Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jejak Dana tanpa Neraca Bulog

Sejak 10 Juli lalu, semua dana nonbujeter—baik di departemen maupun di lembaga pemerintah non-departemen—harus dimasukkan dalam neraca anggar-an. Bagi Badan Urusan Logistik (Bulog), instruksi presi-den ini secara tak langsung seolah meruntuhkan ruang-ruang rahasia yang melingkungi sebuah timbunan dana raksasa sepanjang hampir dua dawasarsa. Untuk pertama kalinya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kini dapat menjangkau dana nonbujeter Bulog. Banyak pertanyaan perihal dana ini yang belum jua terjawab hingga sekarang. Upaya meminta pertanggungjawaban dari mereka yang diduga bermain dalam penyelewengan triliunan rupiah dana non-neraca memang upaya yang pelik, berliku-liku, dan penuh kesulitan—sebuah suasana yang juga dihadapi TEMPO tatkala menurun-kan laporan investigasi ini.

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG kerja Komisi III DPR di lantai satu Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, punya kesibukan baru sejak awal pekan lalu. Beberapa anggota Tim Penelusuran Dana Non-Bujeter Bulog di komisi itu, tiba-tiba, harus membaca sejumlah surat dokter, di luar kesibukan rutin mereka. Kegiatan ini tak ada hubungannya dengan pelajaran atau kursus ilmu kesehatan. Surat-surat itu adalah pemberitahuan resmi beberapa mantan Kepala Bulog yang dijadwalkan untuk didengar keterangannya oleh Komisi III sejak 17 Juli. Beddu Amang, yang seharusnya nongol di DPR Kamis malam pekan lalu, misalnya, di saat-saat terakhir hanya digantikan selembar surat sakit dari dokter.

Apa yang menyebabkan para mantan Kabulog serempak sakit? Apakah ini cuma akal-akalan untuk menghindari kewajiban menghadapi para anggota dewan? Entahlah. Yang jelas, Dewi Fortuna tampaknya tengah menjauhi bekas penguasa salah satu lembaga yang—pernah—paling kaya di negeri ini. Dari figur yang begitu kaya, berkuasa, dan tak tersentuh di masa Orde Baru, seorang Bustanil Arifin atau Beddu Amang, misalnya, kini harus menjawab cecaran pertanyaan anggota dewan ataupun media massa—tentang semua sepak terjang mereka dalam mengelola dana Bulog, lumbung emas yang begitu mudah mengundang penjarah.

Para mantan pejabat Bulog kini memang tak bisa hidup tenang karena diuber-uber DPR. Mereka dipanggil berkaitan dengan dugaan penyimpangan penggunaan uang negara yang bersumber pada dana nonbujeter Bulog. Meminjam istilah Wakil Ketua Komisi III Widjanarko Puspoyo, di Bulog terjadi penyimpangan dalam administrasi keuangan negara. "Juga terjadi penggelapan pajak dalam penerimaan dana tersebut. Hal ini sudah menjadi indikasi bagi Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan," katanya. Atas dasar itulah DPR menyebut tujuh orang mantan pejabat yang harus bertanggung jawab atas dana non-anggaran di Bulog.

Apa sesungguhnya dana nonbujeter yang diributkan media sejak beberapa pekan silam itu? Kepala Biro Analisa Harga dan Pasar Bulog, Tito Pranolo, mengibaratkan dana ini sebagai "penghasilan suami—di luar gaji—yang dibelanjakan tapi tidak dilaporkan kepada istri." Dengan lain kata, seluruh pemasukan yang mengalir ke kas non-anggaran tidak perlu dipertanggungjawabkan di dalam neraca.

Alhasil, penggunaan dana Rp 2 triliun lebih di zaman Kepala Bulog Rahardi Ramelan, misalnya, cuma dicatat sederhana. Ada 33 item pengeluaran yang berjumlah triliunan cuma ditulis begitu saja, diurutkan ke bawah, lalu dijumlahkan, mirip catatan belanja ke pasar. Salah satu item pengeluaran senilai hampir setengah miliar rupiah bahkan cuma dicatat dalam pos "lainnya". Di atas pos ini ada pos "lain-lain" (tanpa penjelasan) senilai Rp 50 miliar lebih. Luar biasa.

Dana nonbujeter Bulog yang begitu mudah dihamburkan memang merupakan salah satu absurditas yang paling ironis dalam penerimaan negara. Jumlahnya fantastis. Ekonom dari perusahaan sekuritas Nomura, Adrian Panggabean, memperkirakan, jika seluruh dana nonbujeter yang ada di semua departemen, instansi, dan lembaga pemerintah dijumlahkan, angkanya bisa mencapai 25 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Hitung saja jumlahnya—sekadar mencontoh angka APBN 1999/2000 sebesar Rp 219,6 triliun (lihat infografik Taksiran Dana Non-Bujeter Bulog). Banyaknya dana yang diparkir di luar neraca, menurut Adrian, membuat Indonesia harus nombok dari tahun ke tahun dengan cara berutang ke luar negeri. "Jika dana nonbujeter dimasukkan ke APBN, untuk tahun anggaran itu pemerintah sebetulnya tak perlu berutang ke luar negeri," ujarnya.

Di Bulog, dana di luar neraca telah ada sejak 1982. Jalur keluar-masuk uang raksasa ini tak bisa diintip semua orang. Pintu harta karun Bulog hanya bisa dibuka dengan tekenan Kepala Bulog. Sementara itu, pengendaliannya diatur tiga pejabat tinggi lembaga itu: Deputi Keuangan, Kepala Biro Pembiayaan, dan Kepala Bagian Administrasi Keuangan.

Bila ada yang harus diberi bintang jasa dalam urusan memperkaya Bulog, kehormatan itu pasti akan diserahkan kepada Bustanil Arifin. Ia melahirkan dana nonbujeter dengan tujuan mulia: menghasilkan dana cadangan untuk menstabilkan harga pasar bahan-bahan kebutuhan pokok. Untuk itu, Bulog diberi pemerintah hak monopoli impor bahan pokok seperti terigu, gula pasir, dan beras (lihat infografik Dari Mana Datangnya Fulus?)—belakangan, monopoli hanya untuk beras. Bulog berhak menentukan besar kutipan pada setiap impor bahan baku. Uang inilah yang menjadi cadangan untuk menjaga stabilitas harga di pasar.

Tapi, sepanjang sejarahnya, tak pernah ada yang tahu pasti berapa dana yang digunakan untuk menjaga harga pasar. Lebih-lebih, tatkala mekanisme nonbujeter melahirkan sebuah tambang emas, cita-cita mulia pun tak terlalu sulit untuk dibengkokkan. Tatkala harga gabah anjlok hingga Rp 700—jauh di bawah harga pasar yang sekitar Rp 1.095—Bulog bukannya segera beraksi. Ia menunggu hingga dana turun dari APBN untuk meredam kerugian petani. Tidak transparannya penggunaan dana ini juga mendatangkan ekses lain: sebuah lumbung rahasia yang mudah dijarah tanpa perlu khawatir dilacak (lihat Menjarah Dana Tak Bertuan).

Dana itu bahkan digunakan untuk hal-hal yang jauh urusannya dari kegiatan Bulog: "Menyumbang 14 yayasan, apa hubungannya dengan Bulog?" Widjanarko Puspoyo bertanya. Bukan itu saja. Bustanil, misalnya, mengaku menggunakan dana itu untuk biaya kampanye Golkar di Aceh—tanpa sedikit pun merasa bersalah: "Apanya yang diselewengkan? Saya menggunakan dana yang dihasilkan sendiri," ujarnya kepada TEMPO. Pola yang sama berlangsung dari Kabulog ke Kabulog, hanya dengan modus dan varian penyelewengan yang berbeda.

Apa yang terjadi di Bulog adalah salah satu contoh yang paling jelas betapa hebatnya ekses kutipan dan pungutan di luar pajak. Alih-alih menstabilkan harga, pungutan yang dikenakan pada pengusaha akan melahirkan pula ketidakpastian usaha dan ekonomi biaya tinggi. Bos perusahaan Medco, Arifin Panigoro, mengakui bahwa berbagai kutipan itu sangat merugikan iklim berbisnis di kalangan pengusaha nasional: "Adanya kutipan itu membuat harga-harga proyek menjadi membengkak," ujarnya.

Bulog, sesungguhnya, cuma salah satu contoh. Dana non-anggaran bisa muncul dalam aneka bentuk di berbagai departemen: dana reboisasi di Departeman Kehutanan dan Perkebunan, pajak undian di Departemen Sosial, atau dana Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Departemen Tenaga Kerja. Jumlahnya mencengangkan. Selepas diberlakukannya instruksi presiden tentang penganggaran dana-dana non-neraca, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, misalnya, menyetor Rp 7,4 triliun dari pungutan dana reboisasi yang selama ini terparkir di departemen itu.

Namun, kelahiran jenis dana di luar anggaran ini tak bisa sepenuhnya disalahkan ke para pengelola lembaga. Ahli pertanian H.S. Dillon berpendapat, cikal-bakal kelahiran mekanisme dana ini harus dilihat jauh ke belakang, yang ternyata tak bisa terlepas dari kebijakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Lembaga ini, menurut Dillon, tak berhasil mendesain sebuah sistem anggaran yang bisa menyerap seluruh kebutuhan riil. Maka, timbullah "pola belanja" baru yang bergerak di luar anggaran.

Dana nonbujeter, dari dimensi tertentu, merupakan imbas dari sistem yang tak pernah memberikan kepercayaan kepada kementerian untuk mengelola dana sendiri. "Semuanya berpusat ke Bappenas," katanya. Kendati punya indikasi jelas ke arah korupsi, menurut Dillon, "Dana nonbujeter memang diperlukan sebagai cadangan karena ada kegiatan yang dananya tak bisa dialokasikan lebih dulu." Yang jadi soal: mampukah kita memberlakukan dana non-anggaran tanpa mengulang kesalahan yang telah berlangsung selama hampir dua dasawarsa?

Taksiran Dana Non-Bujeter Bulog

No. DataKurun waktu Dana yang terdeteksi Keterangan
1. Arthur Andersen 1994-1998 Rp 15 triliun Awalnya, Andersen mencatat ada Rp 100 triliun yang tidak terdeteksi. Karena tidak punya akses lebih jauh ke 116 rekening Bulog, Andersen akhirnya memastikan angka Rp 15 triliun sebagai dana nonbujeter.
2. Bulog 1998 Rp 3,4 triliun Ini jumlah yang diakui Bulog sebagai dana yang tak terdeteksi—berdasarkan audit Arthur Andersen. Sekitar Rp 2,9 triliun lenyap di jalur KKN.
3. BPKP 1997/1998-1998/1999Rp 2,86 triliun Tak ada penjelasan.
 1 Januari 1998-31 Desember 1999Rp 3,1 triliun Jumlah ini belum termasuk periode sebelumnya. Dana ini awalnya (1996) tersimpan di 116 rekening pada 7 bank, tapi per 31 Desember 1999 disederhanakan dalam 4 rekening saja di BRI dan Bukopin.
4. Komisi III DPR Saldo per 28 Februari 1999Rp 485,5 miliarLaporan akhir bulanan saat Rahardi Ramelan membawahkan Bulog.
5. Rizal Ramli 2 Juni 2000Rp 383 miliar  

Sumber: Riset Media Tim Investigasi TEMPO

Dari Mana Datangnya Fulus?

Dana mengalir semula dari hak monopoli--dari hulu ke hilir--Bulog untuk mengatur perdagangan beras, terigu, gula pasir, dan kedelai. Dengan perhitungan ini, dalam setahun Bulog bisa meraup duit segede Rp 3,5 triliun lebih--dikalikan 18 tahun, angka ini akan membengkak menjadi sekitar Rp 63 triliun. Ini pun hanya dari pungutan impor tiga komoditi. Padahal, audit BPKP menyebutkan sumber fulus untuk kas nonbujeter Bulog datang pula dari bunga deposito, jasa giro, cadangan risiko beras, cadangan risiko kedelai, dan tambahan harga kedelai. Audit Arthur Andersen mendeteksi pernah ada pula dana misterius sebesar Rp 100 triliun yang terparkir di laci nonbujeter Bulog.

Berikut ini beberapa jenis impor berikut jumlah kutipannya per 1999.

No. Jenis impor Jumlah impor Kutipan Keuntungan Bulog Keterangan
1. Tepung terigu 3,6 juta ton Rp 33Rp 118,8 miliar Jumlah impor dan kutipan setiap tahun berbeda.
2. Gula pasir 2 juta ton Rp 15,6 Rp 31 miliar  
3. Beras 2 juta ton  Rp 3,2 triliun  
Sumber: Riset Media Tim Investigasi TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum