Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanyakan apa saja tentang Angkatan Laut Indonesia kepada Kent Sondakh. Dia akan menjawabnya dengan kalimat panjang-lebar, memberikan argumentasi, sesekali menekankan off-the-record, tapi selebihnya silakan kutip. Terbuka, keras hati, dan tegas, perwira tertinggi di angkatan laut Indonesia ini mencatat berbagai prestasi dalam tiga dekade lebih masa dinasnya . "Dia cerdas sekali sejak di masa sekolah dan kami sudah meramalkan satu saat dia akan menjadi KSAL," ujar salah satu koleganya.
Kent Sondakh menakhodai sebuah "pelayaran raksasa"sejak April 2002 ketika duduk di kursi Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL). Dikenal galak dalam menghajar jaringan mafia pasir di Kepulauan Riau, Kent berkata, "Saya tidak takut beking siapa pun." Dia juga ditakuti karena tak segan menurunkan pangkat anak buahnya dalam "upacara di tengah laut" bila mereka merusak martabat korps. Tapi Kent, menurut banyak kenalannya, juga menyimpan watak yang memikat hati: pandai bergaul, mahir memasak, dan murah hati memberikan hadiah kepada anak buahnya yang berprestasi.
Kent Sondakh berasal dari Minahasa?dia lahir pada 9 Juli 1948. Keterusterangan Minahasa tampak melekat pada dirinya. Februari silam, misalnya, saat AL berencana membeli empat korvet Belanda, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menyarankan agar Kent meninjau kembali rencana tersebut. KSAL menukas, "Kalau Menko Perekonomian minta itu ditinjau, ya, dia yang tinjau." Ucapannya yang tajam ini sontak saja dikutip oleh media massa.
Korvet bukan satu-satunya langkah Kent yang memicu perdebatan. Kontroversi yang lebih luas lahir dari keputusannya mengajak para gubernur se-Indonesia pada Oktober 2002 membikin kapal-kapal patroli KAL-35. Seketika saja banjir kritik melanda Kent, dari tudingan berbisnis hingga membangunkan lagi supremasi militer terhadap sipil.
Kent Sondakh menerima TEMPO di ruang kerjanya pada Kamis pekan silam untuk wawancara khusus selama satu jam lebih. Dia menjawab semua konfirmasi mingguan ini terhadap investigasi TEMPO dalam proses pengadaan kapal patroli tersebut. Berikut ini kutipannya.
Kami mendapat kopi surat Anda, 1 Oktober 2002, kepada para gubernur se-Indonesia yang mengajak kerja sama membangun kapal patroli AL jenis KAL-35. Bisa Anda jelaskan alasannya?
Saya ingin melakukan terobosan dalam mengamankan laut kita, dari perompakan, perdagangan ilegal (lewat laut), hingga mereka yang coba-coba menjajal wilayah kedaulatan kita. Itu semua memerlukan angkatan laut yang besar dan kuat. Anda tahu, kita punya 17.500 pulau dengan luas perairan 5,8 juta kilometer persegi. Kita punya pantai terpanjang di dunia, 81 ribu kilometer. Sedangkan jumlah kapal kita amat kurang. Usia termuda kapal kita (Angkatan Laut Republik Indonesia?Red.) 25 tahun. Selebihnya di atas 40 tahun, bahkan ada yang sejak masa Perang Dunia II. Nah, dalam sepuluh tahun, saya ingin AL punya 50 unit KAL-35. Kalau dikali Rp 11 miliar (harga per unit kapal), itu menjadi Rp 550 miliar. Tapi kita tahu bahwa keuangan negara belum mampu. Tak usah (bicara) dulu perihal pembangunan. Untuk pemeliharaan saja, kita hanya mendapatkan 11 persen dari kebutuhan.
Sebelas persen itu setara dengan berapa rupiah? Dan berapa yang Anda butuhkan per tahun untuk pemeliharaan kapal secara maksimal?
Sebelas persen itu kurang-lebih Rp 200 miliar. Kalau Anda tanya berapa kebutuhan kita setahun, ya, antara Rp 1,8 triliun dan Rp 2,7 triliun. Nah, dengan anggaran yang begini sedikit, sulit sekali bagi kami untuk mengelola dan mengaturnya. Akhirnya, saya membuat terobosan. Tapi saya tidak bertindak ngawur. Ada undang-undangnya.
Apakah undang-undang yang Anda maksudkan sebagai landasan hukum adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah?
Ya, coba Anda dengar ini. (Kent Sondakh mengambil sebuah map dan membacakan salinan undang-undang itu.) Pasal 2 ayat 1 dari undang-undang ini mengatakan, provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut seluas 12 mil. Lalu pada pasal 3 disebutkan daerah memiliki lima wewenang dalam wilayah laut tersebut.
Bukankah undang-undang itu masih menimbulkan perdebatan? Analisa Kritis Kebijakan Pertahanan oleh Munir dan kawan-kawan, misalnya, menyatakan ini "pasal yang dimanipulasi" karena tak jelas siapa yang dibantu dan kepada siapa bantuan diberikan?.
Saya tidak mengerti. Ada aksi-aksi eksternal yang ingin melemahkan Angkatan Laut. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau para pemikir yang menyalahkan kita membeli kapal-kapal ini mungkin tidak tahu, tidak sadar, atau sengaja.
Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Sudrajat menyatakan kepada TEMPO, terobosan yang Anda lakukan kepada para gubernur itu melanggar wilayah otoritas Departemen Pertahanan. Apa komentar Anda?
Sudrajat enggak ngerti apa-apa, padahal menterinya sudah mengerti. Saya sudah bicara langsung dengan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil. Dia (Sudrajat?Red.) mungkin tidak diinformasikan, jadi dia tidak tahu.
Sudrajat menyatakan semua pembelian harus melalui alur sistem Departemen Pertahanan, melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)?.
Dia lupa di TNI itu ada barang yang disebut hibah. Dari dulu pun AL sudah mendapat hibah dari Amerika, enggak bayar pakai dana APBN, enggak bayar pakai (uang) Departemen Pertahanan. Kita belum lama terima kapal dari Singapura. Itu hibah. Polisi dikasih sepeda motor 1.000 biji. Apa itu dari APBN? Tidak, itu hibah. Ini kita beli kapal, ribut. Orang memberi kita kapal, ribut.
Jika pemerintah daerah (pemda) punya otoritas menjaga wilayah sejauh 12 mil, mengapa tidak dibiarkan mereka melakukannya sendiri?
Pemda Papua pernah mencoba membeli tiga kapal dari luar negeri. Saya melihat ini berbahaya bila tidak terkendali, kendati daerah punya wewenang. Maka saya bilang kepada Menteri Matori, ini harus kita cegah. Menteri Matori setuju.
Menteri Matori mengeluarkan surat yang mendukung surat KSAL kepada para gubernur se-Indonesia pada 1 Januari 2003. Tapi surat Anda kan telah beredar sejak Oktober 2002?
Tolong Anda catat: saya tidak pernah minta Menteri Pertahanan membuat surat. Saya hanya melaporkan bahwa saya akan melakukan ini, ini, dan ini. Saya juga mengirim tim saya ke daerah-daerah, promosi bahwa kapal saya ini.
Bukankah promosi itu membuat Anda dikritik melakukan bisnis melalui kapal-kapal patroli?
Ini tidak ada kaitannya dengan bisnis. Saya hanya mau bilang, "Ini lo kapal AL. Kalian (daerah-daerah provinsi) bisa bikin kayak begini, nanti AL yang mengoperasikan." Karena apa? Karena saya ingin AL punya kapal 500 biji di seluruh Indonesia. Dan saya ingin agar sumber daya negeri kita tidak dicuri orang. Jadi, untuk negara, bukan untuk BKS (Bernard Kent Sondakh).
Sumber kami di DPRD Riau mengaku, dana pembelian kapal itu belum dianggarkan, tapi tiba-tiba masuk lewat anggaran yang ada di Fraksi TNI/Polri....
Itu soal DPRD di sana. Tolong ditulis dengan jelas, intinya AL ingin punya kapal banyak tapi duit enggak ada. Di satu sisi ada undang-undang yang membolehkan pemda memiliki unsur keamanan laut karena tanggung jawab dalam wilayah 12 mil. Ini yang saya manfaatkan. You bikin kapal (tanpa senjata), saya yang mengoperasikannya (dengan senjata?Red.)
Mengapa Anda mengan-jurkan agar para gubernur menggunakan Fasharkan (Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan, semacam bengkel kapal milik AL) untuk membuat kapal-kapal patroli mereka?
Kami punya lima Fasharkan (di Nunukan, Jakarta, Surabaya, Manokwari, dan Makassar). Nah, apa salah jika saya menawarkan prototipe kapal bisa dibuat oleh Fasharkan? Kan, saya juga tidak mau nanti kapal yang diberikan pemda untuk kami operasikan untuk keamanan laut adalah kapal feri. Tapi tidak semuanya membuat kapalnya di Fasharkan. Buktinya, Bangka-Belitung masih membuat jenis kapal ikan.
Bekas Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat, Mualimin Santoso, menyurati Gubernur Riau pada 17 Juli 2003 untuk menggunakan galangan kapal milik PT Palindo dalam menggarap kapal patroli milik Pemda Riau. Pemilik Palindo, Ahak alias Hermanto, dikenal dekat dengan perwira TNI. Bagaimana dengan Anda?
Dekat sekali. Saya pernah bertugas di Tanjung Pinang dan sudah kenal dia sejak masih bintang satu. Kita makan bersama, main golf bersama. Tapi itu bukan berarti saya berbisnis dengan dia atau terima duit dari dia. Kalau kami makan-makan, saya yang mentraktir.
Ini info yang kami dapat: Anda mendapatkan 3 persen dana dari total nilai pengadaan kapal patroli KAL-35 oleh daerah yang telah meneken kesepakatan dengan AL?
Berapa sih 3 persen dari total nilai sebuah kapal? Kita pakai logika saja. Kalau mau, saya bisa mendapat miliaran rupiah dari penyelundupan pasir yang saya tangkap. Saya sudah kaya jauh sebelum menjadi KSAL. Dan mana mau komandan Fasharkan kasih uang sama saya? Atau seorang kolonel kasih uang sama saya? Di mana martabat saya? (Sambil tersenyum, Kent Sondakh menyentuh empat bintang di bahunya.) Yang ada, malah saya kasih uang sama komando. Kalau ada anak buah yang berprestasi, saya kasih pangkat dan kasih uang. Tapi, kalau mereka salah, saya copot pangkatnya di tengah laut.
Satu hal, kebijakan Anda dalam hal kapal patroli ini banyak dikritik bisa mengembalikan supremasi militer terhadap sipil. Apa komentar Anda?
Sedikit pun tidak ada strategi ke situ. Bagi saya, itu kelompok yang ingin tentara kita lemah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo