Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haji Pelor masih terluka. Bukan tertembak peluru, tapi oleh Banjir Kanal Timur. Gara-gara proyek pengendalian banjir di Jakarta ini, ia mesti bolak-balik dimintai keterangan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. Pria berusia 70-an tahun ini diperiksa dalam kasus manipulasi tanah fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos/fasum) milik PT Mas Naga di Pondok Kopi, Jakarta Timur, yang terkena lintasan BKT. Akibat manipulasi itu, negara dirugikan Rp 2,4 miliar.
Uang sebesar itu sesungguhnya tak seberapa dibandingkan nilai proyek Banjir Kanal Timur yang mencapai Rp 4,9 triliun. Dari jumlah itu, Rp 2,4 triliun dipakai untuk membebaskan lahan seluas 275 hektare yang dibutuhkan BKT. Namun, dari tanah yang mengular dari Cipinang Besar Selatan di Ja-karta Timur hingga Marunda di Jakarta Utara itu meruapkan manipulasi dan korupsi yang tidak bisa dibilang kecil. Salah satunya terjadi pada tanah ”milik” Haji Pelor.
Kasus Haji Pelor bermula ketika pada 2005 Haji Malik Hasbullah mengajaknya mengurus ganti rugi tanah milik Haji Pelor di Pondok Kopi yang terkena proyek. Haji Pelor mengatakan ia tidak tahu mengapa manut saja saat diajak Haji Malik. Padahal, ketika itu ia sudah tidak tahu lagi lokasi tanahnya di Pondok Kopi. Maklumlah, sejak 1975, daerah itu sudah beralih menjadi wilayah Jakarta Timur—sebelumnya masuk Bekasi. ”Seingat saya, tanah saya di sana sudah habis,” ujar Haji Pelor kepada Tempo ketika ditemui di rumahnya di Bintara, Bekasi.
Ia memang pernah punya tanah di Pondok Kopi yang bertetangga dengan Bintara. Tapi, semua tanahnya sudah habis dijual ketika Pondok Kopi masih menjadi bagian dari Desa Bhayangkari, Bekasi, Jawa Barat. Tanah itu dijual Haji Pelor kepada Haji Muniin pada awal 1970-an. Haji Muniin lalu menukar guling tanah itu dengan Haji Harun pada 1974. Dalam Buku C Induk Pondok Kopi hasil verifikasi 1976, tanah Haji Pelor di Pondok Kopi memang sudah tak ada lagi
Buku C Induk—dulu dikenal sebagai Leter C—adalah bundel dokumen para pemilik tanah yang masih berstatus tanah girik. Satu lembar untuk setiap pemilik tanah. Di sana riwayat tanah itu tercatat lengkap. Misalnya, tanah itu dijual kepada siapa, berapa ukurannya, dicatatkan di notaris mana, pada tanggal berapa, dan berapa luas tanah yang dijual dan berapa yang masih tersisa. Pencatatan yang sama juga dilakukan untuk tanah warisan.
Namun, ada kelemahan pada penerbitan Buku C di tahun 1970-an. Luas tanah di buku ini biasanya kurang akurat. Oleh karena itu, luasan tanah yang tertera di Buku C dan girik bisa kurang atau lebih luas dari kenyataannya. ”Waktu itu Haji Malik memberi tahu tanah saya masih tersisa,” ujar Haji Pelor. Kompanyonnya itu menjanjikan bahwa sisa tanah ini bisa diurus untuk mendapat penggantian dari proyek BKT.
Berangkatlah Haji Pelor ke Kelurahan Pulo Gebang untuk meminta salinan Leter C dari zaman Bhayangkari yang disimpan di sana. ”Haji Pelor datang didampingi Haji Malik,” ujar Lurah Pulo Gebang ketika itu, Hasbullah.
Hasbullah mengaku, ia memenuhi permintaan Haji Pelor karena datang membawa surat pengantar dari Lurah Pondok Kopi ketika itu, Rutjita Gunawan. ”Karena membawa pengantar, saya tidak menduga ada masalah. Kan yang tahu ada penyakit atau tidak adalah kelurahan setempat,” ujarnya.
Salinan Leter C Bhayangkari itu lalu dibawa ke Pondok Kopi, dan ternyata klop dengan peta BKT yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional. Maka, inventarisasi tanah untuk ganti rugi pun dilakukan. Haji Murtholib, staf kelurahan Pondok Kopi, membuatkan surat Keterangan Tanah (lebih dikenal sebagai Riwayat Tanah) dan keterangan bahwa tanah itu tidak dalam sengketa.
Menurut Murtholib, tanah Haji Pelor yang diganti rugi oleh proyek BKT adalah tanah yang berhimpit-an dengan bekas fasos/fasum Mas Naga, yang terkena jalur BKT. Luasnya sekitar 1000 meter persegi. Pengukuran BPN, ketika kasus ini sudah mulai masuk Kejaksaan, memberikan hasil yang sama.
Di sinilah mulai terlihat adanya masalah dalam kasus pembebasan tanah milik Haji Pelor. Penelusuran Tempo menunjukkan bahwa tanah bekas milik Haji Pelor ternyata bukan seperti yang ditunjukkan Murtholib. Jaraknya sekitar 50 meter dan luasnya bukan seribu meter persegi. ”Paling hanya 200 meteran,” kata Haji Pelor.
Kasus ini terungkap setelah Kejaksaan menerima bocoran soal ini. Setelah tim Kejaksaan Jakarta Timur turun ke lapangan, mereka menemukan bahwa tanah itu tidak berimpit dengan tanah bekas fasos/fasum Mas Naga, tapi justru menjadi bagian dari fasos/fasum itu. Selain itu, Kejaksaan juga mencurigai Letter C yang dijadikan dasar kepemilikan tanah Haji Pelor. ”Kemungkinan direkayasa,” kata sumber Tempo di Kejaksaan.
Murtholib yang kini berkantor di kantor Walikota Jakarta Timur tentu membantahnya. ”Leter C dari Bhayangkari tidak ada masalah. Kami membuatnya berdasarkan peta yang diberikan BPN,” ujar Murtholib. Hasbullah idem ditto. ”Biar saja Kejaksaan ngomong. Sudah seperti itu dari sananya,” katanya.
Menurut Kejaksaan, negara dirugikan karena berdasarkan aturan pemerintah, tanah berstatus fasos/fasum tidak perlu diganti rugi. Apalagi, luas yang berhasil ”dibebaskan” oleh Haji Malik ternyata sampai 2.200 meter persegi, bukan cuma seribu meter seperti yang ”dimiliki” Haji Pelor.
Haji Malik kemudian ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus penjualan tanah bekas fasos/fasum milik Mas Naga tersebut. Namun, pada akhir 2006, Haji Malik meninggal. Haji Pelorlah yang kini ketiban sampur. Dengan tertatih-tatih, beberapa kali dia harus memenuhi panggilan Kejaksaan.
Posisi Haji Pelor memang sulit. Tanahnyalah yang menjadi modus utama kasus ini. Dia juga menerima sebagian uang ganti rugi, meski jumlahnya tak sebe-rapa, hanya Rp 150 juta dari Rp 2,4 miliar. Padahal, jika tanahnya memang seribu meter persegi seperti disebutkan Murtholib, mestinya dia menerima paling kurang separuhnya.
Menurut Haji Pelor, Haji Malik kemudian meminta uang itu dan membagikannya ke sejumlah orang. Murtholib, misalnya, mengaku menerima Rp 50 juta. Namun, ujarnya, uang dari Haji Malik ini bukan uang hasil ganti rugi tanah Haji Pelor. ”Haji Malik membayar utangnya,” ujarnya. Setelah kasus ini diperiksa di kepolisian dan kejaksaan, Murtholib kemudian mengembalikannya kepada Haji Malik.
Hal yang sama dilakukan Haji Pelor. ”La itu memang bukan duit saya. Saya tidak punya tanah di situ. Gara-gara itu, saya malah dapat kesusahan,” kata pria yang rambutnya sudah memutih semua itu.
Sumber Tempo yang tahu persis kasus ini membisikkan cerita yang berbeda sama sekali dengan kisah Haji Pelor. Menurut sumber itu, Haji Pelorlah dan sejumlah orang yang mendatangi Haji Malik untuk bersama-sama mengakali tanah milik PT Mas Naga. ”Mereka memulainya dengan membuat girik rekayasa,” kata sumber tadi. Dari situlah kemudian mereka memproses pencairan uang ganti rugi sebesar Rp 2,4 miliar yang anehnya lancar-lancar saja.
Inilah yang kini tengah didalami Kejaksaan. Sehingga, kendati Haji Malik sudah meninggal, kasusnya diteruskan. Februari lalu, Hasbullah diperiksa.
Manipulasi juga bisa dilakukan dengan cara yang tidak terlalu rumit. Mereka mengakalinya dengan memanipulasi bangunan. Misalnya, kualitas bangunan dinaikkan (rumah berdinding gedek dibilang tembok), luasnya dibengkakkan, atau bangunan satu tingkat dilaporkan dua tingkat, dan masih banyak akal bulus yang lain. Menurut sumber Tempo di Forum BKT—kelompok yang beranggotakan warga yang rumahnya tergusur BKT—modus ini membuat ganti-rugi melambung hingga ratusan persen.
Pada modus ini, warga dan anggota Panitia Pengadaan Tanah (P2T)—yang tugasnya antara lain menyatakan sah tidaknya kepemilikan tanah, membuat verifikasi, dan menetapkan penerima ganti ruginya. Sejumlah warga yang nakal biasanya menjanjikan komisi kepada anggota P2T jika uang ganti ruginya sudah turun. ”Besarnya Rp 2-5 juta per bidang tanah,” kata sumber tadi.
Tempo menemukan kasus di Kelurahan Pulo Gebang, Jakarta Timur. Cerita tentang penggelembungan bangunan di atas tanah milik Haji Achmad Kosasih ini sudah menyebar sampai ke mana-mana. Nilai ganti rugi bangunan Haji Achmad memang mengejutkan. Pada dokumen inventarisasi yang diperoleh Tempo, ada dua kelompok bangunan yang dibayarkan, yakni Rp 3,376 miliar dan Rp 665 juta.
Kedua bangunan tersebut berada di peta 13 dan 14 pada Peta Bidang Tanah BKT. Haji Achmad membenarkan bahwa ia sudah mendapatkan ganti rugi bangunan BKT. Tapi, dia mengaku duit itu cuma mampir sebentar di kantongnya. Sayang, dia tak mau mengungkapkan siapa saja penerimanya.
Achmad memastikan bahwa memang ada bangunan di atas tanahnya. Tapi, ia tak ingat berapa luas persisnya. Hasbullah, pejabat lurah Pulo Gebang saat inventarisasi, juga menyatakan ada bangunan bertingkat yang dipakai untuk tempat kos. ”Saya bisa tunjukkan lokasinya,” kata Hasbullah, yang ditemui Tempo di kantornya sekarang, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Tempo tentu saja tidak menemukan bangunan itu di lahan Haji Achmad. Bekas bangunannya pun tidak. Tanah itu sudah digali untuk Banjir Kanal Timur. Yang masih ajeg di atas tanah Haji Achmad ada pada peta 13, yakni tempat kos yang sudah terpapas sebagian. Tapi, menurut sumber Tempo yang pernah kos di sana sebelum penggalian pada pertengahan 2005, ia tidak pernah melihat ada bangunan bertingkat di trase BKT. ”Yang tingkat di bagian depan yang justru tidak kena BKT. Bangunan yang terkena BKT hanya satu lantai,” ujarnya.
Foto citra satelit Google Earth menunjukkan sebagian besar tanah Haji Achmad kosong tanpa bangunan (lihat infografis). Pengelola Google Earth tidak mencantumkan tanggal pembuatan foto satelit tersebut, namun mengatakan kebanyakan gambarnya buatan 1-3 tahun ke belakang. Panitia Pembebasan Tanah Jakarta Timur tak bersedia mengonfirmasi kebenaran dokumen tersebut. Walikota Jakarta Timur Koesnan Abdul Halim juga enggan berkomentar.
Manipulasi jenis ini memang sukar dibuktikan. Selain kerja sama terjalin rapi antara pelaku dan anggota P2T, tanah dan bangunan yang sudah dibayarkan ganti ruginya biasanya langsung digali. Bukti-bukti pun melayang bersama ambruknya bangunan tersebut.
Seharusnya tidak mudah memanipulasi tanah atau bangunan. Ada pengaman yang sudah dipasang negara. Pembebasan lahan itu melibatkan puluhan instansi, mulai ketua RT hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam kasus pembebasan tanah untuk proyek Banjir Kanal Timur, prosesnya dijadikan satu melalui Panitia Pengadaan Tanah—sebelumnya ditangani Tim 9. Sesuai Peraturan Presiden No 36/2005 tentang pembebasan tanah untuk kepentingan umum, Panitia inilah yang menentukan sah atau tidaknya kepemilikan tanah.
Prosesnya pun bisa sangat panjang. Kelengkapan untuk menyaring praktek manipulasi tanah dimulai dari ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Ini terkait dengan keharusan menyertakan surat keterangan tidak ada sengketa pada setiap penjualan tanah. Aturan mainnya: surat ini dibuat oleh yang bersangkutan, diketahui RT, RW, dan Lurah. Kelurahan juga harus membuat surat Keterangan Tanah dengan mengacu pada Buku C Induk untuk yang berstatus girik.
Mekanisme pengamanan agak lain jika tanah itu sudah berupa sertifikat. Dokumen sertifikat diperiksakan P2T ke Badan Pertanahan Nasional. Agar verifikasi lebih mudah, pada proyek pembebasan lahan untuk kepentingan umum, badan ini menjadi bagian dari P2T. Menurut sumber Tempo, jika seluruh prosedur itu ditaati, sebenarnya 99 persen manipulasi seperti ini bisa dicegah. ”Bahkan kalaupun lurah nakalnya 100 kali,” katanya.
Tapi, tak berarti jaring pengaman itu tak bisa diterabas. Tempo menemukan, tersedia banyak jurus untuk mengakali atau memanipulasi kepemilikan tanah untuk mengeruk duit miliaran rupiah. Syaratnya mudah: manipulasi dan korupsi itu harus digarap rame-rame karena memang nyaris mustahil melakukannya sendirian. Dari berbagai kasus yang ditemukan Tempo dalam pembebasan tanah untuk proyek banjir Kanal Timur terlihat betapa rapuhnya jaring pengaman jika manipulasi dilakukan bersama-sama.
Kasus Haji Pelor adalah salah satunya. Yang lain, misalnya, diduga terjadi di Ujung Menteng, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Korbannya ahli waris Dahlan Bin Mu. Tiba-tiba, mereka harus hengkang karena tanah miliknya sudah dijual kepada proyek BKT senilai Rp 1,7 miliar. ”Saya sunat di sana, kencing di sana, tidak pernah menjual, namun tiba-tiba tanah kami hilang,” ujar Mahfud, salah seorang ahli waris Dahlan. ”Ini tak akan terjadi kalau kami, para ahli warisnya, diajak bicara oleh kelurahan,” katanya (Baca: Sengkarut Sepanjang Kanal).
Badan Pertanahan Nasional pun juga tak suci dari sertifikat palsu, seperti yang diduga terjadi pada kasus Muhamad bin H. Asih. Gara-gara sertifikat ini keluarga Muhamad Bin Asih tiba-tiba kehilangan tanah miliknya, yang luasnya 3.000 meter persegi. Dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Rp 1,4 juta per meter persegi, keluarga itu kehilangan duit pengganti sekitar Rp 4,2 miliar.
Padahal, ia tidak pernah menjual tanah warisan bapaknya, Asih Bin Labut. Ia yang memegang girik juga tidak pernah membuat sertifikatnya. Tiba-tiba saja uang itu raib. Hebatnya, Muhamad tak tahu siapa yang memiliki sertifikat itu. Diduga ada orang yang membuat sertifikat palsu lalu menyabet uang ganti ruginya.
Walikota Jakarta Timur, Koesnan memilih menyerahkan berbagai sengketa tanah ini ke pengadilan. ”Biar pengadilan yang memverifikasi siapa pemilik tanah yang sah,” katanya. Ia sudah menetapkan kebijakan, Panitian Pengadaan Tanah akan mengajukan permohonan pembayaran ke Provinsi hanya setelah yakin tidak salah orang. ”Yang dibayar hanya jika kebenarannya diyakini lebih dari 80 persen,” ujarnya.
Berbagai kasus di atas hanyalah contoh betapa proses pembebasan tanah untuk proyek Banjir Kanal Timur tak bisa steril dari manipulasi dan korupsi. Kasus Mas Naga dan kasus manipulasi bangunan di Pulo Gebang hanya sebagian kecil dari banyak kasus lain yang terjadi di BKT. Bisa dibilang hampir tidak ada dana pembebasan lahan di proyek Banjir Kanal Timur yang tak dikorupsi.
Memang tak gampang menghitung seberapa besar duit pembebasan lahan yang diselewengkan. Sejumlah sumber Tempo mengatakan bahwa proyek Banjir Kanal Timur tak ubahnya ember yang bocor kecil-kecil tapi merata di sekujur tubuh. ”Dari seluruh pembebasan tanah, paling yang bersih dari korupsi hanya 10 persen,” ujar sumber Tempo di Forum BKT.
Juga tak gampang membongkar berbagai kasus ini. Sebagian besar karena banyak pejabat pemerintah yang mengurus masalah ini juga terlibat. Sebagian kecil yang lain mungkin akibat keteledoran. Meski begitu, tetap saja aroma korupsi sangat kuat. Walikota Koesnan pun acap mempelesetkan BKT menjadi Bakal Kena Tipikor. Tapi, mungkin yang lebih tepat adalah Bancakan Kanal Timur.
Sejarah Panjang Kanal Timur
Tahun 1918 Herman van Breen dari kantor dinas pengairan pemerintah kolonial Belanda memimpin tim penyusun rencana pencegahan banjir Jakarta (saat itu bernama Batavia).
Tahun 1922 Rencana Van Breen mulai diterapkan dengan membangun Banjir Kanal Barat. Kanal ini berupa saluran kolektor yang mengitari sisi barat Jakarta. Fungsinya membuang limpahan air ke Laut Jawa melalui Muara Angke.
Tahun 1923 Proyek Banjir Kanal Barat selesai. Van Breen kemudian merancang saluran Banjir Kanal Timur yang berhulu di Kali Cipinang dan bermuara di Laut Jawa. Tapi rencana ini tak sempat direalisasikan.
Tahun 1973 Pemerintah Indonesia dengan bantuan konsultan dari Belanda, Nedeco, membuat Rencana Induk Pengendalian Banjir Jakarta, termasuk pembuatan Banjir Kanal Timur.
Tahun 1979-1980 Gabungan konsultan Prancis mensurvei empat lokasi yang akan dijadikan bendungan penahan air atau holding basins untuk Sungai Cisadane, Pesanggrahan, Krukut, dan Ciliwung.
Tahun 1990-1996 JICA (Japan International Cooperation Agency) membantu studi detail dan penghematan biaya pelaksanaan pembangunan Banjir Kanal Timur.
22 Juni 2002 Pada hari ulang tahun ke- 475 Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengumumkan dimulainya kembali gagasan pembangunan Banjir Kanal Timur. Kanal ini akan melewati 13 kelurahan dan menghabiskan ongkos Rp 4 triliun.
April 2007 Pembebasan tanah baru 61 persen dari total lahan yang harus dibebaskan seluas 274,2 hektare.
Bersatu Kita Kaya
Korupsi uang proyek Banjir Kanal Timur (BKT) gampang dilakukan, tapi harus dilakukan beramai-ramai, antara lain dengan melibatkan pejabat Tim 9 (kini Panitia Pengadaan Tanah). Inilah hasil telaah Tempo:
Pembuatan Peta Ricikan
Berdasarkan trase dari Dinas Tata Kota, Panitia Pengadaan Tanah (P2T) melakukan inventarisasi tanah, bangunan, dan tanaman untuk membuat peta ricikan.
Berdasarkan peta inilah, besaran uang ganti rugi ditetapkan.Inventarisasi tanah dilakukan petugas Badan Pertanahan Nasional, bangunan oleh petugas tata bangunan, dan tanaman dilakukan petugas Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan, didampingi petugas kelurahan.
Ditahap inilah praktek manipulasi/korupsi di mulai:
- Manipulasi Tanah
Lurah dan pejabat P2T di tingkat kota madya memiliki dokumen untuk memverifikasi dokumen tanah palsu. Misalnya, jika dokumen itu berupa girik, P2T memiliki Buku C Petikan atau Buku C Induk untuk memeriksa legalitas girik tersebut.
Modus:
- Klaim atas tanah orang lain atau tanah fasilitas umum/fasilitas sosial, tanah negara, tanah wakaf dengan dokumen palsu
- Membengkakkan luas tanah
- Menaikkan nilai jual obyek pajak yang menjadi dasar ganti rugi tanah
Pelaku:Warga, petugas inventarisasi, RT, RW, lurah, camat, petugas pajak, dan anggota tetap P2T.
- Bangunan/Tanaman
Ini manipulasi yang paling aman dan gampang dilakukan karena bukti manipulasi akan dihilangkan saat penggalian. P2T baru mendokumentasikan foto bangunan dan tanaman yang akan diganti pada 2005.
Modus:
- Klaim palsu terhadap bangunan/tanaman/benda lainnya
- Menambah luas bangunan/tanaman
- Menaikkan kualifikasi bangunan
Pelaku:Warga, petugas inventarisasi, lurah, camat, anggota tetap P2T.
Siapa Bermain Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan oleh Panitia Pembebasan Tanah sesuai dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang merupakan hasil perubahan peraturan nomor 36 tahun 2005. Tugas panitia ini antara lain mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang ada kaitannya dengan tanah yang akan dibebaskan; memeriksa status hukumnya; dan menetapkan besarnya ganti rugi. Berikut ini susunan panitia ini: Ketua: Wali Kota
Wakil Ketua:
- Asisten Tata Praja
- Kepala Kantor Pertanahan
Sekretaris:
- Kepala Suku Dinas Pertanahan dan Pemetaan
- Kepala Bagian Administrasi Wilayah
Anggota:
- Kepala Suku Dinas Tata Kota
- Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
- Kepala Bagian Hukum
- Lurah yang bersangkutan
- Camat yang bersangkutan
Anggota Tidak Tetap: Menurut kebutuhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo