Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ustad Thoriquddin alias Abu Rusdan tidak berada di Yogyakarta saat terjadi peristiwa yang menggegerkan Yogyakarta pada Selasa dua pekan lalu: lima tersangka teroris dibekuk polisi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Dia mengaku tidak mengenal mereka. Mereka pun tidak menyebut namanya. Tak ada sangkut paut antara dia dan mereka. Dan yang dijunjung para tersangka sebagai pemimpin adalah Abu Dujana, petinggi Al-Jemaah al-Islamiyah (JI), organisasi yang oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa dicap terlibat dalam jaringan terorisme dunia.
Nama Abu Dujana boleh jadi membuat sebagian orang terkenang kembali pada sosok Abu Rusdan, 47 tahun. Beberapa sumber majalah ini menyebutkan, Abu Dujana adalah Sekretaris Dewan Pimpinan (markaziah) Al-Jemaah. Dia mendampingi Thoriquddin alias Abu Rusdan yang menjabat Pelaksana Tugas Harian Amir (pemimpin) JI untuk membantu Amir JI, Abubakar Ba'asyir.
Lama tercatat dalam daftar hitam polisi, Abu Dujana dituduh terlibat perencanaan serangkaian pengeboman. Dia dituding mengatur pelarian Noor Din M. Top, warga Malaysia yang menjadi buron nomor wahid polisi antiteror.
Latar belakang pengangkatan Abu Rusdan di JI, menurut sumber Tempo, terjadi setelah Ba'asyir menduduki posisi Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Agustus 2000. Kesibukan sang Amir memimpin dua organisasi membuat markaziah merasa perlu mengangkat seorang Pelaksana Tugas Amir. "Abu Rusdan terpilih dalam pemilihan langsung rapat markaziah di Bogor," kata sumber Tempo tentang peristiwa April 2002.
Sumber yang sama menuturkan, Abu Rusdan memimpin setiap rapat markaziah, termasuk di Tawangmangu, Jawa Tengah, pada Oktober 2002. Namanya populer ketika polisi menangkapnya pada April 2003. Dia dituduh menyembunyikan Ali Ghufron alias Mukhlas, pelaku bom Bali I. Dia divonis penjara 3,5 tahun. Hukuman itu dia selesaikan dalam dua tahun.
"JI dan terorisme itu imajinasi belaka," katanya ketika ditemui koresponden Tempo di Solo, Imron Rosyid dan fotografer Budi Purwanto, pada Kamis pekan lalu. Dia menjawab semua pertanyaan dalam satu wawancara sepanjang hampir empat jam. Perbincangan berlangsung di rumahnya yang sejuk di Prambatan Kidul, Kaliwungu, Kudus, Jawa Tengah. Sang ustad selalu mengambil jeda untuk mencari kata-kata yang tepat setiap hendak menjawab. Sesekali tangannya mengelus-elus jenggot hitamnya yang lebat sembari menyimak pertanyaan. Terkadang sahutannya samar-samar seperti ada yang disembunyikan. "Bukan karena melindungi orang lain atau apa, tetapi demi hati saya sendiri. Hak seseorang kan memiliki sesuatu yang dirahasiakan," ujarnya dalam nada yang hangat.
Meski sedang menjalani ibadah puasa sunah, dia memaksa Tempo menikmati suguhan yang sedap. Nasi hangat dengan sambal terong plus rempeyek udang. Sebagai pencuci mulut dihidangkan buah jeruk dingin yang segar. Dia menjelaskan pandangannya tentang jihad, terorisme, dan menjawab konfirmasi majalah ini mengenai hubungannya dengan Al-Jemaah Islamiyah.
Berikut ini petikannya.
Anda kenal orang-orang yang ditangkap polisi di Yogyakarta dua pekan lalu?
Namanya saja pakai alias semua. Jangankan saya, keluarganya pun sulit mencari. Istri mereka mau menemui juga tidak bisa.
Dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press bulan lalu, Anda mengatakan di Indonesia ada kelompok kecil yang melakukan teror bom melawan Barat. Siapa yang dimaksud?
Tidak ada. Mungkin wartawan itu salah menulisnya. Yang ada justru kesadaran sekelompok orang Islam di Indonesia melawan terorisme Barat, khususnya Amerika (Serikat). Kelompok-kelompok yang kini dituduh se-bagai teroris justru kontrateroris.
Apakah kesadaran kelompok itu terorganisir?
Itu alamiah saja. Soal pengorganisasian merupakan tabiat alamiah dari sekelompok atau beberapa kelompok yang memiliki kesadaran yang sama. Sebagai upaya mereka agar bisa melakukan satu perlawanan yang efektif.
Bagaimana komunikasi antara kelompok-kelompok ini?
Kita bicara Indonesia saja. Sebenarnya terorisme sendiri sesuatu yang sampai hari ini tidak bisa didefinisikan. Keterlibatan kelompok Islam-apakah itu yang disebut JI atau apa pun-dengan kegiatan terorisme sebenarnya hanya image saja. Citra ini muncul dari imajinasi Amerika dan agen-agennya di Indonesia. Dan membicarakan hal ini seperti mengobrolkan asap tanpa menyinggung api. Melelahkan sekali.
Kebanyakan pelaku pengeboman pada akhirnya terhubung dengan Pesantren Ngruki. Bagaimana Anda menjelaskannya sebagai "hanya sebuah imajinasi"?
Ya, ndak perlu dijelaskan. Malah bisa keliru bila memaksakan kebetulan itu sebagai sesuatu yang direncanakan. Biarkan saja fakta itu apa adanya tanpa campur tangan provokasi, propaganda, sehingga masyarakat bisa menilai apa adanya.
Bagaimana dengan simpanan bahan peledak kelompok Abu Dujana yang akhir-akhir ini disita?
Siapa Abu Dujana? Semua orang tidak tahu. Dalam seluruh peristiwa pengeboman namanya tidak pernah muncul. Tiba-tiba sekarang muncul dan seolah dia lebih hebat dari siapa pun. Bagaimana aparat bisa tahu, sementara dia masih diburu? Ini kan pembohongan publik. Abu Dujana itu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja sulit, bagaimana dia mampu mengatur sebuah jaringan teroris seperti yang digambarkan aparat?
Mungkin lewat institusi yang tadi Anda sebut sebagai imajinasi?
Karena ini imajinasi, semua pembicaraan juga hanya imajinasi. Kembali lagi, kalau kita berangkatnya dari dua hal tadi, teroris dan Jemaah Islamiyah dalam kasus-kasus terorisme, maka kita tidak akan pernah berbicara mengenai sesuatu yang konkret.
Lalu mengapa Anda dulu ditahan? Apakah tidak pernah ada bukti?
Semua itu propaganda Amerika. Persidangan tidak bisa membuktikan kesalahan saya. Jaksa menuntut saya hanya berdasarkan pengakuan saksi bahwa saya pernah bertemu dengan Ali Ghufron setelah bom Bali. Bom Bali terjadi pada 12 Oktober (2002), saya ketemu dia di Tawangmangu (Jawa Tengah) 24 Oktober. Ketika itu dia belum masuk DPO (Daftar Pencarian Orang alias buron). Dia masuk DPO sekitar November.
Apakah saat bertemu Anda tahu dia yang melakukan pengeboman?
Saya tidak menduga dia terlibat. Dia juga tidak ngomong. Salah satu saksi (di persidangan) menyebutkan waktu pertemuan di Ta-wangmangu, Ghufron bilang: "Bom Bali adalah kita." Ketika pengacara saya bertanya apakah saksi yakin Abu Rusdan mendengar pernyataan itu, saksi tidak bisa menjawab. Tetapi jaksa tetap menuntut bahwa saya me-ngetahui keberadaan Ghufron dan tidak memberitahukannya kepada polisi.
Di Tawangmangu Anda bertemu atau hadir dalam pertemuan?
Saya hadir sebagai orang yang diundang. Di situ kami membicarakan teman-teman anggota pengajian Abdullah Sungkar di Malaysia yang banyak ditahan pemerintah Malaysia.
Apakah saat itu Anda juga diangkat? Sebagai apa?
Tidak ada pengangkatan. Ketentuan secara formal organisasi tidak ada.
Tapi pengangkatan ini diakui para tersangka Bom Bali I.
Kalau bukan di persidangan saya, pengakuan mereka tidak bisa dipakai sebagai acuan hukum.
Ini bukan soal acuan hukum. Kami ingin mengonfirmasikan kesaksian mereka bahwa Anda diangkat se-bagai Pelaksanaan Harian Amir JI?
Itu imajinasi!
Lalu organisasi apa yang melakukan pertemuan itu?
Tidak mengatasnamakan organisasi apa pun. Ketika Abdullah Sungkar di Malaysia, kami sering datang ngaji. Karena sering berte-mu dalam pengajian, timbullah suatu ukhuwah. Kami belum berbicara masalah struktural.
Kalau tidak ada struktur, lalu siapa yang mengundang?
Saya sendiri tidak paham. Setelah Abdullah Sungkar wafat (1999), saya terputus hubungan dengan mereka. Saya hanya mengikuti dari media massa bahwa ada ikhwan-ikhwan yang dulu ngaji bersama kita di Malaysia ternyata ditangkap. Hanya itu. Tiba-tiba saya mendapat undangan. Saya datang tapi belum tahu atas nama apa waktu itu.
Bukankah Abu Dujana yang mengundang?
(Diam agak lama) Saya tidak tahu persisnya. Benar ini, jujur dan benar. Ketika di sana saya tidak melihat dia menjadi semacam panitia pengarah.
Jadi, siapa yang memimpin pertemuan?
Kebiasaan kita kalau bertemu dalam satu majelis, sebelum dimulai kita akan menentukan siapa yang akan memimpin rapat. Dan itu belum tentu dalam satu majelis satu orang (yang memimpin). Bisa berganti-ganti.
Bukankah Anda memimpin rapat yang membahas nasib istri para ikhwan yang ditangkap?
Tidak di hari pertama. Kalau tidak salah saya memimpin di hari kedua. Mungkin karena saya dianggap yang paling tua. Meskipun ada yang lebih tua tetapi mungkin kurang berkompeten dalam masalah itu. Saya kurang tahu mengapa saya diminta memimpin pertemuan itu.
Pertemuan yang Anda ikuti tidak hanya terjadi di Tawangmangu. Masih ada dua kali pertemuan lagi di Bogor. Betul kan?
Kalau tidak salah malah tiga kali. Saya datang sebagai pribadi yang ingin mengingatkan teman-teman, pengalaman orang-orang tua kita dahulu. Sebab, kita punya dua kebaikan, yaitu keikhlasan dan semangat untuk memperjuangkan Islam. Tetapi ketika kita mencoba menerapkannya di dalam dunia pergerakan malah jadi kelemahan karena mudah dieksploitasi oleh operasi intelijen.
Kami mendengar bahwa ikhwan lain menyebut rapat itu mengangkat Anda sebagai Pelaksana Tugas Amir.
Itu imajinasi peserta rapat. Betul, saya akui (ada rapat) itu, baik di persidangan maupun pemeriksaan polisi, tapi kalau mengangkat saya sebagai Pelaksana Tugas Amir JI, saya katakan itu imajinasi mereka.
Kalau itu imajinasi, apakah peran Abu Dujana sebagai Sekretaris JI juga imajinasi?
Kalau itu saya tidak tahu, sebab dalam pertemuan di Tawangmangu dia menjadi notulis. Tapi harus dicatat, pertemuan di Tawangmangu dan Bogor bukanlah perbuatan melawan hukum, karena tidak membicarakan rencana-rencana, apalagi yang detail.
Apakah Anda mau mengatakan mereka yang menyebut Anda sebagai Pelaksana Tugas Amir JI berbohong?
Imajinasi, bukan berbohong. Kadang-kadang kondisi di lapangan diterjemahkan berbeda, tergantung pemahamannya. Kalau berbohong kan sesuatu yang tidak ada dikatakan ada. Nah, ini sebenarnya ada, cuma menangkap persoalannya berbeda
Ooo, jadi belum sempat jadi keputusan tapi orang-orang sudah menyangka demikian?
Naaah! Pertemuan terakhir di Bogor itu tidak sempurna kok. Di tengah-tengah pertemuan ada yang mengabarkan beberapa ikhwan ditangkap.
Mungkinkah mereka yang Anda sebut berimajinasi tentang JI dan strukturnya telah mendirikan JI tanpa sepengetahuan Anda?
Kemungkinan itu selalu ada. Justru saya curiganya di situ. Artinya, kalau ikut cara berpikir Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba'asyir, atau saya sebagai orang yang disangka, paling tidak sebagai orang ketiga, maka mereka tidak punya alasan untuk mewujudkan tindakan jihad dalam arti operasi kekuatan, sebab kami tidak punya pikiran seperti itu. Dari mana ide melaksanakan jihad dengan menggunakan kekuatan, kita tidak tahu. Jadi, saya curiga ini penggalangan intelijen. Belum siap, dipaksa maju, akhirnya keguguran.
Apakah itu yang membuat Anda marah dalam salah satu pertemuan?
Kalau marah, tidak. Saya memang tidak sepakat tetapi saya tidak bisa menyalahkan. Karena pemahaman mengenai persoalan yang sama tetapi referensi dan pengalaman berbeda, maka kesimpulannya bisa berbeda-beda.Apakah Hambali hadir dalam pertemuan di Tawangmangu?
Nggak, nggak. Setelah ada peledakan bom gereja di Sumatera, Hambali sudah tidak muncul lagi. Paling tidak, dia tidak muncul di permukaan. Wallahu a'lam kalau ada hubungan-hubungan yang saya tidak ketahui.
Boleh tahu pandangan Anda tentang jihad?
Praktis saja ya, jihad adalah bagian dari syariat islam. Kemudian secara syar'i, artinya pengertian dari jumhur ulama, baik Imam Hanafi, Syafi'i, Maliki, dan Hambali semuanya sepakat bahwa jihad adalah memerangi orang kafir untuk menegakkan ka-limat Allah. Cuma kalau ditanya bagaimana pelaksanaannya di Indonesia, saya berpendapat saat ini kondisi Indonesia belum memungkinkan penggunaan kekuatan untuk melaksanakan ibadah jihad. Itu pendapat saya.
Thoriquddin alias Abu Rusdan alias Hamzah Tempat/tanggal lahir: Kudus, 16 Agustus 1960 Pendidikan: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, 1983 (tidak selesai) Pekerjaaan: Pedagang Anak: Rusdan (17 tahun) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo