjara lima tahun dan yang disogok bisa diganjar tiga tahun.
Jaring yang lain masih ada. Karena perselingkuhan yang merugikan pasien, mereka bisa dijerat dengan Undang-Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sudah menjadi rahasia umum, dana yang dihamburkan pengusaha farmasi untuk menyogok para dokter akhirnya dibebankan ke konsumen dan membuat harga obat melambung. Juga, karena iming-iming hadiah atau komisi, dokter akan cenderung memberikan resep seenaknya, yang belum tentu benar-benar dibutuhkan oleh si pasien.
Sayang, sebagai pihak yang dirugikan, sejauh ini belum ada pasien yang menggugat. Kata Indah Suksmaningsih, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, mungkin mereka belum sadar akan hak-haknya.
Suap dan kolusi di dunia kedokteran serta farmasi bukanlah hal baru. Dan, seperti korupsi yang luas menggejala di negeri ini, juga dalam profesi lain termasuk wartawan, para pelakunya bebas melenggang. Tapi, how low can we go?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo