Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

'Sebaiknya Habibie Jangan Mencalonkan Diri'

Muluskah kampanye Pemilu 1999? Lalu, jurdilkah pemilu nanti? Jika Habibie menang, banyak soal akan menjulang. Tapi siapa yang pantas jadi presiden?

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah pertaruhan politik digelar di tahun 1999: reformasi cukup ampuh menumbangkan Soeharto? Atau kekuatan ''Laskar Cendana" kembali akan berkuasa, dengan wajah dan baju yang lain? Di pengujung milenium kedua ini, batu ujian berderet-deret: dimulai dengan pengesahan UU Politik pada 28 Januari 1999, lalu kampanye dan pelaksanaan pemilu pada 7 Juni 1999, dan ditutup dengan sidang umum MPR. Tapi banyak yang pesimistis. Di satu sisi, ''agenda nasional" itu memang mengandung potensi konflik yang siap meledak. Di sisi lain, pemilu diharapkan menjadi jalan keluar dari krisis politik saat ini. Harapan bukannya tak ada, terutama jika pemerintahan B.J. Habibie mau mendengarkan suara kritis dari berbagai kalangan. Pada setengah pertama tahun 1999, potensi konflik dan riuh-rendah kampanye pemilu menjadi kekhawatiran utama. Sedangkan Panitia Kerja RUU Politik DPR agaknya akan bersikukuh membolehkan kampanye dengan pengerahan massa. Jika masa kritis kampanye bisa dilewati dengan selamat, tantangan masih menghadang. Misalnya: mampukah sang pemenang membentuk pemerintahan dengan menggandeng partai-partai lain? Selain, tentu saja, serunya pertarungan para calon presiden, yang agaknya tak akan lagi memunculkan calon tunggal seperti 32 tahun belakangan ini. Berikut ini komentar sejumlah pengamat, tokoh masyarakat, tentang kejadian yang mungkin muncul prakampanye pemilu dan pada periode setelah itu. Eep Saefulloh Fatah Peneliti FISIP UI RUU Politik akan menjadi salah satu sumber ''ledakan politik". Setelah rancangan itu disahkan, akan muncul berbagai protes dan perlawanan. Sebab, masalah substansinya serta proses pembahasannya sangat eksklusif. Masalahnya, tidak ada gerakan oposisi yang memadai. Partai baru dan gerakan mahasiswa masih kurang punya perhatian terhadap RUU ini. Mereka mungkin baru sadar nanti, betapa sejumlah isinya bertentangan dengan agenda reformasi. Yang juga mengkhawatirkan, sementara pemilu multipartai pada 1955 bercirikan ''politik aliran", sekarang ini ada ''politik bendera". Dengan ''politik aliran", partai dan basis massa punya orientasi politik dan ideologi yang jelas. Sekarang, partai hanya mengibar-ngibarkan bendera untuk mengumpulkan rakyat dalam kerumunan yang disebut massa partai. Dengan ''politik aliran", elite partai memiliki kemampuan pengelolaan massa berdasarkan ikatan orientasi politik dan ideologi. Tapi sekarang kemampuan itu jauh lebih rendah karena ikatan itu tidak dimiliki lagi. Konflik memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi, sejauh tetap terkendali dan tidak merusak keseluruhan pelaksanaannya, hasil pemilu tetap bisa legitimate. Dengan catatan, prosesnya jurdil (jujur dan adil). Selanjutnya, parlemen akan diisi oleh dua kelompok besar. Yang pertama adalah kelompok Islam tradisional dan nontradisional. Yang kedua: kelompok eksperimen pluralisme, yang terdiri atas Golkar, PAN, dan PDI Perjuangan. Kalau dilihat dari pola aliansinya, Golkar akan menyendiri karena sulit beraliansi. PDI Perjuangan sangat mungkin berkoalisi dengan PKB dan PKP (Partai Keadilan Pembangunan)-nya Edi Sudradjat. Sedangkan kekuatan Islam nontradisional akan berkoalisi dengan PAN. Ada tiga syarat untuk calon presiden mendatang. Pertama: syarat moral, yaitu autentisitas, yaitu ketika berteriak anti-KKN, dia sendiri tidak ber-KKN. Kedua: syarat politik, yaitu representatif, bahwa dia dipilih berdasarkan proses elektoral yang demokratis. Ketiga: syarat teknis, yaitu kompetensi profesional, dilihat dari platform , kesiapan konseptual. Maka, mestinya Habibie tidak mencalonkan diri kembali. Tapi calon yang ada memang punya persoalan kalau harus memenuhi ketiga syarat tersebut. Megawati punya kesulitan dengan persyaratan teknis. Amien Rais mungkin autentik dan punya kompetensi profesional. Tapi apakah dia representatif? Kalau Gus Dur, kendalanya persyaratan teknis. Sedangkan Wiranto tidak memenuhi persyaratan moral. Eli Salomo Aktivis Mahasiswa Forum Kota Tahun 1999 merupakan tahun kritis—suhu politik akan memanas—karena rezim sekarang ingin terus berkuasa. Padahal, tuntutan masyarakat untuk menumpas rezim lama semakin kuat. Pemilu mendatang hanya untuk mempertahankan status quo. Bisa dilihat, berapa banyak partai yang memang didirikan rakyat dan yang merupakan akal-akalan pendukung status quo. Mulai terlihat gelagat, partai yang memiliki uang dapat membeli suara rakyat. Apa yang bisa dilakukan oleh PKB, PAN, dan PDI Perjuangan sampai ke kabupaten? Dibandingkan dengan sumber daya rezim sekarang, mereka belum apa-apa. Dengan dukungan militer sampai ke tingkat desa, hanya dengan didatangi babinsa (bintara pembina desa), orang bisa dipaksa memilih Golkar. Nurcholish Madjid Rektor Universitas Paramadina Mulya Risiko jika pemilu tidak terlaksana jauh lebih besar. Yang penting, pemilu bisa betul-betul luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia), jurdil, dan diabsahkan oleh pengamat independen nasional, lebih-lebih internasional, dalam hal ini PBB. Itu penting karena bangsa kita sekian lama tidak terlatih berdemokrasi dan tidak bisa menerima kekalahan. Akibatnya, keabsahan pemilu akan terus dipersoalkan. Kalau itu terjadi, ada kemungkinan hasil pemilu dibatalkan. Itu masalah berat. Maka, perlu ada sertifikasi internasional, sehingga pemerintah mendatang memiliki legitimasi. Hasil pemilu tidak jauh dari tiga partai yang sekarang ada, plus PKB, PAN, PDI Mega, dan PBB. Mengenai presiden, Habibie sebaiknya tidak lagi mencalonkan diri. Ia sendiri sudah pernah menyatakannya pada 6 Juni 1998. Kalau tidak, banyak yang akan curiga bahwa pemilu hanya rekayasa pemerintah untuk mempertahankan diri, lalu orang akan nekat membatalkan pemilu. Itu bahaya! Tapi, karena Habibie tampaknya segan memilih sikap itu, ia harus memberikan jaminan pelaksanaan pemilu secara jurdil. Kalau proses itu dilewati, kita harus belajar dan bersiap-siap menerima siapa saja yang terpilih sebagai presiden. Sebab, presiden yang akan datang hanyalah primus inter pares, yang utama di antara yang sederajat, tidak punya keistimewaan yang menonjol. Yang penting, sistemnya diperkuat. Jadi, ibarat masinis kereta api, jalannya sudah ditentukan oleh rel. Siapa saja bisa, asalkan dipilih oleh rakyat. Syarwan Hamid Menteri Dalam Negeri Prospek politik tahun depan terkait dengan pemilu yang harus berlangsung jurdil. Tekad mengupayakannya tidak main-main dan bukan sekadar pidato-pidatoan. Jika tidak, kita akan merasakan akibatnya dan harganya mahal sekali. Pertikaian akan berlangsung terus. Orang tidak akan percaya kepada pemerintah yang terbentuk. Senin pagi, 28 Desember lalu, saya dipanggil Presiden Habibie untuk menjabarkan pelaksanaan pemilu yang jurdil itu. Panglima ABRI ditugasi untuk menempatkan diri netral. Jangan lagi memenangkan satu partai seperti yang terjadi dulu. Memang pemilu mengandung potensi konflik. Karena itu, kita berharap peserta pemilu tidak akan terlalu banyak, sekitar 10 partai. Dan jangan ada kampanye berlebihan hingga memicu emosi masyarakat. Komite Pemilihan Umum diharapkan dapat membuat peraturan kampanye yang mencegah pengumpulan massa berlebihan. Juga tentang pelaksanaannya. Satu contoh sederhana, jari tiap pemilih akan dicelupkan ke tinta yang tidak bisa hilang dalam waktu seminggu, untuk mencegah bisa memilih lagi di tempat lain. H. Achmad Tirtosudiro Ketua Harian ICMI Habibie sadar betul, kondisi yang ditinggalkan Soeharto tidak memungkinkan perkembangan demokrasi dan HAM. Maka, beliaulah yang pertama kali mengambil prakarsa untuk melaksanakan pemilu secepatnya. Namun, masih ada kelompok yang tidak setuju dan selalu apriori kepada Habibie. RUU Politik cukup bagus dan memberikan harapan pemilu mendatang akan dilaksanakan secara jurdil. Pemilu 1955, meski diikuti 100 partai lebih, berlangsung tanpa keributan. Jadi, sekarang pun bisa berjalan baik, asalkan tidak ada yang menggosok. Juga pada 1955 tidak ada pengerahan massa. Pemerintah dan partai harus menyepakati tidak ada pengerahan massa. Kemungkinan konflik memang selalu ada, tapi ABRI bisa mengatasinya. Tampaknya, akan ada golongan atau partai yang mencalonkan Habibie sebagai presiden dalam sidang umum mendatang. Sekarang ada banyak calon yang pantas menjadi presiden. Saya tidak mau menyebut kualifikasi, nanti dianggap mengacu ke seseorang. ICMI bukan partai dan tidak akan menjadi partai, maka tidak mencalonkan atau mendukung seseorang menjadi presiden. Yang jelas, ia harus bermoral, mampu memimpin, dan mempunyai relasi di luar negeri. Letjen TNI Fachrul Razi Kepala Staf Umum ABRI ABRI menilai pemerintahan sekarang legitimate, maka harus mempertahankannya sampai pemilu tahun depan. Di dunia mana pun, menjelang pemilu, pasti ada peningkatan suhu. Tapi diharapkan tidak sampai mengganggu stabilitas. Jika terlalu asyik dengan demonstrasi, dikhawatirkan kita akan lalai mempersiapkan pemilu yang jurdil. Bahkan, ada ketakutan pemilu tidak akan menghasilkan apa yang diharapkan. Jadi, potensi konflik harus diminimalkan. Saya tidak tahu partai mana yang akan memenangi pemilu. Sudah ditegaskan, ABRI akan mengambil jarak dengan parpol mana pun. Kalau melihat parpol yang demikian banyak, tidak akan ada yang memperoleh suara mayoritas secara mencolok seperti Golkar kemarin. Perolehan 50 persen suara pun sudah terlalu banyak. Suara yang makin terbagi itu memang ada untung-ruginya. Tapi mekanisme kontrol akan lebih baik. Soal presiden, ABRI telah sepakat, siapa pun yang nanti dipilih MPR harus didukung. Mau kembali ke Habibie atau Wiranto, silakan saja. Faisal Basri Sekjen Partai Amanat Nasional Ada tiga persoalan dalam pemilu mendatang. Pertama, konflik di tingkat elite yang mengimbas ke masyarakat terbawah sehingga terjadi konflik horizontal. Kedua, politik mobilisasi massa yang sangat rawan provokasi, yang diakomodasi Golkar dalam RUU Politik. Situasi ini sangat gampang dipergunakan kelompok yang tidak menghendaki pemilu berjalan lancar. Ketiga, kekuatan status quo, termasuk ABRI, sedang melakukan konsolidasi. Dan jika Golkar menang lewat politik uang, ketidakpuasan rakyat akan memuncak. Ini sangat berbahaya. Rezim ini memang memiliki tali-temali kepentingan untuk tetap berkuasa. Mereka tengah mati-matian mengusahakannya, baik lewat RUU Politik maupun anggaran. Tapi, jika tidak berhasil, boleh jadi mereka akan melakukan berbagai rekayasa untuk menggagalkan pemilu. Kelompok Soehartois saat ini ada di partai-partai yang tidak jelas keberadaannya. Sangat mungkin Soeharto belajar dari Hun Sen, yang membuat 20 dari 29 partai politik di Kamboja. Karena itulah kelompok proreformasi harus memikirkan beberapa alternatif. Jangan hanya satu alternatif, seperti ketika Soeharto benar-benar turun, tanpa diduga, tampillah Habibie. Terlepas dari potensi konfliknya, pemilu harus dipandang sebagai keharusan. Maka, yang terpenting adalah meminimalkan konflik. Dengan mewujudkan konsensus di antara para elite politik untuk tidak saling menyerang, akan timbul kesejukan pada arus bawah. Perolehan suara partai yang menang hampir tidak mungkin di atas 30 persen. Maka, akan terjadi koalisi antarpartai. Koalisi dua partai pun tampaknya tidak akan cukup untuk memimpin. Kami melihat, pada 1955, partai besar maksimum memperoleh 21 persen. Maka, tidak mungkin PKB memperoleh 30 persen, apalagi 40 persen seperti yang dikatakan Gus Dur. Yang paling indah jika terwujud koalisi PAN-PDI Perjuangan-PKB, yang mencerminkan potret bangsa ini. Memang, jika dilihat dari elitenya, koalisi itu rasanya tidak mungkin. Tapi, untuk memperkuat basis legitimasi dan kestabilan pemerintahan, grand coalition itu merupakan jalan keluar. Mengenai presiden, peluang Habibie dan Akbar Tandjung sama besar, tergantung seberapa jauh Golkar melihatnya. Di luar Golkar, yang paling berpeluang adalah Amien Rais. Sebab, partai lain tidak memiliki calon presiden. Bambang W. Soeharto DPP Golkar Tahun 1999 akan lebih demokratis. UU Politik yang baru akan lebih memadai. Parlemen akan lebih berani. Di sisi lain, konflik politik yang terjadi tahun ini akan ramai lagi di tahun depan. Suhu Pemilu 1999 makin menajam dan memang mengandung potensi konflik. Maka, harus dicari penyebabnya dan cara untuk mengurangi konflik. Para elite politik, termasuk kalangan oposisi, harus bertemu dalam suatu forum—misalnya dialog atau rembuk nasional—untuk menyepakati pelaksanaan pemilu. Sekarang semua pihak sudah pasang kuda-kuda, sementara ada sekelompok oportunis yang malah menghendaki adanya gap komunikasi. Maka, hanya dengan memberdayakan komunikasi, konflik bisa diminimalkan. Dilihat dari persiapan semua kontestan, Golkar akan tetap unggul walaupun tidak sampai 80 persen. Di kampung-kampung, Golkar tetap diminati masyarakat. Mungkin saja nanti Golkar berkoalisi dengan parpol lain. Tapi kembali lagi harus diingat slogan politik: tiada kawan yang abadi dan tiada lawan abadi; yang ada hanya kepentingan abadi. Soal calon presiden, ada beberapa yang pantas: Wiranto, Habibie, Akbar Tandjung, dan the rising star Marzuki Darusman. Juga ada Amien Rais, Gus Dur, dan Megawati. Karaniya Dharmasaputra, Andari Karina Anom, Dwi Wiyana, Edy Budiyarso, Hany Pudjiarti, Hendriko L. Wiremmer, Raju Febrian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus