Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Sengkarut di Sepanjang Kanal

Pembebasan lahan Banjir Kanal Timur menuai banyak masalah. Ada salah bayar, ada juga yang tak kunjung terbayar.

2 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lintasan Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) menerabas ratusan lahan. Pemilik tanah was-was. Sebagian dari mereka tanahnya sudah dikeruk, tapi duit pengganti belum atau malah tidak bakal mereka terima. Sebagai Ketua Panitia Pembebasan Tanah, Walikota Jakarta Timur dan Jakarta Utara menuding para makelar tanah sebagai penyebab silang sengkarut di BKT. Girik atau sertifikat aspal pun muda dibuat. Banjir sengketa pun menebar di atas lahan 275 hektare di lintasan Banjir Kanal Timur. Ini hanya sekelumit kisah.

Dahlan Bin Muhtar

Wahyudin urung mendapat warisan. Padahal bapaknya, Dahlan bin Muhtar mewariskan tanah 3.800 meter persegi di kelurahan Ujung Menteng, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Ganti rugi tanah yang diterabas proyek Banjir Kanal Timur itu harusnya dibagi untuk Wahyudin dan saudara-saudaranya dari empat istri Dahlan.

Bukan uang yang didapat, malah kabar yang mengejutkan. Asisten Tata Praja yang menjadi Wakil Ketua Panitia Pembebasan Tanah Kotamadya Jakarta Timur telah membayar tanah warisan itu Rp 1,7 miliar! Pembayaran terjadi dua tahun lalu, dan uangnya masuk ke kantong Widodo Budihardjo. Lo?

Wahyudin lalu menunjukkan girik asli tanah selu-as 4.200 meter persegi di RT 005 RW 02 itu. Seluruh ahli waris mengaku tidak pernah menjualnya. Udin mencoba menelisik.

Ternyata, Widodo memegang dua akta jual beli tanah itu pada 1986, tiga tahun setelah Dahlan wafat. Pertama, 6 September 1986 dan transaksi berikutnya dua hari kemudian. Pada transaksi pertama, tanah dijual keluarga Mariyah binti H. Umat kepada empat pembeli, masing-masing Saodah binti Togon, Fatimah binti Pendil, Mahatih binti Kirut dan Tameh binti Nadjeh. Keempatnya adalah istri Dahlan.

Pada transaksi kedua, empat perempuan itu menjual tanah tersebut ke Widodo. ”Bagaimana mungkin ibu saya membeli tanah milik suaminya sendiri,” kata Wahyudin. Ibunya, Mahatih—satu-satunya istri Dahlan yang masih hidup—tegas mengatakan tidak pernah membeli atau menjual tanah suaminya. ”Ibu saya juga bingung, kok ada cap jempolnya dalam transaksi itu,” kata pria 32 tahun ini.

Dia lalu mengirimkan seluruh bukti, dokumen, dan keterangan ahli waris ke Walikota Jakarta Timur. H. Burhanuddin, Asisten Tata Praja Kotamadya Jakarta Timur menjawab lewat surat. Isinya, girik milik Dahlan tidak cocok dengan peta ricikan dan inventarisasi tanah yang terkena Banjir Kanal Timur. Akibatnya, ganti rugi tetap menjadi hak Widodo. ”Itu sudah sesuai prosedur,” kata Walikota Jakarta Timur, Koesnan Abdul Halim. Ahli waris yang tidak puas diminta membawa kasus ini ke pengadilan.

Sementara Widodo mengaku jual beli itu sudah sah. Alasannya, transaksi dilakukan di depan Lurah Ujung Menteng, Camat Cakung, dan sejumlah saksi. ”Tidak ada yang saya langgar,” katanya. Transaksi terjadi melalui perantara A Mastur, salah satu menantu Dahlan. Mastur sendiri membantah dirinya mengeruk keuntungan dari proses jual beli itu. ”Saya hanya membantu orang tua saya menjual tanah. Tidak seperser pun, saya dapat,” katanya.

Muhamad bin H. Asih

Panas begitu terik akhir tahun lalu. Siang itu, Muhamad bin Asih mengajak saudaranya mengukur ulang tanah bapaknya, Asih Bin Labut sambil memancang patok batas tanah. Kerepotan itu mereka lakukan lantaran mendapat kabar, lokasi tanah warisan di RT 004/01 Kelurahan Duren Sawit, Jakarta Timur itu bakal diterabas proyek Banjir Kanal Timur. Girik yang mereka pegang menyebutkan persil 576 itu luasnya 3.000 meter persegi.

Belum lagi pengukuran usai, Ali M. Siregar, Wakil Lurah Duren Sawit bersama belasan polisi pamong praja menghadang dan mencabuti patok yang telah terpancang. ”Kami memprotes patok-patok itu dicabut,” kata Muhamad, lelaki berusia 65 tahun itu.

Belum habis kejengkelan Muhamad, esok harinya tanah warisan itu malah dikeruk. Dia ditemani Haji Diding Muhadjar—orang yang mendapat kuasa dari Muhamad mengurus lahannya—mendatangi Lurah Duren Sawit Yogi Metro Peni meminta kejelasan.

Yogi angkat tangan. Dia menyerahkan persoalan ini pada tim proyek Banjir Kanal Timur. Menurutnya ada banyak kasus sejenis di mana para pemilik girik tidak terdaftar dalam inventarisasi tanah yang terpapas proyek. Akibatnya mereka tak berhak menerima ganti rugi. ”Biasanya karena sengketa antarahli waris,” kata Yogi.

Diding pun protes. ”Tak ada perselisihan antarahli waris!” dia memastikan. Diding yakin ada orang yang memalsukan sertifikat lalu menyabet uang ganti ruginya. ”Sampai kini saya tidak tahu siapa yang mengambil duit itu,” katanya. Kalau dihitung dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), harga tanah di sana Rp 1,4 juta per meter persegi. ”Pasti yang mengambil uang itu kaya mendadak,” katanya membayangkan duit Rp 4,2 miliar melayang.

Walikota Jakarta Timur, Koesnan Abdul Halim santai saja menghadapi masalah itu. Dia memilih memasukkan kasus itu ke pengadilan.

Haji Idi Taing

Pertemuan itu berlangsung singkat, Desember dua tahun lalu. Hadir di sana Walikota Jakarta Timur, wakil Perum Perumnas Cabang III, dan Haji Idi Taing. Mereka membahas proyek Banjir Kanal Timur yang menerobos tanah sengketa antara Perumnas dan Haji Idi Taing. Tanah 5.380 meter persegi itu berada di RT 008/RW 03, Kelurahan Pondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.

Gelar berkas dilaksanakan. Kedua pihak yang bersengketa menunjukkan surat kepemilikan tanah. Lelaki 62 tahun itu menunjukkan girik. Yang paling sakti, dia mengantongi keputusan Mahkamah Agung yang memutus dirinya sebagai pemilik sah. Dia hakul yakin akan segera menerima duit pengganti. Ternyata tidak. Pertemuan ditutup tanpa keputusan.

Kasus ini meletik pada 1986. Perumnas berbekal surat sertifikat Hak Penguasaan Lahan (HPL) mengklaim sebagai pemilik tanah itu. Sementara Idi Taing punya surat sah pembelian tanah yang sama dari Haji Kohir pada awal 1980-an.

Kasus ini masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta, sembilan tahun lalu. Setahun berselang, perkara naik ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Kedua pengadilan itu memutuskan Perum Perumnas merupakan pemilik sah. Tetapi Mahkamah Agung memenangkan Idi Taing.

Sementara para hakim mengadili perkara ini, lahan sengketa itu sudah berubah wujud. Kini ratusan rumah liar memenuhinya. Bahkan para calo tanah kian rajin berkunjung ke sana. ”Banyak yang sudah mencoba menjual tanah saya dengan girik palsu,” kata bapak lima anak ini.

Walikota Jakarta Timur, Koesnan Abdul Halim memastikan tanah sengketa itu belum dibayar ganti ruginya. Dia masih menunggu keputusan pengadilan yang tak kunjung turun. Uang senilai Rp 7,5 miliar pun terkatung-katung tak bertuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus