Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sebuah acara syukuran pada 1983, Harmoko berpidato di hadapan khalayak undangan. Dia baru saja dilantik menjadi Menteri Penerangan Kabinet Pembangunan III. "Insya Allah, selama saya menjadi Menteri Penerangan, tidak akan ada pembatalan surat izin," ujarnya. Hari-hari keemasan tengah menantinya. Dan pidato itu menumbuhkan harapan baru dari para koleganya di dunia pers: bagaimanapun, bulan madu antara media massa dan penguasa sudah berakhir sejak 1974 selepas peristiwa Malari. Jadi, siapa tahu Harmoko, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menjadi menteri, bisa mengembalikan masa bahagia itu.
Sejarah mencatat, impian tentang masa bahagia itu terlalu di awang-awang?walau Harmoko memang bersinar dalam kariernya sebagai menteri. Dia bahkan masuk ke lingkaran paling elite dalam peta kekuasaan Orde Baru. Pada 1993, portofolionya kian berkilau dengan menjadi Ketua Umum Golkar. Dan selebihnya adalah sukses.
Soeharto merestui confidant setianya ini menjadi Ketua Umum MPR/DPR. Sayang, niatnya dalam pidato syukuran pada 1983 itu tampaknya menjadi album lama yang berdebu: satu per satu media rontok di bawah kekuasaannya. Harian Sinar Harapan dan Prioritas. Mingguan TEMPO dan Editor. Tabloid Monitor dan Detik. Dan inilah alasan Harmoko: "Saya hanya melaksanakan perintah Presiden," ujarnya kepada TEMPO baru-baru ini.
Tiga periode Soeharto memilihnya sebagai pembantu. Harmoko membalas kebaikan itu dengan super-efektif: dia paling sering meminta petunjuk kepada bosnya, tampil pagi dan petang di televisi untuk meneruskan petunjuk Tuan Presiden. Dia mewajibkan para pemimpin media massa nasional berkumpul sering-sering dan mendengarkan wejangannya menjaga stabilitas nasional melalui pemberitaan "konstruktif".
Keberuntungan tidak meninggalkan Harmoko ketika rezim yang diabdinya selama 15 tahun tumbang dengan tragis di tengah demo ribuan manusia dan ledakan bunga api dari ban-ban mobil yang dibakar di jalanan pada Mei 1998. Tahun-tahun kekuasaan seolah mengajari dia untuk bijak menghadapi kemauan zaman. Maka, pada 16 Mei 1998, pukul 11 pagi, Harmoko memandu pemimpin DPR untuk menemui Soeharto.
Di situ, Soeharto menyaksikan betapa anak didiknya itu membuat terobosan: Ketua MRP/DPR itu meminta Presiden Soeharto meninggalkan kursi presiden. "Hal itu sesuai dengan tugas lembaga DPR yang menyerap aspirasi masyarakat," Harmoko membiarkan ucapannya dikutip luas oleh media massa ketika itu. De facto, dia memenuhi tuntutan yang bergemuruh dari jalanan untuk menyeret Soeharto turun. Tapi para pengkritiknya mencibir: Harmoko adalah oportunis sejati yang mahir "meloncat" di saat-saat kritis.
Entah mana yang benar. Yang jelas, rekor yang fenomenal?antara lain 15 tahun menjadi menteri dalam tiga kabinet?sebagai orang kepercayaan Soeharto bukan satu-satunya prestasi pemilik koran Pos Kota ini. Di tengah riuh-rendahnya tuntutan publik untuk membongkar dosa-dosa masa silam Orde Baru, Harmoko hidup tenang?seolah dilupakan oleh dunia. Rekan-rekannya datang dan pergi ke pengadilan, dituntut, diselidiki kekayaannya, dipertanyakan tanggung jawabnya. Mereka membobol tabungan untuk membayar para pengacara. Tapi tidak Harmoko.
Dia bersih?jika ukurannya adalah tak ada yang pernah menuntutnya ke pengadilan setelah era reformasi?setidaknya sampai sekarang, walau orang mungkin masih teringat betapa para pemilik media massa pernah menyebut namanya dengan rasa takut. Mereka menghindari stori dan berupaya meriangkan hatinya dengan hadiah dan pujian.
Pada hari jadinya yang ke-50, Pustaka Kartini menghadiahinya sebuah buku berjudul 50 Tahun Harmoko: Menatap dengan Mata dan Hati Rakyat. Biografi itu melukiskan perjalanan menuju sukses dalam lima periode. Arswendo Atmowiloto, yang pernah menjadi salah satu eksekutif di Kelompok Kompas Gramedia, tak lelah membawakan setoran ratusan juta rupiah ke kantor Harmoko untuk "melancarkan segala urusan" Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Seorang kenalan lamanya pernah berkata, Harmoko adalah manusia yang bahagia: dia paham betapa perlunya menyesuaikandiri dengan zaman yang berubah. Sekali waktu setelah jatuhnya Soeharto, dia berjumpa dengan seorang pemimpin redaksi yang medianya pernah dia bredel, di depan sebuah lift. Harmoko memeluknya dengan hangat dan tak alpa mengirimkan salam untuk rekan-rekan si mantan pemimpin redaksi.
Kini, di tengah euforia reformasi, dia tak ketinggalan menyusun sebuah buku yang menceritakan perannya dalam menurunkan Soeharto dari kekuasaannya. Dia berkata kepada TEMPO, "Anda tunggu saja hasilnya, ha-ha-ha?."
Masih terus menulis untuk korannya, Harmoko kini tak lagi sesibuk dulu. Tahun-tahun yang lewat seperti tak meninggalkan jejak yang keras pada wajahnya yang sehat, klimis, dan segar. Kepalanya masih licin berkat pomade yang melekatkan setiap helai rambutnya. Olahraga dan hidup yang teratur memberinya fisik yang bugar dalam usia 63 tahun. Dia tetap memelihara rasa humor dan penuh sikap ramah-tamah selama memberikan wawancara khusus kepada wartawan TEMPO Adi Prasetya, Purwani Diyah Prabandari, dan Endah W.S., dua pekan lalu. Berikut ini petikannya.
Sewaktu Anda menjadi Menteri Penerangan, apa target yang hendak Anda capai dalam hal mencapai pers yang ideal?
Saya mengacu pada guyub rukun dengan landasan aturan yang ada. Sudah saya pikirkan, kalau ada go public, untuk apa harus ada SIUPP? Semua orang berhak membikin surat kabar. Waktu itu belum terbayang. Setelah reformasi, baru tercapai.
Anda menyebut-nyebut SIUPP. Bukankah saat Anda menjadi Menteri Penerangan, SIUPP ini justru rentan untuk mencabut nyawa sebuah media?
Bagaimana? Wong, semua orang ikut dalam proses itu, termasuk DPR. Terus terang saja, memang setiap ada perkembangan aturan, disesuaikan aturan dan kondisi saatitu. Saat itu, kita tidak bisa tanpa SIUPP. Untuk meniadakan surat izin cetak saja (yang kemudian diganti dengan surat izin terbit dan SIUPP?Red.), perjuangannya berat sekali. Kondisi keamanan waktu itu belum memungkinkan. Makanya surat izin cetak dihapus.
Dan kemudian diganti dengan SIUPP?
Ya, hal itu ditetapkan dalam UU Pokok Pers tahun 1982. Kemudian, dalam dua tahun, harus keluar peraturan menterinya, yang saya tanda tangani pada 1984. Undang-undang ini sudah digodok lama. Perubahannya kita bikin setahap demi setahap.
Bagaimana mungkin orang pers sendiri membuat aturan yang bisa merepresi medianya sendiri?
Waktu itu, PWI dan Serikat Pekerja Suratkabar (SPS) sepakat tentang adanya SIUPP. Setelah ada kejadian reformasi saja baru ada penilaian SIUPP itu represif.
Masa? Tiga media dicabut SIUPP-nya pada 1994 (TEMPO, Editor, dan Detik). Jadi, represi itu terjadi bertahun-tahun sebelum reformasi.
Memang oleh sebagian kalangan dianggap demikian.
Jadi benar bahwa SIUPP ini yang bisa membuat sebuah media ditutup?
Dewan Pers memutuskan agar masalah-masalah yang berkaitan dengan pembatalan SIUPP mendapat peringatan lebih dulu. Minimal tiga kali peringatan. Dan itu dilakukan oleh Dewan Pers.
Menurut Anda, apakah para pelaku pers sadar bahwa ada satu kekuatan yang bisa memberangus usaha mereka?
Iya kalau itu yang dimaksud pembatalan SIUPP. Pembatalan pertama kali terjadi pada Sinar Harapan. Waktu itu, saya dipanggil oleh Pak Harto. Di sana sudah ada Pak Benny Moerdani (Panglima ABRI) dan Pak Sudharmono (Menteri-Sekretaris Negara).
Apa yang terjadi ketika itu?
Saya duduk di depan Pak Harto. Beliau bertanya kepada saya sambil memegang koran, "Saudara Harmoko sudah baca ini?" Saya jawab, "Sudah, Pak." Lalu Pak Harto bilang," Ini ndak benar. Ya, sudah. Sesuai peraturan, ditutup saja." Perintah itu harus saya laksanakan.
Anda tidak memberikan argumentasi ke Presiden untuk menghalangi bredel?
Saya jelaskan bahwa kalaupun ada kesalahan redaksi, mungkin itu tidak disengaja. Darah saya ini kan wartawan juga. Masa, saya membiarkannya?
Bukankah tak ada peringatan lebih dulu dalam penutupan Sinar Harapan?
Sebelumnya sudah dilakukan peringatan, tapi secara umum, bukan khusus, mengenai berita itu. Lalu saya omong sama Pak Rorempandey(Pemimpin Umum Sinar Harapan ketika itu?Red.) bahwa meskipun ditutup, segera siapkan SIUPP baru. Segera proses penampungan karyawan agar tidak menganggur.
Tapi H.G. Rorempandey harus diganti orang lain?
Memang ada kompromi. Albert Hasibuan yang naik menjadi pemimpin umum. Itu jalan keluar yang maksimal bisa saya lakukan. Kalau enggak, ya, tutup semua.
Atas dasar apa Anda melakukan itu? Bukan seperti itu yang diatur Undang-Undang Pokok Pers, kan?
Bukan. Tapi kalau mau terbit lagi kan harus ada rekomendasi untuk pemimpin redaksi dan pemimpin umum. Kan, tidak bisa diproses karena ada masalah sebelumnya. Itu kan jadi beban pemerintah juga nantinya. Jadi, saya realistis saja waktu itu dan saya ambil jalan keluar tanpa lapor lebih dulu kepada Pak Harto. Tapi Pak Harto mempersilakan.
Harian Prioritas dibredel setelah Sinar Harapan. Kami mewawancarai Surya Paloh dan orang-orang eks Prioritas lainnya. Kata mereka, pembredelan itu murni karena ide Anda.
Lo, kok saya. Setiap ada masalah di bidang pers saya laporkan kepada Presiden. Jadi, semua pencabutan SIUPP atas sepengetahuan Pak Harto.
Begini, apakah perintah itu datang langsung dari Pak Harto atau Anda yang lebih dulu melaporkannya?
Situasinya kan sudah terbaca. Para menteri juga membaca, ada begini, kok beritanya begitu, kok tidak ada tindakan. Lalu saya melapor ke Presiden. Tapi sebelumnya kan kita bicarakan ke Dewan Pers dan kita beri peringatan. Aturannya memang begitu.
Dewan Pers? Bukankah Anda juga yang mengetuai Dewan Pers?
Ya, tapi kan badan pengurus hariannya terdiri atas para insan pers. Menteri Penerangan kan ketua secara ex officio.
Kesalahan macam apa yang bisa membuat pemerintah mencabut SIUPP?
Kita mesti lihat kasus per kasus.Masalahnya berkaitan dengan pemberitaan dan prosedur administrasi. Pertama kita peringatkan supaya jangan begini-begitu. Karena tidak ada perbaikan, kita ambil tindakan.
Misalnya?
Prioritas kan koran ekonomi, tapi menjadi koran politik. Lalu Monitor kan jelas karena menimbulkan keresahan sampai diprotes umat Islam begitu banyak. TEMPO, kalau enggak salah, soal pembelian kapal eks Jerman.
Mengapa tidak terpikir untuk menolak perintah mencabut SIUPP dan mundur dari jabatan menteri?
Tidak pernah tebersit hal seperti itu. Waktu itu yang maksimal bisa saya lakukan adalah mencari jalan keluarnya, memecahkan masalahnya, bukan bertarung melawan masalah itu.
Sejumlah wartawan senior mengatakan kepada kami, Anda cenderung memberikan SIUPP kepada teman-teman dan mereka yang Anda percayai.
Tidak benar. Saya ikuti mekanisme dan aturan yang ada. Itu yang saya lakukan. Kalau ada yang menuduh demikian, itu namanya fitnah. Begini, saya ini hidup tidak pernah mencari musuh, tapi mencari kawan.
Arswendo Atmowiloto mengaku kepada kami, untuk mempermudah urusan SIUPP, dia menyetor ratusan juta rupiah kepada Anda.
Itu tidak benar. Itu fitnah. Saya masih punya nilai.
Saya masih menjunjung tinggi moral. Anda kan tahu bagaimana sejarah perjuangan saya di dunia pers?
Aduh, jadi Arswendo bohong? Padahal dia bilang, dia sendiri yang selalu menyerahkan uang "konsultasi" bulanan per media antara Rp 10 juta dan Rp 15 juta dan meminta tanda terima dari Anda.
Satu media segitu? Wah, hebat dong kalau saya lakukan. Itu fitnah! Tidak benar kalau saya mengutip uang ratusan juta untuk satu SIUPP, lalu ada setoran bulanan. Mungkin itu yang menyangkut dividen yang saya terima sebelum saya jadi menteri. Tapi kalau yang lainnya tidak ada.
Ini informasi yang kami terima: para pencari SIUPP harus menyerahkan saham kepada Anda atau famili Anda.
Saya katakan itu tidak benar. Adik-adik saya kan sebelum saya jadi menteri sudah bergerak di bidang pers juga. Mereka sudah di Pos Kota. Itu urusan mereka sendiri.
Kami mendapat pengakuan bahwa saudara-saudara Anda mendapat saham karena posisi Anda sebagai pejabat tinggi. Ini kan melanggar undang-undang?
Saya kan tidak memberi fasilitas kepada saudara-saudara saya. Buktinya apa? Saya akui adik-adik saya ada yang punya usaha di bidang pers. Toh, mereka juga sudah memulai usaha itu sejak saya belum jadi menteri. Jadi, tidak ada masalah.
Kasus Oesman Saleh dari Gelora Madura adalah contoh masalah. Dia bersikeras tidak menyertakan keluarga Anda dalam daftar kepemilikan saham. Dia menunggu SIUPP itu selama setahun lebih sampai jatuh sakit dan meninggal?.
Saya tidak tahu. Kalau ada laporan begitu, pasti akan saya tindak-lanjuti. Saya tidak ngurusi SIUPP sehari-hari, tapi Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika.
Kami sudah meriset data di Serikat Penerbit Surat Kabar. Sedikitnya Anda dan keluarga menguasai saham di 36 media massa? Silakan Anda cek. (TEMPO menyodorkan daftar kepemilikan saham Harmoko.)
Sekarang praktis saya hanya punya saham di Kelompok Pos Kota. Tentu saja termasuk harian Terbit. Ini pun merugi terus sehingga katanya akan segera ditutup. Lainnya di Jakarta Post. Itu saja.
Anda mendapatkan saham kosong di Jakarta Post? Beberapa pendiri Jakarta Post yang kami wawancarai menyebutkan Anda mendapat 4 persen saham kosong.
Tidak. Saya setor modal. Ceritanya, waktu itu, Pos Kota Group diminta ikut mewakili. Saya bilang saya belum bilang kepada kawan-kawan di Pos Kota. Jadi, saya terlibat secara pribadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo