Belanda datang tak hanya membawa malapetaka, tapi juga kereta. Berawal pada1863, lewat perusahaan swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maattschappij (NISM), dibangun dua jalur rel kereta api di kawasan Jawa Tengah dan di Jawa bagian barat dibangun jalur Buitenzorg (Bogor) ke Batavia (Jakarta). Lima tahun kemudian kereta api di jalur itu mulai diuji coba. Baru pada 1873, kereta api siap beroperasi, setelah pembangunan rel di Jawa bagian barat rampung.
Sebelum beroperasi sempat terjadi persaingan antara pemerintah Hindia Belanda dan pihak swasta, tentang siapa yang layak mengelola transportasi massa itu. Tapi, pihak swasta Belanda kalah, karena lobby-nya tak begitu kuat di Kerajaan Belanda. Nah, sejak 1875, oleh badan usaha milik negara Belanda, Staats Spoorwegen (SS) diserahkan kepada pengelolaan kereta api yang beroperasi di Pulau Jawa. Jalur baru dibangun terus oleh SS, antara lain dari Batavia ke Tanjungpriok dan Bekasi.
Di dalam Kota Jakarta sudah mengenal kereta trem listrik sejak 1925. Transportasi massal itu melintas dari Kota, Tanahabang, sampai Jatinegara. Di samping itu, ada kereta trem yang bukan listrik yang menyusuri pinggiran kota dari Weltevreden (Lapangan Banteng/Gambir)-Kemayoran-sampai Tanjungpriok, dan jalur Weltevreden-Manggarai sampai Bogor. Sayangnya, pada 1975 kereta trem listik di dalam kota dihapuskan pemerintah daerah Jakarta, karena bus kota dianggap lebih menguntungkan.
Tapi, kereta api listrik di jalur Kota-Kemayoran-Senen-Jatinegara dan jalur Kota-Tanjungpriok-Kemayoran tetap dipertahankan, walaupun keadaannya megap-megap, karena hanya tersedia satu atau dua lokomotif saja. Bahkan jalur Bogor-Bekasi dan Tangerang-Jakarta tak beroperasi lagi. Suasana itu kontras dengan keadaan pada 1939, saat 73 lokomotif dan gerbong-gerbongnya wira-wiri di Jakarta dan sekitarnya.
Pada akhir 1970-an, seiring dengan tumbuhnya kota satelit di pinggiran Jakarta, Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) mengoperasikan kembali kereta dalam kota dan komutasi di Jabotabek. Pada 1990-an ketika kebutuhan akan kendaraan massal semakin meningkat dan status PJKA diubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), kereta api listrik (KRL) dan kereta api diesel (KRD) semakin diperlukan. Jadwal semakin padat, frekuensi perjalanan kini sudah mencapai 170 kali setiap hari dan mengangkut 350 ribu orang tiap hari, mulai pukul 04.00 sampai 21.20. Rangkaian juga semakin panjang mencapai 12 gerbong.
Tak heran jarak antar-kereta api rata-rata hanya sekitar enam menit. Malah di jalur Manggarai-Gambir hanya dua menit sekali melintas kereta api. Karena itulah, untuk menghindari kemacetan di dalam kota, pada 1992 dibangun sejumlah jalan layang setinggi tujuh meter. Bersamaan dengan itu juga dibangun sejumlah stasiun dengan warna-warna mencolok mata dan mengesankan stasiun yang modern berwarna-warni. Setiap stasiun dilengkapi pertokoan dan WC yang bersih.
Pada 1995 digagas pembangunan jalur kereta api triple decker yang menghubungkan Fatmawati di selatan Jakarta sampai Kota. Sayangnya, harapan warga Jakarta untuk menikmati kereta bawah dan atas tanah seperti ciri kota modern, Kota New York, Singapura, Tokyo, Paris, atau Vancouver, sirna. Ini bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto. Karena gagasan itu datang dari Keluarga Cendana yang tendernya tidak transparan. Rencana membangun stasiun terpadu Manggarai juga gagal setelah perekonomian Indonesia dihantam krisis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini