Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Kompetisi dengan Spesialis Blunder dan Kado Penalti

PSSI seperti membiarkan mafia pertandingan merajalela di Liga Indonesia. Pemenang dan pecundang bisa diatur. Musim lalu Persebaya buntung, Arema beruntung.

24 Januari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAUH hari sebelum dibuka, sudah terasa Kongres Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia akhir pekan lalu di Hotel Pan Pacific Nirwana Bali Resort, Tanah Lot, Bali, bakal berlangsung panas. Sehari sebelum acara, petugas keamanan hotel menghalau siapa pun yang tak berkepentingan. Polisi bertebaran di mana-mana. Belasan wartawan bahkan sempat diusir karena tak punya kartu izin meliput Kongres PSSI. Organisasi yang dipimpin Nurdin Halid itu memang sedang gonjang-ganjing, antara lain, karena lahirnya kompetisi tandingan Liga Primer Indonesia (LPI).

Pertikaian klub pendukung Liga Super Indonesia, yang bernaung di bawah PSSI, dengan klub yang ”hijrah” ke Liga Primer menambah ketegangan kongres. Ada kabar ratusan suporter Bonek—pendukung klub Persebaya Surabaya, yang pindah ke LPI—akan menggelar unjuk rasa di Bali. Bonek memprotes kebijakan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid yang membekukan keanggotaan Persebaya dan melarang eks Ketua Persebaya Saleh Ismail Mukadar menghadiri kongres. ”Begini jadinya kalau PSSI dipimpin orang seperti Nurdin,” ujar Saleh pedas. Bersama sejumlah pendukungnya, Saleh diam-diam sudah masuk arena kongres di hotel milik keluarga Bakrie itu. ”Nurdin selalu bikin aturan sendiri,” kata Saleh dengan kesal.

PSSI juga membekukan keanggotaan PSM Makassar, Persis Solo, Persibo Bojonegoro, dan Persema Malang. Selain Persis Solo, tiga klub itu sudah pindah ke Liga Primer Indonesia. Sejak awal Januari lalu, meski tidak direstui PSSI, liga yang digagas Gerakan Reformasi Sepak Bola Nasional dan pengusaha Arifin Panigoro itu memang sudah bergulir. Meski tak diundang, semua klub yang dicoret PSSI sudah merapat ke Bali. ”Kami menganggap surat pembekuan ini tidak sah,” kata Ketua Umum Persibo Taufik Risnendar.

Dari luar arena kongres, serangan terhadap PSSI tak kalah gencar. Sejumlah mantan pengurus PSSI—antara lain Sumaryoto, Tondo Widodo, dan Abu Bakar Assegaf—menggugat kepengurusan Nurdin Halid di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. ”Mereka cacat hukum dan harus mundur secepatnya,” kata Harjon Sinaga, kuasa hukum para penggugat.

Meskipun PSSI dirundung setumpuk masalah, sepak bola Indonesia dua bulan terakhir ini mendadak jadi buah bibir masyarakat. Ditangani pelatih asing Alfred Riedl, tim nasional mencapai final Piala Federasi Sepak Bola ASEAN, Desember lalu. Ketika tim nasional ”tewas” di tangan negeri jiran Malaysia, publik kembali menyorot kepemimpinan buruk Nurdin Halid.

Selama tujuh tahun Nurdin memimpin PSSI, boleh dikata tak ada prestasi membanggakan. Indonesia tak sekali pun merebut Piala ASEAN. Satu dekade terakhir, Indonesia cuma jadi penggembira di panggung sepak bola dunia. Kompetisi kacau-balau, diwarnai kericuhan, baku hantam, juga dugaan pengaturan hasil pertandingan.

Pada pertengahan 2010, sebuah kantor auditor internasional diundang mencari tahu apa yang salah dengan pengelolaan klub-klub di Indonesia. Auditor itu memeriksa 16 klub—sebagian besar bertarung di Liga Super Indonesia, kompetisi divisi utama di negeri ini—dan menemukan fakta memprihatinkan. Meski menelan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai puluhan miliar setiap tahun, hanya tiga klub yang punya laporan keuangan teraudit. Bahkan hanya empat klub yang berbadan hukum. Selebihnya tak jelas bentuk organisasinya.

Semua klub tidak punya sistem pembukuan standar. ”Laporan keuangan hanya dibuat dengan program Excel dan bisa diakses siapa saja tanpa proteksi memadai,” tulis laporan itu. Semua klub tidak punya aset. Stadion, asrama, dan kendaraan merupakan pinjaman pemerintah daerah. Manajemen dan pemain datang dan pergi. Sebagian pemain dan pelatih tak punya kontrak hitam di atas putih. Laporan setebal 165 halaman itu menunjukkan betapa kacau manajemen sepak bola di negeri ini.

Tak mungkin prestasi lahir dari keadaan runyam begini. Ada indikasi, dalam kompetisi, semua bisa diatur. Segala cara dianggap halal, termasuk mengatur wasit, kartu kuning dan merah, juga skor pertandingan. Bahkan pengaturan diduga sampai pada penentuan klub juara. Kemenangan diraih lewat jalan apa saja, demi mempertahankan kucuran anggaran (APBD) dan prestise daerah.

l l l

STADION seakan segera meledak. Teriakan dan nyanyian puluhan ribu suporter kedua kesebelasan memecahkan telinga. Minggu ketiga Februari tahun lalu itu Persebaya Surabaya bertamu ke kandang Arema di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, dalam kompetisi Liga Super. Aremania dan Bonek ”bertempur” adu keras suara, memberi semangat kedua tim yang menyerang silih berganti.

Tak ada yang aneh sampai menjelang menit terakhir. Tiba-tiba, hanya semenit sebelum peluit panjang ditiup wasit, ketika pemain Persebaya, Anderson da Silva, berebut bola dengan pemain lawan, pemain Arema jatuh di kotak penalti Persebaya. Prittt…. Wasit Olehadi dari Tangerang menunjuk titik putih: penalti untuk Arema. Stadion seperti pecah oleh gemuruh teriakan Aremania. Kapten Arema, Pierre Njanka, mengeksekusi tendangan ”12 pas” itu dengan mulus. Arema unggul satu gol.

Seusai pertandingan, Saleh Ismail Mukadar, yang ketika itu masih menjabat manajer, tak sanggup menahan marah. Dia menuntut polisi memeriksa dan menahan wasit Olehadi. Saleh menduga ada ”faktor nonteknis” yang membuat Persebaya kalah. Wasit tak akan memberikan penalti jika tak ada pelanggaran yang mencolok mata. ”Sejak itu saya mulai curiga kepada pemain saya sendiri,” kisah Saleh tentang kejadian buruk itu.

”Faktor nonteknis” dalam sepak bola Indonesia merupakan istilah sopan pengganti ”pengaturan” dari luar lapangan—sesuatu yang tak ada urusannya dengan keterampilan menggocek bola atau melesakkan bola ke gawang lawan. Klub yang hebat dalam menyerang bisa sangat frustrasi jika wasit terus-menerus meniup peluit tanda penyerang berdiri offside—berdiri di belakang barisan pertahanan lawan ketika bola dioper. Di menit-menit penghabisan, klub yang andal bisa kalah dengan konyol bila wasit mendadak memberi lawan hadiah penalti untuk pelanggaran kecil. Pemain juga punya sejuta trik untuk ”mengundang” wasit memberikan kado penalti.

Penyelidikan Saleh Mukadar akhirnya mengungkap kebusukan itu. Seorang pemain tim ”Bajul Ijo”—julukan Persebaya—mengaku ada lima pemain di tim itu yang bisa ”dibeli” di Liga Super. Pemain belakang tim itu terkenal spesialis membuat blunder alias kesalahan fatal—yang ternyata merupakan ”pesanan”. Dari 22 pertandingan paruh pertama musim lalu, gawang Persebaya kemasukan 36 gol. ”Kami akhirnya sepakat merombak tim,” kata Saleh.

”Perdagangan gol” bukanlah barang baru. Sejumlah sumber yang dihubungi Tempo mengaku sub-agen pemain atau bahkan pemain sendiri sering datang menawarkan diri untuk bermain ”sandiwara”. Biasanya mereka datang sehari sebelum pertandingan. Setelah deal, manajer tim lawan akan berhubungan melalui pesan pendek. Bahkan sumber Tempo mengungkapkan, sebuah klub cukup mendapat tiket pesawat pulang untuk mau menerima kekalahan dengan selisih gol tipis.

Isi pesan pendek untuk mengatur pertandingan itu lucu-lucu. Ada yang menawarkan, ”Ini ada lima kambing siap disembelih, tertarik atau tidak?” Tarif ”kambing” alias pemain yang bersedia membuat timnya kalah itu bervariasi antara Rp 5 juta dan Rp 10 juta. ”Besarnya tergantung tim dan penting atau tidaknya pertandingan,” kata sumber itu. Pemain sering kepepet, karena gaji bulanan sering terlambat. Nilai kontrak pun kadang disunat.

Akhir Februari 2010, Persebaya akhirnya memecat pelatih Danurwindo. Pelatih senior Rudy William Keltjes masuk. Namun itu bukan akhir nasib buruk Persebaya. Dua bulan kemudian, Persebaya makin terpuruk di zona degradasi. Mereka terancam jatuh ke Divisi Utama. Pada pertandingan menentukan, melawan Persik Kediri, akhir April 2010, terjadilah insiden yang praktis membunuh peluang Persebaya.

”Empat hari sebelum pertandingan di Kediri, izin polisi tidak turun,” kisah Saleh Mukadar. Alasannya, pertandingan terlalu dekat dengan pemilu. Panitia lalu memindahkan laga ke Yogyakarta sepekan kemudian. Lagi-lagi pertandingan batal. ”Sesuai keputusan Komisi Disiplin, seharusnya kami menang walk-out 3-0,” ujar Saleh. Dengan begitu, Persebaya lolos dari degradasi. Namun Persik meminta banding. Komisi Banding PSSI memutuskan pertandingan itu ditunda sampai Agustus. Lokasinya pun ditetapkan di Palembang. Frustrasi dengan keputusan PSSI, Persebaya menolak bertanding dan dinyatakan kalah.

Saleh pun meradang. Anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PDI Perjuangan ini dengan lantang menyatakan, ”Kami memang sengaja disingkirkan untuk menyelamatkan tim lain.” Tim yang lolos dari zona degradasi ketika itu adalah Pelita Jaya—klub milik Grup Bakrie. Ketika ditanya, Manajer Pelita Jaya, Lalu Mara Satriawangsa, menampik tudingan Saleh. ”Biasa, kalau kalah pasti marah-marah,” katanya santai.

l l l

APRIL 2010. Musim kompetisi tinggal sebulan lagi. Arema masih kokoh bertengger di pucuk klasemen, ditempel ketat Persipura Jayapura. Klub asal Papua ini siap menyalip jika Arema kalah dalam pertandingan berikutnya.

Laga yang menanti Arema tidak sembarangan. Mereka harus menghadapi Persiwa Wamena di kandang lawan, Stadion Pendidikan, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Selama kompetisi Liga Super berlangsung, tak ada satu pun tim sepak bola yang bisa mengalahkan Persiwa di kandangnya.

”Persiwa Wamena ini tim aneh, karena selalu mendapat penalti di menit-menit akhir,” kata pelatih Arema, Robert Alberts, sebelum berangkat ke Papua. Gol ajaib akibat keputusan wasit yang ganjil memang kerap terjadi pada pertandingan Liga Super di Papua. Walhasil, Arema seperti menjalani misi mustahil.

Pemain Arema juga ”terteror” insiden kasar dalam pertandingan dua pekan sebelumnya di Wamena. Pemain-pemain Persiwa tak hanya mengalahkan Persisam Samarinda dengan satu gol, tapi juga memukuli enam pemain Persisam. Manajer Persiwa Jhon Banua bahkan turun ke lapangan dan memukul pemain hanya karena ada pemain Samarinda yang memprotes gol tunggal Persiwa yang dianggap offside. Jhon sudah meminta maaf atas insiden memalukan itu.

Tapi, di luar dugaan banyak orang, Arema justru menang 2-0. Lewat pertandingan yang bersih, Arema bermain cantik. Dua gol Arema dicetak Muhammad Ridhuan dan Roman Chmelo.

Ketika dihubungi dua pekan lalu, Jhon Banua mengaku masih ingat betul pertandingan menentukan itu. ”Saya marah sekali,” kata Wakil Bupati Jayawijaya itu. Itulah kekalahan pertama dan satu-satunya Persiwa di kandang sendiri. ”Sepertinya PSSI memang memberi kesempatan kepada Arema untuk juara pada musim lalu,” ujar Jhon bersungut-sungut.

Apa rahasianya? Arema mengaku meminta tim khusus PT Liga Indonesia memantau pertandingan di Wamena. ”Kami ingin mengantisipasi semua faktor nonteknis,” kata Manajer Arema Mudjiono Mudjito. ”Apa salahnya menghubungi semua pihak terkait untuk berjaga-jaga?” Artinya, Arema menang justru ketika pertandingan tidak diganggu ”keanehan” macam-macam.

Menurut sumber Tempo, kejadian di Wamena itu indikasi bahwa Arema memang ”dikawal” petinggi PSSI. Di Liga Super dan divisi-divisi di bawahnya, memang sudah jamak dikenal pentingnya sebuah klub membeli ”pengawalan” khusus dari ”bapak asuh”. Biasanya mereka adalah petinggi PSSI.

Di Kalimantan, tim Divisi I seperti Persepar Palangkaraya, misalnya, pernah menghabiskan Rp 400 juta untuk urusan ini. Sigit Wido, Wakil Sekretaris Umum Persepar, mengaku menyerahkan fulus itu dalam beberapa tahap kepada Subardi, Ketua Badan Liga Amatir Indonesia, dan anggota Komite Eksekutif PSSI. ”Itu harga paket untuk mengantarkan kita naik ke divisi berikutnya,” kata Sigit.

Dihubungi terpisah, Subardi membantah cerita ini. ”Itu pembunuhan karakter,” katanya. Menurut dia, yang ada di PSSI adalah pembagian wilayah untuk pembinaan klub. Sejumlah anggota Komite Eksekutif PSSI mendapat tugas dari Nurdin Halid untuk mengawasi wilayah tertentu.

Subardi, misalnya, ditugasi mengawasi klub-klub di Jawa. Anggota lain, Mafirion dan Muhammad Zein, bertanggung jawab mengawasi Sumatera. Nurdin sendiri mengawasi langsung klub di Sulawesi dan Kalimantan. ”Pembagian ini berdasarkan kedekatan kami dengan kultur setempat,” kata Subardi.

Singkat cerita, pada Mei 2010, setelah bermain imbang 1-1 dengan PSPS Pekanbaru, Arema resmi menjadi juara. Ribuan suporter Aremania membanjiri pertandingan terakhir Arema di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Di sana, Arema mengempaskan Persija 2-1. Lengkap sudah kesaktian tim Singo Edan.

l l l

KALAU dirunut ke belakang, Arema sesungguhnya bukan tim andalan. Ketika musim dimulai, September 2009, mereka nyaris bubar. Pemilik Arema, PT Bentoel Indonesia, mendadak menarik diri. Perubahan kepemilikan di Bentoel adalah biang keladinya. British American Tobacco, pemilik baru perusahaan rokok itu, melarang Bentoel mengurus klub olahraga.

Arema pun kelimpungan. Apalagi orang-orang Bentoel di Arema mundur satu per satu. Darjoto Setyawan, Ketua Yayasan Arema, dan Gunadi Handoko, Direktur Utama PT Arema, mengundurkan diri. Berbagai skenario penyelamatan pun dicoba. Mereka bahkan pernah menjajaki merger dengan klub sepupunya, Persema Malang. Tapi gagal.

Ketika krisis itulah ikatan lama antara keluarga Bakrie dan Arema hidup lagi. Di masa awal pendiriannya, pada 1987, Arema pernah mendapat bantuan Rp 61 juta dari Nirwan Dermawan Bakrie. Ini jumlah yang lumayan besar untuk zaman itu. Andi Darussalam Tabusalla, ketika itu menjabat Sekretaris Galatama, juga terhitung pendiri Arema.

Kini Nirwan dan Andi jadi orang penting di PSSI dan PT Liga Indonesia. Nirwan adalah Wakil Ketua Umum PSSI dan Komisaris Utama PT Liga. Sedangkan Andi Darussalam—orang kepercayaan keluarga Bakrie dalam penyelesaian krisis Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur—adalah Presiden Direktur PT Liga.

Nama keduanya tercatat dalam akta notaris pendirian PT Liga, tertanggal 8 Oktober 2008. Dalam akta itu tertulis bahwa pemilik mayoritas saham PT Liga adalah PSSI, yang diwakili Ketua Umum Nurdin Halid dan Sekretaris Jenderal Nugraha Besoes.

Sumber Tempo di dalam manajemen Arema membenarkan adanya bantuan Bakrie. ”Jumlahnya lebih dari Rp 7 miliar,” katanya. Ketika mulai berlaga di musim ini November lalu, klub itu memang masih berutang Rp 7,1 miliar.

Peran Andi Darussalam tak kalah besar. Dia turun tangan langsung ketika Arema mengalami krisis keuangan. ”Saya punya ikatan batin yang kuat dengan Arema,” ujarnya ketika itu. Menurut Andi, Arema harus diselamatkan untuk menjadi proyek percontohan bagaimana sebuah klub profesional dikelola dan sukses. Tak hanya soal dana, Andi juga mencarikan pelatih dan pemain asing terbaik.

Keterlibatan Andi dan Nirwan inilah yang—mau tak mau—membuat Arema disegani klub lain. ”Mana ada yang berani mengganggu Arema?” kata seorang pengawas pertandingan. Ketika sebagian klub lain berjibaku, kasak-kusuk kanan-kiri menyiasati ”faktor nonteknis”, Arema bisa melenggang. Gelontoran dana Rp 4,5 miliar untuk Arema dari Ijen Nirwana—perusahaan pengembang perumahan milik Grup Bakrie—di awal musim ini mempertegas kedekatan antara Arema dan keluarga Bakrie.

Sumber Tempo menyebutkan ada deal lain di balik kemenangan Arema di Liga Super. Bank Rakyat Indonesia kabarnya sudah dijajaki untuk jadi sponsor utama jika Arema juara. Nilai kontrak itu mencapai Rp 20 miliar. Tapi batal. ”Arema memang pernah memberi presentasi di hadapan manajemen BRI. Tapi kami menolak karena sudah berkomitmen membantu basket dan karate,” kata Muhamad Ali, Sekretaris Korporat BRI.

Joko Driyono, Direktur Utama PT Liga, menegaskan tidak pernah ada skenario mengangkat Arema jadi juara. ”Itu hanya ungkapan kekecewaan tim yang kalah,” ujarnya. Andi Darussalam hanya berkomentar singkat, ”Soal itu tanya Pak Nugraha saja. Kami sudah sepakat dia juru bicaranya.”

Ketika dihubungi, Sekretaris Jenderal PSSI Nugraha Besoes hanya tertawa dan menolak berkomentar panjang. ”Itu ribut-ribut lama,” katanya. Sama seperti Joko, dia menilai kabar ini hanya isu yang diembuskan pihak yang kecewa.

Nirwan Bakrie sendiri menanggapi tuduhan ini dengan ringan. ”Saya juga dengar itu,” katanya sambil tersenyum. Tapi dia membantah punya andil memenangkan Arema jadi juara Liga Super. ”Arema memang bagus. Mereka jadi juara ya karena menang terus,” ujarnya.

Ketua Satgas Anti-Suap dan Mafia Wasit PSSI Bernhard Limbong mengakui memang tak mudah menembus mafia pertandingan dan membongkar praktek suap-menyuap di tubuh PSSI. ”Ini seperti bau kentut. Semua mencium dan merasakan, tapi sulit dicari buktinya,” katanya.

Koteka dan Kambing Pinggir Lapangan

Permainan atraktif dan dinamis yang dulu disebut sepak raga ini selalu menyedot perhatian. Banyak kepentingan pun menungganginya: dari urusan judi sampai politik. Jalan pintas kerap ditempuh agar tim yang dijagokan menang, termasuk menggelontorkan suap. Pemain, manajer, pelatih, wasit, dan pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia pernah tercemar rasuah. Sebagian terungkap, tapi lebih banyak yang lolos.

Inilah sejumlah modus yang kerap digunakan untuk mengatur skor pertandingan.

Manajer/pelatih:
Manajer klub menelepon atau mengirim pesan pendek ke manajer klub lawan, baik secara langsung maupun lewat perantara. Ia menawarkan pemainnya yang bisa dibeli. “Saya punya lima koteka, nih. Mau beli?” Atau, “Ini ada lima kambing siap disembelih.”

Wasit:
Sebelum hari pertandingan, manajer klub memesan wasit tertentu yang telah dikenalnya. Tarifnya Rp 20-50 juta, tergantung tawar-menawar dan penting-tidaknya pertandingan. Di kamar ganti, klub akan mengirim orang untuk menjaga wasit agar tidak “digarap” tim lain. Saat pertandingan, wasit bisa menghadiahkan penalti, menghujani pemain lawan dengan kartu kuning/merah, dan tutup mata terhadap pelanggaran tim yang membayar.

Pemain:
Untuk mengamankan kemenangan, cukup “membeli” minimal tiga pemain klub lawan: kiper, bek, dan penyerang. Menurut seorang pengurus klub, penyerang ditugasi terus-menerus menendang bola ke luar lapangan saat mendekati gawang lawan. Pemain belakang diorder mengendurkan penjagaan dan melakukan pelanggaran kasar di kotak penalti. Sedangkan kiper diminta gagal menangkap bola.

Tarif suap
Rp 5-25 juta per pemain per pertandingan

Fulus di Sekitar Lapangan

Aroma suap mulai kencang tercium dari lapangan hijau pada 1960-an. “Kreativitas” mafia yang ingin mengatur hasil pertandingan kian mencengangkan.

1960
Persatuan Sepak Bola Makassar menonaktifkan Ramang, striker andalannya, karena diduga menerima suap.

1961
“Skandal Senayan” mengguncang sepak bola Tanah Air. Delapan belas pemain tim nasional, seperti Bob Hippy dan Wowo Soenaryo, serta tiga wasit dituduh menerima suap sekitar Rp 25 ribu per orang ketika Indonesia menjamu Yugoslavia pada laga persahabatan.

Oktober 1978
Kiper tim nasional, Ronny Pasla, dilarang bertanding lima tahun karena menerima suap pada ajang Merdeka Games di Kuala Lumpur, Malaysia. Tiga rekannya diberi sanksi dua tahun. Sedangkan Iswadi Idris dan Oyong Liza mendapat sanksi satu tahun.

Juli 1979
Javeth Sibi, pemain klub Perkesa 78, dan empat rekannya menerima suap Rp 1,5 juta dari bandar judi. Mereka diberi sanksi setahun larangan bermain.

Oktober 1979
Endang Tirtana, kiper klub Warna Agung, dan gelandang tengah Marsely Tambayong menerima suap Rp 1 juta dari bandar judi.

Agustus 1981
Budi Santoso, Bujang Nasril, dan M. Asyik dari klub Jaka Utama mengantongi suap minimal Rp 100 ribu dari bandar judi. Mereka diganjar sanksi lima tahun.

1982
Budi Trapsilo dari Persatuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya dilarang bermain sepak bola sepuluh tahun karena suap.

April 1984
Sun Kie alias Jimmy Sukisman, bendahara klub Caprina Bali, dihukum lima tahun tidak boleh aktif dalam sepak bola nasional karena menyuap pemain Makassar Utama. PSSI juga membekukan klub Cahaya Kita milik Lo Bie Tek dan Kaslan Rosidi. Keduanya dilarang mengurusi sepak bola lagi.

April 1987
Pemain tim nasional Noach Maryen, Elly Idris, Bambang Nurdiansyah, dan Louis Mahodim menerima suap saat penyisihan pra-Olimpiade di Singapura dan Tokyo. Mereka diberi sanksi tiga tahun.

Maret 1998
Wakil Ketua Komisi Wasit PSSI Djafar Umar dan 40 wasit lain terbukti menerima suap. Ia dilarang aktif di sepak bola selama 20 tahun. Tapi pengurus klub yang menyuap malah lolos.

Periode Nurdin Halid 2003-sekarang

Juni 2007
Ketua Komisi Disiplin PSSI Togar Manahan Nero dan Wakil Sekretaris Jenderal Kaharudinsyah dituduh menerima suap Rp 100 juta dari klub Penajam. Sekretaris Umum Penajam Syawal Rifai dan Asisten Manajer Arismen Bermawi dihukum tak boleh mengurus sepak bola selama lima tahun. Togar dan Kaharudinsyah lolos dan sampai sekarang menjadi pengurus PSSI.

Oktober 2010
Pelatih Persibo Bojonegoro, Sartono Anwar, mengaku dimintai Rp 10 juta oleh wasit ketika bertanding melawan Persema Malang di Stadion Gajayana. Satgas Anti-Suap dan Mafia Wasit PSSI memanggil wasit Iis Permana, hakim garis Trisnop Widodo dan Musyafar, serta wasit cadangan Hamsir. Tak ada sanksi buat para pengadil. Sartono justru didenda Rp 50 juta karena berkata kasar kepada wasit.

Uang Saku Jago Kandang
Menjadi tuan rumah adalah keuntungan, baik ada suap maupun tidak. Tapi di Liga Super Indonesia sungguh luar biasa. Hampir tak ada tuan rumah yang kehilangan poin pada pertandingan kandang. Resepnya sederhana: “Kita kasih uang saku ke wasit,” kata satu manajer klub. Kalau tim tamu ngotot bertahan, hadiah penalti di menit-menit terakhir siap diberikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus