Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Menggelar DOM, Memanen Ganja

Keterlibatan aparat dalam bisnis ganja Aceh sudah berlangsung puluhan tahun. Benarkah hasil penjualannya digunakan untuk dana operasi militer?

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Aceh begitu kondang di kawasan Seadeck, Amsterdam, Belanda. Itu bukan karena gemuruh perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), melainkan karena ganja. Di "sepotong surga" yang memperbolehkan orang bebas mengonsumsi narkotik itu, daun-daun kering pembawa nikmat dari Tanah Rencong ini dihargai paling mahal dalam daftar menu mariyuana. Ganja Aceh yang kebanyakan berasal dari Blang Keujeuren ini dikenal paling tinggi memiliki kadar tetrahydrocannabinol (THC), zat yang menyebabkan pemakainya "melayang". Bisnis ganja memang menggiurkan. Harga ganja kering di Aceh, yang bisa dibeli Rp 100-200 ribu per kilogram, bisa melambung menjadi Rp 2 juta di Jakarta dan kota besar lain. Tak mengherankan bila banyak yang tergoda untuk berbisnis di bidang ini, apalagi "budi daya" ganja begitu mudah di Aceh. Secara berseloroh bisa disebut bahwa alam Aceh begitu bersahabat: sebar benih, biarkan beberapa bulan, dan panen raya di depan mata. Semula, konsentrasi penanaman ganja berada di Aceh Barat dan Aceh Tengah. Namun, kini ladangnya sudah menyebar ke seluruh Aceh. Semasa rezim Soeharto, tersangka utama pelaku pemasokan ganja adalah GAM. Tujuannya, dana yang terkumpul dipakai untuk logistik perlawanan. Tak terlalu salah tudingan ini karena beberapa temuan di lapangan membuktikan hal itu. Di daerah Montasik yang bersahaja, 16 kilometer dari Banda-aceh, mobil mewah seperti Cherokee lazim ditemukan. Di sini, nama kepala kartel yang terkenal adalah Makmur dan Ampun. Dua orang ini dikenal dekat dengan aparat militer. Uniknya, penduduk di desa tersebut, yang hampir semuanya simpatisan GAM, juga terlibat bisnis ini. Namun, secara resmi saat ini GAM membantah tuduhan itu. Menurut mereka, haram hukumnya berjuang menggunakan uang ganja. Lantas, siapa pemasok ganja Aceh yang kian meningkat volumenya akhir-akhir ini? Nah, inilah kabar yang tidak sedap bagi jajaran militer. Korps baju hijau itu saat ini justru dituduh sebagai pemain utama bisnis ini. Itu sudah dimulai sejak 1970-an, meningkat pada masa Aceh dinyatakan sebagai daerah operasi militer (DOM) pada 1989, dan makin menggila bulan-bulan terakhir ini. Salah satu indikasinya adalah tertangkapnya lima orang anggota TNI dari Komando Rayon Militer (Koramil) Bhaktiya, Aceh Utara, membawa berpuluh kilogram ganja, Oktober lalu, dalam razia oleh petugas polisi di Binjai, Sumatra Utara. Diyakini, jumlah pelaku yang sebenarnya jauh lebih lebih banyak. Lebih gawat lagi, keterlibatan oknum militer itu justru dilihat sebagai usaha sistematis jajaran ini untuk beroleh dana besar bagi operasi-operasi mereka. Betulkah? Tampaknya, tuduhan ini terlalu dini. Secara logika, pendanaan dengan uang ganja sangat berisiko. Namun, di sisi lain, keterlibatan oknum aparat begitu telanjang di Aceh. Menurut seorang purnawirawan perwira menengah di Aceh, mustahil kehidupan aparat di kepolisian sektor (polsek) atau koramil bisa demikian mewah bila tidak terlibat bisnis ganja. Konflik antarkesatuan pun bisa terjadi bila satu kelompok memasuki "wilayah kekuasaan" yang lain. Pada November 1998, misalnya, Komando Distrik Militer Aceh Besar harus angkat senjata dengan Kopassus Rancong, Aceh Utara. Saling tuduh sesudah insiden ini terjadi tanpa penyelesaian yang transparan. Sementara itu, trik yang berkembang dalam membawa perdu berjari lima ini keluar dari Aceh sering membangkitkan bulu kuduk. Saat DOM masih berlaku, misalnya, bila ada razia dari polisi, oknum yang membawa ganja lantas mengeluarkan potongan kepala manusia. Tanpa banyak cincong lagi, kendaraan pengangkut dengan "paspor" luar biasa ini akan melenggang menuju Medan. Medan memang menjadi gerbang utama ganja Aceh untuk terbang ke penjuru dunia. Wajar bila kemudian banyak preman Medan yang terlibat. Anton Medan, bekas preman yang kini pengkhotbah, mengaku pernah menyelundupkan ganja pada 1976. Saat itu, ia juga bekerja sama dengan dua bintara militer yang baru pulang bertugas dari Timor Timur. Permainan ala Anton ini boleh dibilang berskala kecil. Biasanya preman, juga beberapa penduduk setempat, dipakai untuk mengurus ladang dan memanennya sekaligus. Ada cara standar yang dipakai untuk mengetahui kapan ganja yang ditanam secara tumpang sari itu harus dipanen. Setelah benih disebar di tengah hutan, satu pot disiapkan untuk benih yang disisakan. Tanaman dalam pot ini adalah parameter. Bila tanaman di pot sudah besar, biasanya empat-enam bulan, roda truk pun siap menggelinding masuk hutan. Bila selama ini kawasan tersebut aman dari "gangguan" penduduk, itu tak lain karena ancaman keras para penjaga. Siapa yang berani mendekat akan langsung dihardik sebagai anggota GPK atau gerombolan pengacau keamanan. Wajar bila penduduk mundur. Tanpa cap mengerikan itu pun, hidup mereka sudah pahit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus