Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Ketika Pagar Meracuni Tanaman

Seharusnya lahir untuk melindungi masyarakat, makin banyak aparat yang justru menjadi penebar petaka. Selain menjadi pemakai, mereka bertindak sebagai pengedar narkotik dan obat berbahaya (narkoba) dalam jumlah yang tidak tanggung-tanggung. Fenomena apakah ini? Hanya penyelewengan para oknumkah? Atau sistem yang kian "bangkrut"?

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KAWASAN Bebas Narkoba". Spanduk semacam itu bisa ditemukan di hampir setiap pojok Jakarta. Namun, yang satu ini berbau ironi. Spanduk itu terletak tepat di bawah kerlap-kerlip lampu papan nama Diskotek Raja Mas di kawasan Kota—kawasan yang dikenal sebagai salah satu lokasi transaksi narkotik terbesar, tak hanya di Jakarta, tapi bahkan di kalangan metropolitan Asia. Malam itu, ada bonus istimewa bagi pengunjung Raja Mas selain dentuman musik yang menghajar jantung. Ada razia. Sekitar pukul 11 malam, puluhan aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya masuk menyerbu. Musik dimatikan. Seorang reserse maju ke panggung diskotek. "Selamat malam, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu. Kami dari Polda Metro Jaya sedang mengampanyekan anti-narkoba. Kami mohon partisipasi Anda semua. Aparat kami akan memeriksa tempat ini," katanya. Sopan dan teatrikal. Tak ada ketegangan di situ. Para pengunjung tetap asyik minum, pelayan masih hilir-mudik, sementara di luar ruangan beberapa aparat berpakaian polisi lengkap malah asyik bersenda-gurau dengan staf keamanan diskotek. Di dalam ruangan, sejumlah aparat polisi yang berpakaian seragam lengkap memeriksa meja, kursi, dan bungkus-bungkus rokok yang tergeletak. Tak satu pun tas atau dompet diperiksa. Apa yang para polisi itu cari sebenarnya? Kepada wartawan TEMPO yang mengikuti razia itu, seorang reserse menanyakan yang mana yang bernama Rudi Rajamas. Ketika dijawab tidak tahu, ia justru tertawa. "Saya pikir sampean juga anggota (reserse)," ujarnya. Rudi adalah pemilik diskotek ini. Menurut sumber TEMPO di kepolisian, nama Rudi sudah tercantum dalam daftar orang yang dicari polisi di Thailand karena kasus obat bius. Ada atau tidak ada Rudi tampaknya tak begitu penting bagi para perazia. Selang 10 menit kemudian, adegan teatrikal terulang. Komandan razia, Mayor Polisi Emanuel Larosa, maju ke panggung dan berpidato. "Kami dari Polda Metro Jaya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerja sama Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian. Terima kasih," katanya. Pekik dan tepuk pengunjung mengumandang sebagai balasan. Lampu lalu ditemaramkan. Dan musik ingar-bingar pun berdentum kembali. Peristiwa yang sama terjadi lagi di dua diskotek lain malam itu. Dengan pola penanganan yang semacam itu, rasanya mustahil seorang bandar barang haram bisa terciduk. Padahal, andai kata para polisi itu datang secara incognito ke Raja Mas, mereka tak akan sulit menemukan keganjilan—sekalipun belum tentu menemukan Rudi. Transaksi narkotik dan obat terlarang di situ berlangsung di atas meja, meski di bawah cahaya lampu temaram. Menurut staf keamanan diskotek di situ, transaksi terang-terangan tadi dimungkinkan karena pembeli dan penjual sudah saling kenal. Tidak selalu para polisi melakukan kecerobohan yang nyata seperti itu. Beberapa razia bisa sangat menegangkan dan mereka bahkan harus mempertaruhkan nyawa atau setidaknya jabatan, misalnya jika menangkap "orang yang salah". Agustus lalu, polisi menangkap basah seorang pengedar bernama Agus Isrok, yang membawa empat kilogram shabu-shabu dan ribuan pil ekstasi. Sayang, sang bandar ini punya embel-embel pangkat letnan dua infanteri dan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dan lebih dari segalanya, Agus adalah anak dari Jenderal Subagyo, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) waktu itu. Sang ayah sangat boleh jadi mencela serta tidak punya kaitan dengan kelakuan anaknya. Tapi posisi Subagyo membuat jajaran polisi, juga militer, kikuk. Agus hanya menjalani hukuman disiplin—seperti dijelaskan Panglima TNI Laksamana Widodo dalam rapat dengan DPR—mirip hukuman yang diterima pelajar bila tidak membuat pekerjaan rumah. Jenderal Tyasno Sudarto sendiri, KSAD yang baru, tidak memberikan jawaban yang tegas apakah kasus Agus Isrok akan diteruskan. Komandan Jenderal Pusat Polisi Militer Mayjen Djasri Marin pun setali tiga uang. Malah, Djasri mengatakan bahwa pihaknya tak memegang data keterlibatan aparat dalam bisnis haram ini. Ketidakjelasan semacam inilah yang membuat isu lebih gampang tersulut, misalnya apakah Agus Isrok hanya "oknum" atau merupakan bagian dari sebuah kebangkrutan luas yang menggerogoti dinas ketentaraan dan kepolisian. Henry Yosodiningrat, seorang pengacara dan ketua Gerakan Rakyat Anti-Narkotik (Granat), punya indikasi menarik. "Tidak satu pun dari sekitar 20 rantai jaringan narkotik yang kami identifikasi sepi dari keterlibatan aparat. Jadi, hampir setiap rantai melibatkan mereka," katanya. Dan semakin luas jaringan, semakin curiga orang tentang keterlibatan "tempat-tempat yang tinggi". Tak tanggung-tanggung, Panglima Kostrad yang baru pun, Letjen Djadja Suparman, ikut tersambar gosip berada di belakang para bandar semasa dirinya masih menjabat Panglima Kodam Jaya. "Ini ironis. Saya yang menganjurkan memberantas narkoba dari bawah, kok, malah kena isu," kata Djadja. Ironis barangkali. Namun, Djadja tampaknya hanya bisa menepis gosip itu jika dia lebih selektif memilih tamunya. Banyak pengusaha, yang tak ketahuan juntrungan bisnisnya, selalu terlihat dalam acara Djadja. Meski Djadja mengaku tak kenal dengan pengusaha macam itu, besar kemungkinan dari hubungan macam inilah isu-isu menemukan titik tolaknya. Di sisi lain, apakah karena kasus Agus Isrok ini, polisi menjadi malas untuk mencari lagi bandar-bandar besar? Polisi sendirilah yang mesti menjawab. Yang pasti, polisi panen kecaman. Masyarakat pun geram dan mulai beraksi sendiri, yang dalam beberapa kesempatan menjadi berlebihan. Namun, masyarakat juga makin rajin mencatat keganjilan-keganjilan yang dilakukan aparat. Misalnya saja longgarnya pengawasan laut pantai utara Jakarta. Tempat ini dicurigai sebagai tempat transaksi obat bius dengan perantaraan perahu-perahu motor kecil. Barang yang semula masuk lewat Kepulauan Seribu ini mendarat di Jakarta melalui rumah-rumah elite di bibir pantai yang punya akses ke laut lepas. Ketika hal ini dicoba ditanyakan TEMPO kepada Kepala Kepolisian Resor Jakarta Utara Letkol Wisnu, yang bersangkutan—lewat anak buahnya—menolak memberikan keterangan. Selain aparat berkesan tidak serius melakukan tugasnya, yang paling memprihatinkan adalah fakta itu tadi: makin bertambahnya aparat yang bertingkah seperti kriminal. Nyaris dari ujung barat sampai timur Indonesia, tak ada yang luput dari aparat yang terlibat obat terlarang. Selain Jakarta, Jawa Barat adalah provinsi yang memiliki paling banyak catatan tentang aparat yang bertindak sebagai pengedar ataupun pemakai narkotik. Bahkan, di Bandung, belum lama ini, sang Kapolresta sendirilah, Robert Gadong, yang ikut terciduk sebagai bagian jejaring mafia narkotik. Robert tertangkap bersamaan dengan Zarima. Menurut Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Mayjen Chaerudin Ismail, keterlibatan Robert sudah jelas—hanya tinggal pembuktian. Meskipun begitu, Ismail menilai pemberitaan tentang polisi dan narkotik adalah wujud persekongkolan pers untuk menyudutkan korpsnya. Ismail tampaknya terlalu bercuriga. Yang terjadi sering kali adalah polisi yang menyudutkan diri mereka sendiri. Yang terjadi di Sleman, Yogyakarta, misalnya. Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Sleman Lettu Mujiyana, yang berprestasi baik dalam membongkar kasus narkotik—dan terutama menangkap basah lima oknum Kepolisian Daerah Yogya yang sedang asyik berpesta shabu-shabu—justru dimasukkan kotak pada jabatan administrasi. Masih banyak catatan buram yang dicetak oknum polisi dalam dua tahun terakhir ini. Namun, akhir-akhir ini, yang cukup menyita perhatian selain kasus Agus Isrok adalah masalah ganja dari Aceh. "Daun surga" dari Tanah Rencong ini kembali menjadi pembicaraan hangat. Pertama-tama, itu karena volume pasokannya meningkat tajam. Medan, yang dikuasai bandar bernama Haris—anak seorang purnawirawan perwira dan masih tinggal di asrama tentara—kebanjiran pasokan. Namun, persoalan yang gawat bukanlah itu. Gerakan Aceh Merdeka, yang selama ini dituduh sebagai pelaku utama bisnis ini, mulai angkat bicara. Mereka balik menuduh bahwa justru TNI-lah yang bermain. Uang yang didapat TNI dipakai untuk operasi militer. Tuduhan balik ini memang bersifat politis sehingga masih sangat layak untuk diperdebatkan. Tapi, di lapangan, banyak saksi mata yang kini berani berbicara tentang kerakusan oknum tentara dalam bisnis ganja ini. Entah untuk kantong korps, entah untuk pribadi, cukup banyak korban jatuh gara-gara persaingan bisnis ini. Oknum Angkatan Laut tak mau kalah dalam membuat heboh. Sekitar Agustus 1999, kapal perang KRI Pandrong yang sedang bersandar di Tanjungperak, Surabaya, digeledah provos Armada Timur AL. Ternyata di kapal itu ditemukan peralatan untuk mengisap shabu-shabu milik sang komandan kapal, Mayor Hendry Supriyanto. Penggeledahan ini dilakukan tak lama setelah Hendry, lulusan Akademi Angkatan Laut 1986, digerebek di rumahnya di Kompleks Perumahan AL Ujung, Surabaya. Saat itu, Hendry tertangkap tangan bersama Mayor Robert Tambunan dan seorang kapten yang identitasnya masih dirahasiakan petugas. Ketika ditangkap, mereka bertiga sedang teler sehabis nyabu. Menurut sumber TEMPO di Angkatan Laut, jalur narkotik di kalangan perwira di kesatuan itu biasanya adalah komandan kapal atau chief engineer. Merekalah yang biasanya berhubungan dengan rekanan AL untuk berbagai keperluan kapal. Rekanan ini kebanyakan pengusaha keturunan Cina. Kontak biasanya berhubungan dengan servis dari rekanan: diskotek, karaoke, wanita penghibur, dan tentu saja narkotik. Tak sedikit perwira yang kemudian kecanduan. Tak sulit membayangkan luasnya kerusakan yang diakibatkan oleh keterlibatan aparat dalam jaringan narkotik. Dengan senjata dan dalih penegakan hukum yang diselewengkan, mereka justru memperkuat jaringan itu, menusuk ke lingkungan masyarakat dengan caranya yang jauh lebih memiriskan. "Mereka berpangkat prajurit, perwira pertama, dan perwira menengah," kata Henry Yosodiningrat, "Mereka mungkin tidak mewakili institusi, tapi tak bisa lagi disebut sekadar oknum." Dan jika sudah begitu, masihkah para tentara serta aparat kepolisian punya hak moral untuk menyebut diri sebagai garda depan pembela Republik—klaim yang lama mereka kumandangkan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus