Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jalur Cepat Bertaruh Nyawa

Batam menjadi surga para penyelundup tenaga kerja ilegal ke Malaysia. Persoalan Imigrasi yang tak pernah tuntas.

20 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAUT Malaysia tampak jelas di ujung cakrawala. Kapal baja berbaris melego jangkar. Di belakangnya, deretan gedung tercogok mencakar langit. Lewat sebait pesan, provider kartu telepon memberitahukan pemberlakuan tarif roaming karena sedang berada di wilayah Malaysia. Padahal, awal Desember tahun lalu itu, Tempo tengah berada di Kampung Tua, Teluk Mata Ikan, Kecamatan Nongsa, Batam.

Nongsa adalah daerah di Batam yang paling dekat dengan Malaysia dan Singapura. Lautnya menyimpan cerita pilu pada 2 November tahun lalu. Sebanyak 93 tenaga kerja Indonesia ilegal yang hendak pulang dari negeri jiran tenggelam dan tewas setelah kapal yang mereka tumpangi karam saat menuju Teluk Mata Ikan. "Teluk itu salah satu ’jalur tikus’ penyelundupan TKI karena hanya butuh 30 menit naik perahu ke Malaysia," ujar Christianus Pascalis, pastor di Gereja Kerahiman Illahi Batam yang juga aktivis buruh migran, kepada Tempo pada Desember tahun lalu.

Nongsa bukan kawasan terpencil. Kepolisian Daerah Kepulauan Riau bermarkas di sana. Bandar Udara Hang Nadim, sejumlah resor, bahkan lapangan golf berstandar internasional turut menghiasi wilayah itu. Namun Kampung Tua merupakan permukiman yang sepi. Kampung itu berada di tepi pantai. Jarak antar-rumah berjauhan. Dermaga kecil berjejer di sepanjang pantai. Namun tak satu pun perahu terlihat tertambat. Dari dermaga-dermaga itulah tenaga kerja Indonesia diselundupkan ke seberang.

Tepi laut Batam, khususnya di dekat permukiman, hampir semuanya merupakan kawasan yang sepi. Suasana ini, kata Pascalis, dimanfaatkan para penyelundup. Menurut dia, hampir semua tepi pantai di Batam adalah "jalur tikus" pengiriman TKI ilegal ke Malaysia. Ia menyebutkan ada tujuh lokasi favorit para penyelundup, yakni Teluk Mata Ikan, Pulau Berakit, Tanjung Bemban,Tanjung Uma, Tanjung Riau, Sekupang Ujung, dan Kampung Tua Patam Lestari. Hampir semuanya berdekatan dengan Nongsa. "Karena banyak, penyelundupan itu jadi sulit diberantas," ujarnya.

Penyelundupan juga terjadi di kawasan resmi, semacam Pelabuhan Batam Centre, yang berskala internasional. Siti Aisyah, 25 tahun, warga negara Indonesia yang kini ditahan di Malaysia karena diduga terlibat pembunuhan Kim Jong-nam, abang tiri pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un, berangkat ke Malaysia lewat pelabuhan itu pada 2 Februari lalu. Status Siti diduga ilegal karena tak tercatat sebagai TKI meski ia bekerja di Malaysia.

Tempo menemukan berbagai modus haram keberangkatan para TKI dari Batam Centre ke Pelabuhan Stulang Laut dan Pasir Gudang di Malaysia. Modus yang paling sering digunakan adalah satu paspor digunakan untuk menyelundupkan hingga 10 tenaga kerja. Modus ini dikenal dengan istilah "paspor gayus". Imigrasi menyebutnya impostor. "Modus ini melibatkan petugas Imigrasi lokal," ucap aktivis buruh di Batam yang meminta dipanggil dengan nama Doni demi keamanannya.

Gerombolan TKI terlihat hampir setiap hari memenuhi Batam Centre. Tempo mengikuti satu rombongan yang terdiri atas 15 TKI di sana pada Desember tahun lalu. Menjelang keberangkatan, seorang pria dengan tergesa-gesa membagikan paspor yang sudah diselipkan tiket. Ia sama sekali tak membaca nama pemilik paspor saat membagikannya. Saat antre di Imigrasi, Tempo mencoba bertanya kepada mereka, tapi semua pertanyaan dijawab "tidak tahu". Setelah lolos melewati Imigrasi, mereka tak terlacak karena ada empat keberangkatan feri ke Malaysia pada jam yang sama.

Ada banyak lagi jalur yang bisa digunakan para penyelundup. Apalagi, setelah tragedi karamnya kapal TKI ilegal di Teluk Mata Ikan, rute haram baru bertumbuh karena meningkatnya patroli di jalur lama. Desember tahun lalu, Tempo mengikuti salah satu jalur penyelundupan lewat "jalur bawah". Istilah itu digunakan oleh para penyelundup untuk menyebut penyelundupan via jalur tikus. Biasanya mereka menggunakan kawasan Nongsa, yang berada di timur laut, mereka beralih ke tepi pantai pulau-pulau di selatan dan tenggara Batam.

Rizki adalah salah seorang pentolan makelar di Batam. Makelar ini biasa disebut tekong. Dia mengklaim bisa menyelundupkan TKI lewat jalur bawah. Rizki menjaring calon TKI ilegal di kawasan Batam Centre. "Tarifnya Rp 2,5 juta per orang," katanya saat dimintai konfirmasi lewat sambungan telepon. Tarif itu akan melonjak hingga Rp 5 juta jika menggunakan "paspor gayus". Calo seperti Rizki tumbuh subur di Batam karena banyaknya calon perantau dari berbagai penjuru Tanah Air yang tak memiliki paspor tapi ingin segera bekerja di Malaysia.

Rizki bekerja dalam jaringan. Bari, pencari kerja yang pernah menggunakan jasanya, menceritakan pengalaman saat hendak menjadi TKI ilegal pada Desember tahun lalu. Ia tak memiliki paspor, tapi Rizki menjanjikan bisa masuk ke Malaysia. Bersama tiga calon TKI dari Kupang, mereka dioper dari satu mobil ke mobil lain sampai tiga kali. Di sepanjang perjalanan, mereka berkali-kali diperintahkan harus mematuhi perintah para calo agar tak tertangkap petugas hingga ke Malaysia.

Calon TKI disembunyikan selama satu malam di rumah milik Basyir di kawasan Pantai Pasir Melayu, Pulau Rempang, Batam. Di pantai itu juga mereka diberangkatkan saat tengah malam. Semua barang bawaan mereka diminta dimasukkan ke plastik. "Mereka tak pernah memberikan jaminan keselamatan kepada kami," tutur Bari.

Basyir adalah anggota jaringan penyelundup yang bertugas menyembunyikan dan mengantarkan calon TKI ke kapal yang akan memberangkatkan mereka ke Malaysia. Baik Rizki maupun Basyir membenarkan pola jaringan itu. "Tapi saya sekarang sudah berhenti karena semua teman sudah ditangkap polisi," kata Basyir lewat sambungan telepon, akhir Februari lalu.

Jalur ilegal baru, seperti Pantai Pasir Melayu, terus bertumbuh karena peminatnya yang terus meninggi. Cara ilegal dianggap praktis dan cepat. Jika melewati prosedur resmi, calon TKI membutuhkan waktu setidaknya dua bulan sebelum dipekerjakan di Malaysia. Mereka harus melewati tahapan seperti pelatihan dan mengurus dokumen agar diberi stempel TKI resmi. "Permintaan terus ada karena kebutuhan tenaga kerja dari Malaysia pun tinggi," ujar Ketua Satuan Tugas Perlindungan WNI Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Yusron B. Ambari, di kantornya.

Pihak Imigrasi sadar pelanggaran masih terus terjadi. Kepala Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Agung Sampurno mengatakan pihaknya sudah meminimalkan kecurangan dengan berkali-kali menertibkan petugasnya sendiri. Mereka sudah menyediakan auto-gate di Batam untuk mengantisipasi kecurangan yang akan dilakukan petugas. Namun lemahnya pengawasan kerap terjadi karena kurangnya jumlah personel. "Persoalan keimigrasian TKI ini seperti balon. Ditekan di kiri, ia akan menggelembung ke kanan," kata Agung. Menurut dia, petugas Imigrasi berkali-kali mengepung jalur-jalur tikus di Batam, tapi penjahat selalu saja berhasil menemukan rute baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus