DI banyak negara, pos anggaran untuk pendidikan bisa mencapai 10 persen dari total anggaran pemerintah. Tapi di Indonesia, bahkan ketika ekonomi masih normal, anggaran pendidikan tak sampai 2,5 persen, atau sekitar Rp 5,5 triliun, dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
Padahal, jatah anggaran itu mesti dibagi-bagikan kepada sekitar 500 ribu sekolah dan 51 perguruan tinggi negeri. Jumlah yang terbatas itu dipakai untuk pembayaran gaji guru dan dosen, pemeliharaan bangunan, pembangunan kelas-kelas baru, serta untuk biaya operasi harian, seperti pengadaan kertas kerja atau bahan praktikum.
Dalam pada itu, biaya pengelolaan perguruan tinggi negeri, misalnya, semakin lama semakin besar. Sebaliknya, subsidi anggaran dari pemerintah semakin tak mencukupi kebutuhan.
Itu sebabnya pemerintah memperkenankan para pengelola kampus negeri untuk menyelenggarakan program pendidikan di luar program reguler. Program ekstra itu bisa berupa kelas ekstensi (sore), baik untuk program diploma-3 (D-3), strata-1 (S-1, sarjana), maupun strata-2 (S-2, master).
Bagai gayung bersambut, keran otonomi anggaran itu langsung dimanfaatkan kampus negeri. Universitas Indonesia (UI), contohnya, merintis bisnis dengan membuka berbagai kelas sore. Untuk program D-3 saja, fakultas sastra serta fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) telah melahirkan 16 program studi.
Lantas, untuk program S-1, UI membukanya di fakultas teknik, hukum, ekonomi, psikologi, dan FISIP. Masih ada lagi program S-2 berupa spesialisasi ilmu kedokteran dan ilmu hukum, plus magister manajemen (MM), yang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP)-nya sekitar Rp 30 juta.
Dari situlah UI bisa menutup dana sebesar Rp 49,9 miliar dari total pengeluarannya yang Rp 105,8 miliar setahun. Untuk menutupi sisa biaya, tentu saja UI masih mengharapkan subsidi pemerintah.
Langkah serupa dilakoni Institut Pertanian Bogor (IPB). Program D-3, belakangan juga program MM, diakui oleh Pembantu Rektor II IPB Dr. Bunasor Sanim sebagai tambang uang bagi universitas negeri yang berusia lanjut itu.
IPB bahkan juga mengepakkan sayap bisnis di luar pendidikan, seperti usaha warung telekomunikasi, fotokopi, percetakan, serta usaha jasa konsultasi peternakan dan pertanian.
Di luar itu, masih ada lagi bisnis kerja sama IPB dengan pihak swasta. Pertama, proyek agrobisnis perkebunan mangga senilai Rp 78 miliar bersama Grup Bakrie. Kedua, kerja sama dengan perusahaan properti untuk memanfaatkan lahan tak produktif di Rancamaya, Bogor.
Dari bisnis itu, IPB mencetak pemasukan Rp 26,1 miliar. Bagi pemerintah, angka itu cukup lumayan. Sebab, dengan total pengeluaran IPB sebesar Rp 51 miliar, subsidi pemerintah tinggal Rp 24,9 miliar.
Institut Teknologi Bandung (ITB) malah bisa menutup sekitar Rp 80 miliar dari total pengeluarannya tahun lalu, yang mencapai Rp 105 miliar. Pemasukan itu diperoleh ITB dari uang pendidikan D-3 sampai MM, plus bisnis lain seperti penjualan hasil penelitian.
Di Yogyakarta dan Medan, kampus negeri juga mengupayakan kiat serupa. Sementara Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogya menempuh bisnis di jalur pendidikan, Universitas Sumatra Utara (USU) di Medan menggarap bisnis perkebunan.
Memang, total dana dari aneka bisnis tadi masih belum mungkin menutupi total pengeluaran kampus. Lagi pula perguruan tinggi negeri tak mungkin bebas dari subsidi pemerintah. Urusan gaji pegawai dan dosen, umpamanya, seperti dikatakan Rektor UGM Prof. Ichlasul Amal, tetap menjadi tanggung jawab pemerintah.
Persoalannya tinggal lagi manajemen bisnis pendidikan nonreguler. Jangan sampai terjadi "perburuan" dana sebesar-besarnya, sementara mutu dan manajemen pendidikannya telantar. Sebab, selama ini, gelar dan logo kampus negeri bukanlah barang asal-asalan alias tidak untuk diperjualbelikan.
Ma’ruf Samudra, Dewi Rina Cahyani (Jakarta), dan Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini