Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, kebiasaan membobol pos dana taktis terus berlangsung di era setelah Bus dan Beddu turun panggung, tepatnya ketika B.J. Habibie memerintah. Spiral korupsi di Bulog ditengarai masih berlangsung ketika Kepala Bulog dijabat Rahardi Ramelan, yang menggantikan Beddu Amang. Ramelan, yang memimpin Bulog dari Agustus 1998 sampai Oktober 1999, lama dikenal bersahabat kental dengan Habibie.
Di bawah Rahardi, riwayat kebocoran dana taktis tak kurang derasnya. Laporan pemeriksaan khusus Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kurun waktu 1 Januari 1998 sampai 31 Desember 1999 menunjukkannya. Angka pengeluaran mencapai Rp 2,9 triliun. Saldo yang tersisa cuma Rp 416 miliar.
BPKP juga menguliti sejumlah kejanggalan dengan modus yang sama. Duit negara ini telah dihambur-hamburkan untuk kepentingan politik penguasa dan bisnis sejumlah kroni dan sanak kerabat para petinggi Republik.
Berdasarkan pembukuan periode September-Desember 1999, Rahardi setidaknya telah menarik dana senilai Rp 51 miliar lebih. Duit segunung ini keluar melalui cek tunai yang ditarik oleh Bustan Jufri, asisten pribadi Rahardi, tak jelas untuk keperluan apa. Di pembukuan, cuma tercantum "untuk keperluan kenegaraan." Pihak Bulog, menurut laporan BPKP, juga tak mampu merincinya. Kuat diduga, dana itu menggelontor untuk keperluan kampanye sebuah partai besar.
Bahkan, di era Rahardi, pos "siluman" ini agaknya juga telah digunakan untuk membela para pejabat di lingkungan Bulogtermasuk kroninyayang diseret ke meja hijau dalam berbagai kasus korupsi. Di antaranya pengeluaran senilai (paling tidak) Rp 565 juta yang tercatat sebagai dana bantuan untuk penanganan kasus korupsi yang melibatkan mantan Kepala Depot Logistik (Dolog) Jaya, A. Zawawi.
Yang mencengangkan adalah kasus pengeluaran senilai Rp 5 miliar. Ini total honor sebuah kantor pengacara ternama yang menangani perkara dugaan korupsi Tommy Soeharto dan Hokiarto dalam kasus tukar guling tanah Bulog dengan PT Goro Batara Sakti (milik Tommy dan kawan-kawannya). Dua orang ini gampang saja menikmati pos dana taktis Bulog tanpa seorang pun di Republik Indonesia ini mampu mencegahnya. Hokiarto, bos Bank Hokindo, merupakan "sahabat baik" mantan Kepala Bulog Beddu Amang. Itu sebabnya ia dan Tommy mudah saja membebankan Rp 5 miliar itu ke Bulog, padahal mestinya pengeluaran ini dibebankan ke PT Goro sendiri. Yang sungguh tak masuk nalar sehat, dalam perkara ini Bulog justru adalah pihak yang dirugikan.
"Pesta pora" di Bulog selalu saja melibatkan putra petinggi Republik. Kalangan inilah yang selalu berada dalam daftar prioritas. Begitu pula di era Rahardi. Dokumen laporan Komisi III DPR, misalnya, mengungkap dugaan keterlibatan Thareq Habibie, putra kedua B.J. Habibie, dan Muhammad Lutfi, menantu mantan Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan Hartarto. Mereka berdua ditengarai telah memakelari sebuah proyek berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan Bulog.
Menurut salinan dokumen perjanjian yang didapat TEMPO, pada 12 November 1998 terjadi kesepakatan jual-beli 400 ribu metrik ton beras Thailand (Thai white rice) antara Bulog serta pemerintah RI c.q. Departemen Keuangan (pihak pembeli) dan sebuah perusahaan swasta yang berdomisili di Bangkok, Thailand (penjual). Naskah itu diteken Deputi Pengadaan Bulog, Mohammad Amin, dan Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Darsjah.
Bau korupsi meruap melalui sejumlah kejanggalan. Proyek dengan nilai pembelian hampir setriliun rupiah ini diproses superkilat. Baru pada 5 November, demikian tulis laporan itu, Direktur Jenderal Anggaran Darsjah berkirim surat ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) agar membekingi pendanaan. Seminggu kemudian, kontrak sudah langsung diteken.
Proyek ini juga dapat dipastikan berlangsung tanpa tender. Ini tentu tak lepas dari pengaruh "nama besar" sang calo: Thareq Habibie dan Lutfi. Nilainya pun kuat diduga telah digelembungkan begitu rupa. Tercantum dalam naskah kontrak, harga beras disepakati US$ 287 per metrik ton, padahal ketika itu beras jenis yang sama bisa diperoleh di pasar Thailand dalam kisaran harga US$ 232-237. Artinya, untuk tiap ton terjadi praktek dongkrak harga sebesar US$ 50. Dengan kurs saat itu Rp 7.775 per dolar Amerika, total jenderal negara dirugikan tak kurang dari Rp 155 miliar.
Itu nilai kerugian yang cukup besar, apalagi jika dibandingkan dengan impor beras pada 1999 di era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Impor beras eks Pakistan yang dimenangi PT Bumindo Hastajaya melalui proses tender, misalnya. Bumindo hanya mengajukan harga US$ 195 per ton. Artinya, ada selisih US$ 92 dengan harga yang dipasang Thareq dkk. Kualitasnya pun ternyata jauh lebih baik, cuma broken (kadar pecah butir beras) 10 persen, dibandingkan dengan proyek Thareq, yang mencapai 25 persen. "Kerugian negara tersebut diperkirakan dinikmati oleh pejabat Bulog dan brokernya yang dekat dengan pusat kekuasaan pada waktu itu," demikian kesimpulan laporan Komisi III.
Sayang, berbagai pihak yang diungkap keterlibatannya itu memilih tutup mulut ketimbang menjelaskan duduk ersoalannya. Rahardi menolak memberikan klarifikasi. Pendek saja ia berkomentar untuk mengelak. "Biasanya majalah yang lain itu pemred (pemimpin redaksi)-nya yang menghubungi saya. Kalau memang Anda sudah punya data BPKP, ya sudah," katanya kepada reporter TEMPO. Deputi Bulog, M. Amin, juga mati-matian menghindar. "Saya tidak terlalu banyak tahu," ujarnya. Bahkan, menurut seorang kenalan dekatnya, Amin sampai wanti-wanti berpesan, "Kalau ada wartawan yang tanya soal saya, bilang saja saya sakit atau mati." Thareq Habibie, lewat pengacaranya Jhon Pieter Nazar membantah keras tuduhan kliennya terlibat dalam tender beras Bulog. Kata Pieter Nazar, "Itu cerita lama. Saya juga pernah menanyakan hal itu kepada Thareq. Tetapi, sampai bersumpah-sumpah ia mengatakan tidak pernah ikut terlibat dalam urusan tender itu." Sementara itu Lutfi berkali-kali telah dihubungi, tak menanggapi permohonan wawancara yang diajukan TEMPO.
Padahal, banyak hal yang akan ditanyakan TEMPO kepada Rahardi Ramelan. Misalnya, ia disebut telah menghalang-halangi upaya BPKP mengaudit pos gelap itu. Pada akhir 1998, setelah Soeharto jatuh, BPKP mencium banyak ketidakberesan di seputar pos dana taktis ini. Kepala BPKP kala itu, Soedarjono, lalu menggelar pemeriksaan khusus. Tapi tim audit tak diizinkan masuk. Mereka bahkan dihalang-halangi mengakses berbagai data dan dokumen yang diperlukan. Pada 8 April 1999, Rahardi malah berkirim surat ke Presiden Habibie. Isinya adalah saran agar dana itu tetap dipendam dalam pos nonbujeter dan dipertanggungjawabkan langsung ke Presiden seperti sediakala. Habibie, melalui surat Menteri-Sekretaris Negara saat itu, Akbar Tandjung, menyatakan setuju.
Ada empat alasan yang diajukan Rahardi, yakni pos ini diperlukan sebagai cadangan untuk menutup risiko defisit Bulog: pengeluaran khusus berupa penugasan pemerintah, biaya koordinasi dengan instansi lain, kesejahteraan karyawan, dan kepentingan lain-lain. Terbukti kemudian, seperti tertera dalam laporan Komisi III itu, tak satu pun dana dikeluarkan untuk tiga alasan yang diajukan Rahardi. Yang terbanyak justru untuk "kepentingan lain-lain" yang tak jelas juntrungannya.
Rahardi agaknya memang selalu tak begitu bersemangat jika dihadapkan pada upaya menyapu bersih sarang korupsi di Bulog. Jumat kemarin, sedianya ia diundang untuk dimintai keterangan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi ia mangkir dan dikabarkan sedang berpelesir ke Boston, Amerika Serikatdan memang tak seorang pun bisa memastikan apakah uang pelesir ini juga datang dari pos dana taktis Bulog.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo