Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jalan Bawah Tanah Ke Makau

Seperti Israel terhadap Palestina, Indonesia menciptakan diaspora Timor Timur. Sebagian dari pengungsi itu terdampar di Makau, sebuah koloni Portugal di lepas pantai Hong Kong. Bagaimana kehidupan mereka? Apa saja aktivitas mereka? Dan bagaimana nasib mereka setelah koloni itu dikembalikan ke Cina akhir tahun ini? Simaklah laporan kontributor TEMPO dari koloni itu.

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebut saja Lola. Warga Timor Timur itu menolak menyebutkan nama lengkapnya—karena takut akan aparat militer Indonesia. "Kalau seseorang sudah punya noda, dia bisa hilang begitu saja," kata Lola. Noda yang dimaksud adalah catatan hitam di aparat militer atau polisi. Dua tahun lalu, Lola, 39 tahun, dan tiga anaknya melarikan diri dari Tim-Tim ke Makau (lihat peta), setelah suatu hari hidupnya berubah. Anak tertuanya, Wilton, dituduh melempar batu ke tentara yang sedang konvoi di Dili. Dan sejak itu, militer mulai mengawasi Wilton, yang kala itu berusia 15 tahun. Kantor pemerintah tempat Lola bekerja pun mulai memberikan peringatan: barangsiapa yang berurusan dengan aparat keamanan atau memiliki anggota keluarga yang bermasalah, dia dapat dipecat. Sebelum itu terjadi, Lola mengundurkan diri. Ia kemudian mencari jalan untuk mendapatkan paspor bagi dirinya dan anak-anaknya. Rp 250 ribu per orang—total Rp 1 juta bagi empat orang anak-beranak ini. Lola tidak sendirian. Tanpa diketahui banyak orang, sejak 1990 Makau, yang lebih dikenal sebagai daerah judi, telah memberikan suaka kepada 600 pelarian politik Tim-Tim. Kebanyakan dari mereka adalah pemuda yang pernah berurusan dengan polisi atau militer. Buat pemuda Timor Timur, kehadiran ABRI di daerah mereka memang telah menjadi pengalaman traumatik. Kota Makau termasuk kecil. Luasnya hanya 4 x 2 mil (sekitar 21 kilometer persegi). Penduduknya hanya setengah juta orang. Dibandingkan dengan kota tetangganya, Hong Kong, yang juga adalah daerah koloni (bekas diperintah Inggris), Makau tak punya dinamisme kota dagang. Bisnis hampir tak berkembang kecuali bisnis kasino. Lola dan ratusan pengungsi lain tinggal di sebuah gedung berwarna hijau pastel dan putih. Sekilas, gedung itu tak tampak istimewa. Di dinding tembok depan hanya ada tulisan Centro de Sinistrados, Pusat Penampungan. Tulisan bahasa Portugis itu tak besar; hanya terpampang di papan kecil. Hampir tak kelihatan. Padahal gedung inilah yang menjadi suaka orang-orang Tim-Tim. Kisah tempat suaka ini dimulai pada 1990. Pengacara Manuel Tilman memutuskan pindah dari Lisabon ke Makau. Tilman lahir di Tim-Tim, keturunan liurai (raja) di daerah pedalaman. Dia berangkat ke Lisabon pada 1968 untuk belajar ilmu hukum internasional. Sejak semula, ia sudah terlibat dengan gerakan kemerdekaan Tim-Tim. Pertama, pada 1974 melawan kolonial Portugal. Kemudian, setelah tentara Indonesia mendarat di tanah kelahirannya, ia pun menentang Indonesia. Tilman kemudian menikah dengan seorang wanita Portugal dan memulai praktek hukumnya di Lisabon. Namun, cintanya terhadap Timor Timur tak pernah pupus. "Sembilan puluh persen dari keluarga saya masih di sana," kata Tilman, 50 tahun. Di kartu namanya, ia memasang profesi pengacara dan nama kehormatannya, Liurai Fatubessi. Setelah hampir 20 tahun berjuang di Eropa, ia memutuskan pindah ke Asia. Tujuannya, daerah koloni Portugal terakhir di Asia: Makau. Tapi di kota inilah Tilman menemukan kawan seperjuangannya, Romo Fransisco Maria Fernandes. Romo Fernandes ini juga kelahiran Timor Timur. Ia mengungsi ke Portugal pada 1976 bersama dengan 3.000 pengungsi yang dibawanya dari Tim-Tim. Inilah pengalaman pertamanya mengangkut pengungsi. Ia datang ke Makau sembilan tahun yang lalu untuk memimpin katedral di sana. Bersama dengan Tilman, ia membuka jalur bawah tanah untuk menyelamatkan saudara sebangsa mereka dari tangan kekejaman militer. Makau bukan satu-satunya daerah tujuan orang Tim-Tim. Sebenarnya, Portugal dan Australia banyak menampung pelarian politik dari Tim-Tim. Malah banyak yang telah menjadi pemukim tetap di kedua negara itu. Ada kira-kira 4.000 orang di Portugal, dan 20.000 orang di Australia. Di Makau hanya ada 200 orang keturunan Tim-Tim. Setengah dari mereka adalah Cina Tim-Tim yang sudah lama berimigrasi ke Makau untuk berdagang di sini. Tambahan lagi, para pengungsi di Makau tak bisa tinggal di sana selamanya. Akhir tahun depan, daerah koloni ini akan dikembalikan ke Cina. Namun, yang membuat Makau ideal sebagai tempat transit bagi pelarian politik ini adalah letaknya yang cukup dekat dengan tanah Timor Timur. Selain itu, fasilitas yang didapat dari pemerintah setempat juga lumayan. Romo Fernandes, 61 tahun, adalah pastor ternama di Makau. Misanya setiap hari Minggu disiarkan oleh televisi setempat. Dia juga memiliki hubungan yang amat baik dengan Gubernur Makau, Vasco Rocha Vierira. "Dia itu orang yang sangat baik," puji Romo Fernandes. Dan ini bukan ucapan sembarangan. Vierira, yang memulai jabatannya Februari 1991, menyumbangkan gedung Centro de Sinistrados kepada para aktivis Tim-Tim. Selain menjadi tempat tinggal pengungsi Tim-Tim, gedung 10 tingkat ini juga digunakan untuk menampung pengungsi Vietnam dan mereka yang rumahnya terbakar. Tapi hampir semua pengungsi Vietnam sudah pergi (hanya tinggal satu keluarga), dan jarang juga korban kebakaran menginap di sana. Fasilitas di Sinistrados lumayan lengkap. Air dan listrik gratis. Setiap orang diberi uang saku sekitar 1.000 pataca (1 pataca = Rp 930) per bulan. Orang Tim-Tim di sana biasanya mengumpulkan uang untuk belanja sayur, dan para wanita ramai-ramai memasak di dapur umum. Anak-anak atau orang muda diberi kesempatan sekolah, kuliah, atau kursus gratis. Fasilitas seperti ini tak ada di tempat lain. Di samping itu para penduduk Makau ini juga memiliki kelompok perjuangan sendiri (lihat Diplomasi Kaum Perantauan). Namanya Groupo Macao da Resistencia Timorense (Kelompok Makau bagi Perjuangan Timor atau GMRT). Diketuai oleh Romo Fernandes dan diwakili oleh Tilman, GMRT didirikan pada 1991 dan memang menjadi motor aksi pengungsian Tim-Tim ini. Kini mereka bergabung di bawah payung Concelho Nacional da Resistencia Timorense (Dewan Nasional untuk Perjuangan Timor atau CNRT). Komunitas rakyat Tim-Tim ini kecil tapi lumayan kompak. Bersama-sama, mereka berkumpul untuk memperingati hari penting bagi rakyat Tim-Tim. Untuk memperingati Tragedi Santa Cruz, 12 November lalu, mereka mengadakan misa kecil di bawah pimpinan Romo Fernandes. Para penduduk tetap Makau, yang kebanyakan kaum Cina pedagang, juga terkadang mengunjungi fasilitas pengungsian untuk mengobrol atau memberikan sumbangan. "Bicara atau mendengarkan kami saja juga banyak berarti," kata Malibere, yang pernah tinggal di Sinistrados. Saat pemuka masyarakat Tim-Tim Manuel Carrascalao berkunjung untuk menengok anak-anaknya yang kuliah di Universitas Makau—kunjungan pertamanya sejak 1983—beberapa orang Tim-Tim berkumpul untuk makan siang bersama. Sekarang sekitar 60 orang tinggal di Sinistrados. Banyak-sedikitnya pengungsi yang datang tergantung situasi politik di Tim-Tim. Gelombang besar dimulai setelah Tragedi Santa Cruz 1991, ketika ratusan demonstran terbunuh. Para aktivis hak asasi memperkirakan militer Indonesia membantai 200 orang di kompleks pemakanan itu. Biasanya Tilman mendapatkan informasi dari sumber-sumber di Indonesia tentang siapa yang perlu dibantu. Terkadang buron politik ini harus keluar dengan memakai paspor palsu. Jalur bawah tanah ini memanfaatkan sistem Indonesia yang korup. Mereka lolos dengan menyuap kiri-kanan. Salah satu pelarian politik yang berhasil lari adalah Nunu Saramento. Saramento, 36 tahun, adalah informan bagi pasukan pemberontak Tim-Tim. Pada 1988 ia ditangkap dan dipenjara selama tiga bulan. Saat dibebaskan, ia diperingatkan agar tidak berhubungan lagi dengan mereka. Saramento masih membandel. Pada 1995 militer mulai mencium aktivitas laki-laki jangkung dan pendiam ini. Anggota kelompok informannya satu per satu ditangkap. Saramento melarikan diri ke Denpasar, meninggalkan istrinya, Rosa Kong. "Kalau tidak lari, ia pasti akan kena hukuman berat," ujar Kong, wanita campuran Cina Makau dan Timor ini. Entah itu dibawa ke penjara Cipinang atau disiksa (lagi) di tahanan. Saramento terlunta-lunta di Denpasar selama satu tahun sebelum akhirnya mendengar jalur bawah tanah ini. Dengan paspor palsu, ia memasuki Makau. Dengan campur tangan Palang Merah Internasional, istri, anak-anak, dan keponakannya menyusul setahun kemudian. Setibanya di Makau, identitas mereka masih harus dicek lagi. Apakah benar mereka orang Timor? Apakah benar mereka punya masalah politik, bukannya ekonomi? Fasilitas istimewa ini terkadang mengundang usaha untuk menipu atau menyalahgunakannya. Program pengungsi ini sebenarnya hanya untuk orang Tim-Tim yang punya masalah politik. Tapi banyak pula orang mengaku dari Tim-Tim tapi saat dicek lewat informan lokal mereka tak dikenal di daerah. "Kebanyakan dari mereka adalah Cina dari daerah Timor Barat," kata Tilman. Bukan berarti ini diskriminasi terhadap orang Cina Tim-Tim. Sejumlah keturunan Cina Tim-Tim didatangkan ke Makau. Di antaranya adalah "Malibere" (lihat Yang Muda, Yang Gelisah). Saramento, bekas guru SMP itu, kini bekerja sebagai montir di sebuah bengkel. Mereka mengharapkan akan pindah ke Australia sebelum akhir tahun depan. Lola dan keluarganya sedang menunggu lampu hijau untuk ke Portugal. Akhir 1999 ini Makau akan dikembalikan ke pemerintah Cina. Berdasarkan perjanjian pada 1557, Cina memberi hak Portugal untuk menguasai koloni itu sampai 1974. Ketika sampai waktunya, Cina menolak pengembalian yang ditawarkan pemerintah revolusioner Portugal karena waktunya tidak tepat. Penguasaan koloni itu diperpanjang 25 tahun lagi—persis pada 20 Desember 1999. Ketika hari itu datang, tak hanya para pegawai negeri asal Portugal yang harus hengkang, para pengungsi Tim-Tim pun harus angkat kaki. Pemerintah Cina tak akan menyediakan gedung gratis atau fasilitas istimewa bagi mereka lagi. Untuk mengantisipasi hal itu, Tilman dan Romo Fernandes tak akan menerima pengungsi lagi pada akhir tahun ini. Mereka berjanji akan menempatkan pengungsi di negara yang dapat menerima mereka. Seburuk-buruknya, para pengungsi akan ke Portugal, karena di sana angka pengangguran hanya 4,5 persen. Tambahan lagi, mereka yang lahir di Tim-Tim memang diakui sebagai warga negara Portugal. Mereka diberi KTP dan paspor Portugal. Kebanyakan dari mereka kelihatan tenang-tenang saja menanti. Namun J.L. Sarmento tidak menutupi keraguannya. "Program pemerintah Portugal tidak jelas," katanya. Dalam perkembangan terakhir, Portugal bahkan tampak lebih "mesra" bergandengan dengan pemerintah Indonesia (lihat: Vietnamnya Indonesia). Bagaimanapun, bukan berarti perjuangan di Makau akan berhenti. "Orang seperti saya dan Romo Fernandes akan tetap tinggal di sini," janji Tilman. Ia akan tetap meneruskan perjuangan GRMT di Makau, walau matahari bagi daerah koloni Portugal ini kian tenggelam dan tak akan muncul lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus