Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPINTAS kapal patroli itu mirip feri cepat antarpulau. Posturnya ramping dan tidak begitu besar. Hanya cat loreng biru pada lambungnya yang membuat ia terlihat sangar. Kapal itu memang milik TNI Angkatan Laut. Diberi nama "Tedung", kapal berkode KAL-35 ini memiliki panjang 36 meter. Pada bagian haluannya tampak sebuah dudukan senjata. Di dalam kabinnya yang tertutup rapat, telah terpasang sejumlah peralatan canggih: radar, radio komunikasi, pemindai sonar, dan pesawat GPS (global positioning system, sistem satelit pelacak posisi).
Namun Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Bernard Kent Sondakh menegaskan, "Kapal ini didesain khusus untuk patroli, bukan kapal perang."
Setelah diresmikan Presiden Megawati, si Tedung melaut di perairan Riau di bawah Komando Armada RI Kawasan Barat (Armabar). Dirakit dengan material ringan serat fiber, ia ditargetkan mampu dipacu hingga 30 knot (55 kilometer/jam). Dengan kecepatan seperti itu, KAL-35 diharapkan dapat mencegat kapal pencuri, penyelundup, bajak laut, dan ancaman lainnya di perairan Bumi Lancang Kuning.
Lepas dari cita-cita itu, kelahiran si Tedung sebenarnya sarat kontroversi. Ibu kandungnya adalah sebuah "surat sakti" yang diteken Kepala Staf TNI-AL Laksamana Bernard Kent Sondakh pada 1 Oktober 2002. Dalam suratnya itu, sembari mengutip Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 (otonomi daerah), Laksamana Kent "mengimbau" para gubernur agar turut berpartisipasi mengamankan wilayah laut di daerah masing-masing. Caranya: mereka diminta "arisan" untuk membelinya.
Kent beralasan surat itu dia layangkan karena TNI-AL sangat kekurangan kapal patroli. Menurut perhitungannya, untuk mengawal seluruh perairan Nusantara, dibutuhkan setidaknya 500 kapal. Padahal kini TNI-AL hanya punya puluhan kapal. Sudah begitu, ini yang menjadi pokok soal, kas negara lagi kempis dan tak cukup punya anggaran. Karena itu, Kent beranggapan langkahnya adalah sebuah terobosan jitu.
Itu pendapat Kent. Buat kalangan yang lain, surat Kent malah dinilai sebagai sebuah "terabasan". Langkahnya dikecam banyak pihak bukan hanya karena telah menerabas prosedur?tidak melalui Departemen Pertahanan?tapi juga dipenuhi banyak kejanggalan.
Pemerintah Riaulah yang pertama kali menyambut surat Laksamana Kent. Pro-kontra langsung pecah ketika anggaran diajukan ke dewan perwakilan setempat. Apalagi belakangan diketahui bahwa Gubernur Riau (saat itu) Saleh Djasit langsung begitu saja menunjuk PT Palindo sebagai galangan pembuat kapal.
Gayung bersambut sudah sejak awal 2003?tak lama setelah Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil ikut memberikan persetujuan pada 31 Januari 2003. Setelah itu, Suku Dinas Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Riau, sebagai instansi yang membawahkan sarana transportasi laut, langsung menggodok anggaran. Hasilnya lalu mereka ajukan dalam Daftar Isian Proyek 2003.
Menurut seorang sumber TEMPO yang terlibat dalam proses itu, pada awalnya anggaran yang disodorkan hanya sekitar Rp 4 miliar. Angka ini disebutkan sebagai harga kapal. Belakangan rancangan itu direvisi menjadi Rp 9 miliar. Rinciannya: harga kapal tetap disebutkan Rp 4 miliar, sementara sisanya dialokasikan untuk biaya perencanaan, administrasi pelelangan, termasuk anggaran tambahan untuk unit ruangan dan peralatan standar kapal patroli militer.
Kutak-katik bujet tak berhenti di situ. Saat dibahas di tim Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau, yang diketuai sekretaris wilayah daerah, besarannya berubah lagi. Tak tanggung-tanggung, nilainya membengkak jadi Rp 12,8 miliar. Alasannya, konon, harga kapal naik Rp 3 miliar dan anggaran perencanaan masih kurang sekitar Rp 500 juta.
"Ini sangat mencolok," kata sumber TEMPO itu lagi. Bahkan, ia menambahkan, setelah masuk ke panitia anggaran di Komisi VII DPRD Riau (yang membidangi urusan pertahanan dan keamanan), angka itu masih membengkak lagi hingga Rp 14 miliar.
Kepala Suku Dinas Perhubungan Laut Riau, Adizar, membantah adanya patgulipat di balik penyusunan anggaran. "Tidak ada itu," ia menegaskan.
Keganjilan lain diungkapkan Rolan Aritonang. Ketua Komisi VII DPRD Riau ini menyatakan, pada tahap penyerahan draf anggaran 2003, sekitar awal Februari, proyek kapal patroli ini tak tercantum. Karena itulah, kata dia setengah bercanda, "Kami menyebutnya sebagai proyek siluman."
Toh, akhirnya para wakil rakyat mengetuk palu juga. Dewan menyetujui anggaran sebesar Rp 12,85 miliar.
Apa rahasianya? Seorang anggota panitia anggaran yang lain, yang minta namanya dirahasiakan, membisikkan sebuah informasi. Bujet itu lolos berkat lobi seorang perwira Angkatan Laut yang merupakan anggota Fraksi TNI di panitia anggaran, Andreas Tukimin.
Namun, saat ditanyai soal perannya ini, Andreas berkata, "Saya tidak ada urusan dengan anggaran. Yang benar, saya yang melobi serta mengantar surat KSAL dan spesifikasi gambar kapal ke Gubernur Riau." Andreas mengaku, saat masih menjabat sebagai peneliti utama di Divisi Penelitian dan Pengembangan TNI-AL di Cilangkap (Markas Besar TNI), dia turut merancang cetak biru si Tedung.
Peran TNI-AL memang amat menentukan. Tengok saja kronologi berikut.
Menyusul surat imbauan dari Laksamana Kent, pada 8 April 2003, giliran Panglima Armada Barat saat itu, Laksamana Muda Mualimin Santoso, yang menyurati Gubernur Riau. Isinya, "...mengharapkan Gubernur Riau turut berpartisipasi untuk mewujudkan proyek pembangunan KAL-35 sesuai penawaran Bapak KSAL?." Mualimin juga menyebutkan bahwa persoalan teknis proyek ini dapat dikoordinasikan dengan Kolonel Widodo, Komandan Satuan Tugas Pembangunan KAL-35.
Hanya berselang dua minggu, tanpa banyak perdebatan, Gubernur Saleh Djasit langsung bersetuju dan minta segera dibuatkan draf nota kesepahaman (MOU). Hal tersebut tertera dalam surat Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Riau, Zulkifli Saleh, kepada Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Riau pada 24 April 2003. Dalam suratnya, Zulkifli menyatakan telah mengalokasikan bujet Rp 12,85 miliar dari APBD 2003 untuk membiayai proyek ini. Saleh Djasit sendiri menegaskan keputusannya lewat surat bertanggal 9 Juni 2003.
MOU kemudian diteken pada 15 Juli 2003. Di situ disebutkan bahwa pemerintah Riau, selain berkewajiban menyediakan dana, bertanggung jawab untuk pembuatan kapal?termasuk mencari galangan kapal yang sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditetapkan TNI-AL.
Di tahap ini, sebuah tanda tanya lain meruap: pemerintah Riau tak menggelar tender. Padahal peminat lain bukannya tak ada. PT PAL Indonesia, produsen kapal di Surabaya, misalnya, sempat menyorongkan proposal.
Lagi-lagi sebabnya bersumber pada "titah" korps putih-putih. Dua hari setelah MOU ditandatangani, pada 17 Juli, Laksamana Mualimin berkirim surat lagi ke Gubernur. Isinya: "menyarankan" agar PT Palindo dipilih sebagai galangan pembuat kapal. Alasannya, Palindo dinilai telah berpengalaman membuat lebih dari 40 kapal TNI-AL, termasuk empat unit KAL-35.
Dan pemerintah Riau, untuk kesekian kalinya, langsung manggut-manggut.
Untuk soal ini, Kepala Suku Dinas Perhubungan Laut Riau, Adizar, menjelaskan bahwa pihaknya tidak berkewajiban mengadakan tender terbuka karena "order ini termasuk pesanan dengan spesifikasi khusus." Lantas kenapa Palindo yang ditunjuk, bukan PT PAL Indonesia, yang juga telah menyatakan minat? "Penawaran mereka terlalu tinggi, Rp 18 miliar. Makanya kami tolak," ujar Adizar.
Palindo memang sudah lama punya hubungan dagang dengan TNI-AL. Sejak 1990-an, Palindo telah menjadi rekanan Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan TNI-AL di Tanjung Uban, Riau. Bahkan, sebagaimana diakui Laksamana Kent Sondakh, Harmanto, sang pemilik Palindo, sangat akrab dengannya. "Kami sering main golf bareng. Tapi saya tidak pernah mau ditraktir dia," katanya.
Ahak?begitu Harmanto biasa disapa?rupanya memang punya hubungan luas di kalangan petinggi TNI-AL. TEMPO misalnya menyaksikan Ahak sendirilah yang mengantar Asisten Logistik Armada Barat Kolonel Yarmanto saat mengunjungi Fasilitas Pemeliharaan di Tanjung Uban beberapa waktu lalu.
Ahak sendiri tak menyanggah kedekatannya dengan KSAL: "Wajar saja saya dekat dengan Angkatan Laut, karena bisnis saya kapal." Ahak mengaku berkawan dengan Kent sejak sang Laksamana berdinas di Tanjung Pinang, Riau.
Ahak pun menegaskan bahwa proyek ini bebas korupsi-kolusi. "Tidak ada KKN atau segala macam," katanya, "Nilai proyeknya cuma Rp 12 miliar. Kalau dipotong dengan pajak, asuransi, jaminan, dan uji coba, harga kapal paling cuma Rp 9 miliar."
Menghabiskan dana Rp 12,7 miliar, kapal selesai dirakit Palindo akhir tahun lalu. Dan pada 13 Maret kemarin, si Tedung resmi diserahterimakan Gubernur Riau Rusli Zainal kepada TNI-AL, meninggalkan sejumlah kontroversi yang pernah mengempasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo