TAK ada kayu, ampas tebu pun jadi. Itulah pemikiran sederhana yang mencuat dari benak para kontraktor pembangunan rumah tipe sangat sederhana ketika mereka harus menghadapi lonjakan harga material rumah. Untuk mengakali mahalnya harga papan dari kayu, mereka menggunakan bahan papan dari ampas tebu.
Selama ini, untuk mengatasi mahalnya harga papan, mereka mencoba menggunakan bahan yang setara dengan kayu, misalnya tripleks, yang sering dijadikan material untuk daun pintu. Ternyata, sekarang harga tripleks meningkat tajam dari Rp 8.000 menjadi sekitar Rp 30 ribu. Padahal menaikkan harga jual rumah sederhana untuk konsumen kalangan bawah jelas tak mungkin.
Dari situlah muncul upaya pemanfaatan ampas tebu untuk bahan papan. Penelitiannya dilakukan secara serius sejak 1994, melibatkan Departemen Pekerjaan Umum di Bandung, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Perusahaan Umum Perumahan Nasional (Perumnas), serta Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Bandung.
Penelitian itu diperkuat dengan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Ternyata, ampas tebu sisa proses produksi menumpuk sebanyak 8,96 juta ton setahun. Dari jumlah itu, baru sekitar 60 persen ampas yang dimanfaatkan untuk bahan bakar pabrik, bahan baku kertas, dan industri jamur. Berarti, masih tersisa 40 persen, atau 3,58 juta ton, ampas tebu yang menganggur.
Sisa ampas tebu itulah yang bakal dimanfaatkan. Pada tahap awal penelitian, kandungan kimia pada ampas batang yang berair manis itu diuji. Hasilnya, kadar air ampas tebu cukup tinggi, yakni antara 48 persen dan 52 persen. "Itu bikin repot. Sebab, air bisa membuat kayu jadi melar," kata Suradi, anggota tim peneliti.
Namun, kandungan bahan kimia utama kayu pada ampas tebu, yaitu selulosa, pentosan, dan lignin, ternyata cukup besar. Kandungan serat kayunya juga cukup, sebanyak 47,7 persen.
Berbekal data itu, dilakukan uji coba skala penuh di pabrik kayu milik Perumnas di Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Ampas tebu dihancurkan hingga berubah menjadi serpihan kasar. Untuk menghilangkan kadar airnya, bubuk kayu dikeringkan.
Pada proses berikutnya, bubuk dicampur dengan perekat urea formaldehida, amonium klorida, amonia, dan emulsi parafin. Adonan itu lalu diletakkan dalam cetakan, dipadatkan, dan dipanaskan dengan suhu 155 derajat Celcius selama dua jam.
Beres? Ternyata begitu diuji di lapangan, papan sintetis tadi masih rentan terhadap air. Ketika direndam selama sepekan, papan ini berubah bentuk dengan tingkat pemekaran 10 persen. Ini berarti sang papan buatan cuma bisa dipakai untuk keperluan yang tak bersinggungan dengan air, misalnya meja dan kursi, atau eternit.
Agar papan ampas tebu berguna untuk keperluan eksterior seperti plafon dan rangka garasi, tiada cara lain kecuali kualitas perekatnya ditingkatkan. Lantas, bahan perekat urea formaldehida diganti dengan melamin formaldehida atau fenol formaldehida yang lebih keras. Suhu pemanasan papan hasil cetakan juga dinaikkan menjadi 180 derajat Celcius.
Setelah itu, papan kembali direndam dalam air, bahkan sampai sebulan. Ternyata, wujudnya tak mengalami perubahan bentuk. Kesimpulannya, partikel papan pengganti kayu itu tahan terhadap air. Belakangan, papan sintetis itu bahkan memperoleh sertifikat nomor 797-83 menurut standar industri Indonesia.
Selain kualitasnya bisa setara dengan papan kayu, papan ampas tebu secara ekonomis juga bisa irit. Sebab, harga jualnya bisa ditekan sampai Rp 4.000 selembar—berarti tujuh kali lipat lebih murah dari harga papan tripleks.
Sayang, teknologi papan ampas tebu belum diaplikasikan pada dunia nyata. Hingga sekarang, belum ada pabrik yang mau memproduksinya. Tapi, "Kami berencana membuat industrinya di Surabaya," tutur Suradi.
Ma'ruf Samudra dan Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini