Seorang lelaki dengan rambut agak gondrong berdiri di atas kereta api. Mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dipadu celana jins, serta tas yang melingkar di pundaknya. Wajahnya penuh ekspresi, matanya tajam memandang ke depan. Kedua tangannya terbentang seolah-olah mau terbang.
Pria itu bukan Rano Karno, apalagi Christopher Reeve?cowok keren yang membintangi film Superman. Itu adalah ilustrasi puisi di atas, yang dicetak pada poster ukuran besar dan kini dipajang secara strategis di semua stasiun kereta api se-Jabotabek. Tujuannya jelas: peringatan tentang ancaman kematian bagi penumpang remaja yang bandel.
Jauh sebelum tawuran pelajar mewarnai Jakarta dengan rona kematian menjadi akhir sebuah cerita, kereta api listrik (KRL) dan diesel (KRD) yang melayani rute Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi juga menjadi saksi bagaimana pemuda tunas bangsa itu meregang nyawa. Mereka "melepas" keremajaannya dengan berbagai cara: dihantam jembatan, tersengat aliran listrik bertegangan tinggi, atau jatuh dari kereta yang melaju kencang.
Kisah Iman dan Nana, warga Kencana, kecamatan Tanahsereal, Bogor, adalah contoh klasik itu. Kedua remaja itu duduk di atap KRD yang sedang melaju kencang dan kepalanya remuk terbentur tembok jembatan, suatu siang pada 1996. Nyawanya tak dapat diselamatkan.
Tiang listrik di Kampung Setangklek, Depok, juga tiba-tiba berubah menjadi tiang maut. Tercatat 22 penumpang kena kemplang dan celaka akibat berdiri di tepi pintu dengan kepala terjulur ke luar. Dari angka itu, cuma lima orang yang selamat. Masyarakat setempat lantas membuat papan pengumuman di lokasi itu: awas tiang keramat.
Cerita-cerita mengenaskan itu, oleh Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), juga tak dijilid lalu disimpan bersama dengan tumpukan berkas yang lain begitu saja. Apalagi data menunjukkan bahwa kematian di kereta api (KA) Jabotabek akibat penumpang nakal tak dapat diredam, kendati jumlahnya tak melonjak drastis dari tahun ke tahun. Tahun 1996 tercatat 45 orang meninggal, tahun berikutnya 62 orang tewas, dan tahun lalu, syukurlah, melorot jadi 53 orang.
Pelbagai upaya dilakukan untuk mengurangi tingkat kematian akibat perilaku remaja yang ugal-ugalan. Cara lama yang selama ini ditempuh adalah menempatkan aparat di setiap stasiun. Bila kedapatan penumpang yang duduk di atap, langsung dipaksa turun. "Eh, mau. Tapi, begitu kereta melaju, mereka memanjat jendela dan kembali duduk di atas," kata Sayono, Kepala Stasiun Sudimara, Bintaro, Jakarta Selatan.
Langkah penyelamatan lantas ditingkatkan. Bagian atap kereta yang menjadi arena kongko-kongko permukaannya dihiasi kawat berduri. "Atap mengandung listrik. Bila isolasinya terbuka atau tembus karena air, penumpang bisa gosong," kata Eddy Sasongko, Kepala Daerah Operasi I Perumka Jakarta.
Sejalan dengan langkah represif itu, petugas juga bertindak lebih aktif. Penumpang yang bandel langsung disuruh turun dan "digiring" ke kantor stasiun. Di sana, kepalanya digunduli oleh sesama penumpang yang ikut ditangkap karena kasus serupa. "Ingin sekali saya memotretnya, lalu saya kirim ke orang tua dan sekolahnya," ujar Eddy.
Toh pemandangan yang sudah terlukiskan sejak kereta api menjadi fasilitas bagi masyarakat urban di Jakarta itu hingga kini masih terus terjadi. Dan anak-anak sekolah yang bergelantungan di sambungan gerbong atau berdiri di atap itu lantas menjadi ilham bagi lahirnya puisi tentang Superman tadi.
Membicarakan kereta api Jabotabek tak ubahnya mempersoalkan cerita lama yang hingga kini masih bisa kita baca melalui perjalanan kereta api yang menghubungkan Ibu Kota dan kota satelitnya. Kematian adalah bagian "kecil" dari keseluruhan kisah yang bernama angkutan umum itu.
Memang, dibandingkan dengan bus kota, kereta api jauh lebih menggiurkan. Waktu tempuhnya relatif lebih cepat, ongkosnya pun murah meriah. Perjalanan Jakarta-Tangerang, misalnya, bisa ditempuh sekitar setengah jam. Waktunya pun relatif lebih pasti, meski kadang-kadang jadwal kereta molor juga. Bagi masyarakat, toh masih lebih cepat naik kereta.
Bandingkan dengan bus kota, yang waktu tempuhnya sangat bergantung kelancaran lalu lintas. Terutama saat jam sibuk, waktu yang dihabiskan bisa mekar sampai empat kali lipat. "Kereta api tarifnya Rp 400 dan bus kota mencapai Rp 1.500. Itu pun tak bisa sekali jalan," kata Achmad Ansorudin, Kepala Stasiun Tangerang.
Kelebihan itu bukan berarti membiarkan wajah perkeretaapian kita yang sudah lama berganti warna menjadi kusam. Mengacu kepada fungsinya sebagai sarana tranportasi umum yang dimonopoli negara, kenyamanan adalah kata kunci yang harus dinikmati penumpangnya. Bukan sekadar murah dan cepat.
Satu gerbong, yang sejatinya diisi sekitar 100 penumpang, pada prakteknya dijejali sampai 500 orang. Itu lebih karena jumlah kereta api yang saat ini beroperasi jumlahnya masih sangat terbatas, kendati bukan berarti tak ada pertumbuhan.
Pada 1995, misalnya, rute Jakarta-Bogor terdapat 120 frekuensi dengan jumlah penumpang 180 ribu. Tahun lalu jumlah penumpang meningkat dua kali lipat, menjadi sekitar 350 ribu orang. Pelonjakan itu tak diimbangi dengan jumlah rangkaian gerbong yang memadai. Frekuensinya pun hanya ditambah tak sampai 20 persen, atau dalam sehari hanya melintas 170 kali. Pada jam-jam kantor, kondisi penumpang kereta api mirip ikan sardencis. Penuh sesak, bernapas pun susah.
Itulah alasan terkuat yang melatari pemandangan tak sedap itu: penumpang berebut tempat, berjejal, dan akhirnya mulai terbiasa berdiri di sambungan kereta dan atap gerbong. Pemerintah belum bisa berbuat banyak untuk mengatasi keinginan bersama yang telah lama terpendam, yakni menciptakan sarana transportasi yang cepat, aman, nyaman, dan murah.
Dari hampir dua dasawarsa dioperasikannya KRL dan KRD, hingga kini Perumka tak pernah untung. Menurut Direktur Utama Perumka, Edi Haryoto, biaya pelayanan dan operasional KA Jabotabek jauh lebih besar daripada pendapatannya. Tahun lalu, Perumka mengantongi pendapatan kotor Rp 49 miliar, tapi pengeluarannya mencapai Rp 70 miliar alias merugi sekitar Rp 20 miliar.
Dengan dana yang pas-pasan itu, Edi Haryoto mengaku tak sanggup merawat kereta agar senantiasa tampil menawan. Apalagi membeli yang baru. Katanya, satu set kereta yang terdiri dari empat gerbong harganya Rp 35 miliar. "Olala, yang ada kok jendelanya malah ditimpuki. Satu bilah itu harganya Rp 1 juta," katanya.
Swasta pernah berniat menghapus cerita kelabu soal kereta api dengan menyediakan transportasi publik yang modern. Salah satunya adalah Fadel Muhammad. Tapi, setelah berhitung ulang, bos Grup Bukaka itu memilih mundur. "Dengan tarif yang diberlakukan pemerintah saat ini, perusahaan tak mungkin untung," katanya.
Persoalan kereta api akhirnya harus dipikul kembali oleh pemerintah. Bila mau untung dan memiliki kereta api seelok yang dimiliki Singapura, misalnya, tarif harus dikatrol dan itu yang tak mungkin. Di Negeri Singa itu, karcis termurah S$ 0,7 atau Rp 3.500 dan tertinggi S$ 1,6 atau Rp 8.000 (kurs Rp 5.000). Badingkan dengan tarif Jakarta-Bogor yang Rp 1.000 (reguler) dan Rp 4.000 (premium).
Duit cekak itu pula yang menyebabkan Perumka menganut prinsip mengencangkan ikat pinggang, pun jauh sebelum masa krisis dimulai. Ini bisa disimak dari bolongnya jalur perlintasan yang membelah jalan raya, yang dengan kata lain, tak semuanya dilengkapi palang pintu otomatis dan diawasi petugas jaga.
Lengkapnya, dari 241 perlintasan KRL Jakarta-Bogor, misalnya, terdapat 72 perlintasan resmi yang tak dijaga dan 82 yang liar alias tak terdaftar dalam "peta" perlintasan Perumka. Menurut catatan Perumka tahun lalu, 143 orang meninggal akibat kecelakaan antara kendaraan dan KA Jabotabek. Atau setiap tiga hari sekali, satu nyawa melayang di perlintasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini