Mereka terbang melintasi tiga benua?Eropa, Asia, dan Australia?untuk suatu misi yang luhur. Dan hari itu, Selasa pekan lalu, pilot Andor Kantas dan kopilot Csongor Latky mendaratkan pesawat berawak dua di lapangan terbang mini Curug, Jakarta Selatan. Fly for Rett Syndrome, begitu kampanye udara yang mereka lakukan dari kota ke kota, dari benua ke benua.
Kantas memang punya kisah tragis yang layak didengar banyak orang. Itulah Lucia, gadis kecil, putrinya sendiri, yang sejak berusia 8 tahun telah kehilangan kemampuan menggerakkan tubuh dan mengalami kesulitan berkomunikasi. Usia Lucia bertambah, tapi kemampuan tak juga menunjukkan kemajuan. Pada usia sembilan setengah tahun kini, ia tak mampu menangis, tak bisa bergerak, sekalipun cuma menggerakkan bola matanya. "Dia tidak merespons jari yang saya jentikkan di wajahnya," ujar Kantas, sayu.
Awalnya Kantas dan istrinya berkeliling dari satu dokter ke dokter lain untuk mengungkap sakit sang buah hati. Diagnosis yang muncul beragam, misalnya autis. Tetapi semuanya kurang meyakinkan. Bahkan ada seorang dokter yang meramalkan usia Lucia tak bakal bertahan lama. Tapi Kantas tidak menyerah. Setahun kemudian tes genetik (DNA) menunjukkan Lucia menderita sindrom Rett.
Jalan pengobatan yang ditempuh keluarga Kantas cukup panjang. Kantas memberikan latihan fisioterapi agar kondisi fisik Lucia tidak bertambah buruk. Sebagaimana pada jenis kelainan gen lainnya, sampai kini belum ada pengobatan yang bisa dengan ampuh menghentikan laju sindrom Rett yang progresif. Apalagi fokus serangan utama sindrom Rett diketahui mengarah pada simpul-simpul saraf yang rumit. Obat-obatan yang diberikan kepada mereka umumnya hanya untuk mengatasi gejalanya, misalnya obat kejang. Satu-satunya harapan adalah penelitian genetik yang diharapkan kelak didapatkan formula terapi gen.
Angka penderita sindrom Rett tak bisa dianggap sepi. Di Inggris pada awal tahun lalu tercatat ada 3.000 kasus. Menurut data Asosiasi Sindrom Rett Internasional (ASRI), prevalensi sindrom Rett mencapai 1:10.000 hingga 1:23.000 kelahiran bayi perempuan. Maka, di Indonesia, dengan angka kelahiran bayi sekitar 6 juta orang setiap tahun, diperkirakan ada 130-300 bayi perempuan yang menderita sindrom Rett. Itu dengan asumsi perbandingan kelahiran bayi laki-laki dan perempuan seimbang.
Sindrom Rett merupakan suatu penyakit akibat kelainan gen. Pertama kali ditemukan oleh Andreas Rett, seorang dokter asal Austria. Dalam perkembangannya, sindrom Rett mulai diakui dunia ketika terbit hasil penelitian Dr. Bengt Hagber pada 1983.
Pada Oktober 1999, para peneliti gen menemukan mutasi genetis (MECP2) terhadap kromosom Xq28 pada penderita sindrom Rett. Para penderita penyakit ini mengalami penurunan kemampuan saraf gerak dan kemampuan olah data dalam saraf otaknya. Ketidakmampuan bergerak merupakan efek terburuk penyakit ini.
Sindrom Rett mayoritas menimpa kaum perempuan dan ditemukan di berbagai jenis etnis dan ras di segenap belahan dunia. Penyakit ini dapat menyebabkan bayi keguguran, meninggal pada saat dilahirkan, atau meninggal pada usia muda. Secara genetis, para pengidap sindrom Rett menunjukkan adanya kerusakan serius pada kromosom x. Anak lelaki yang terkena sindrom Rett akan langsung meninggal, karena anak lelaki hanya mempunyai satu kromosom x (xy). Tapi anak perempuan, yang memiliki kromosom xx, mempunyai satu kromosom x cadangan bila kromosom x yang satu rusak.
Anak perempuan penderita sindrom Rett pada 6-18 bulan pertama mengalami perkembangan yang normal atau bisa dikatakan mendekati normal. Tapi si penderita lantas mengalami stagnasi pertumbuhan, penurunan kemampuan berkomunikasi dan menggerakkan tangan. Tidak lama setelah itu, ia akan menderita gangguan berjalan terus-menerus dan perkembangan otaknya melambat. Masalah lain, si penderita jadi sering mengalami gangguan pernapasan ketika bangun tidur. Inilah cerita Kantas tentang penyakit mengerikan yang menyerang Lucia dan 130 gadis kecil Indonesia.
Dwi Arjanto dan Faisal Assegaf (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini