Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RESMINYA, penyusunan Rancangan Undang-Undang Intelijen merupakan hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Namun prakarsa banyak diambil pejabat Badan Intelijen Negara. Sejumlah anggota Komisi Pertahanan Dewan pun diundang ke Pejaten Timur, Jakarta Selatan, markas lembaga telik sandi itu. ”Sejak awal, Dewan sudah dilobi,” kata sumber Tempo pekan lalu.
Ketua Komisi Pertahanan DPR Mahfudz Siddiq membenarkan adanya pertemuan di kantor Badan Intelijen di Kalibata, Jakarta Selatan. Ia sendiri pernah memenuhi undangan itu. Mahfudz menyatakan pertemuan tersebut acara resmi, bukan lobi.
Kepala Badan Intelijen Negara Sutanto juga pernah memimpin tim ke Senayan. Ia memboyong dua pendahulunya, Syamsir Siregar dan Abdullah Makhmud Hendropriyono. Kedua jenderal itu menekankan perlunya aturan yang memberikan kewenangan BIN menangkap tersangka. ”Paling tidak ada tiga kali pertemuan tertutup,” ujar sumber yang sama.
RUU Intelijen dibahas sejak pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pembahasan mentok karena keinginan Badan Intelijen Negara menangkap target operasi. Rancangan kembali dimasukkan ke program legislasi nasional, yang semestinya kelar tahun lalu. Menurut anggota Badan Legislasi, Arif Wibowo, rancangan ini diubah menjadi hak inisiatif Dewan. ”Rancangan undang-undang kontroversial umumnya diserahkan ke DPR,” katanya.
Dalam pertemuan tertutup, Badan Intelijen mengajukan klausul yang ”sudah dihaluskan”. Istilah penangkapan, misalnya, diganti dengan ”pemeriksaan intensif”. Badan Intelijen juga menurunkan pembatasan waktu pemeriksaan menjadi maksimal tujuh hari, dari usul sebelumnya 40 hari.
Anggota Komisi Pertahanan, Tubagus Hasanuddin, membenarkan adanya penghalusan istilah penangkapan itu. Ia bercerita, pada saat pertemuan, para mantan Kepala Badan Intelijen menekankan pentingnya kewenangan menangkap untuk mencegah terorisme. ”Mereka minta pemeriksaan dilakukan di tempat rahasia, dan tidak boleh dikunjungi keluarga,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini. Tapi, ”Itu sama saja dengan penculikan.”
Menurut Hasanuddin, fungsi intelijen hanya mengumpulkan informasi. Adapun penangkapan merupakan kewenangan penegak hukum. ”Penangkapan tidak relevan dengan fungsi intelijen,” kata Sekretaris Militer era Presiden Megawati ini.
Perdebatan soal kewenangan menangkap terus berlanjut hingga menit-menit akhir pembahasan di Komisi Pertahanan. Badan Intelijen berkeras diberi wewenang menangkap. Akhirnya diambil jalan tengah. Ketua Komisi, Mahfudz Siddiq, menjelaskan, penangkapan mereka yang dicurigai Badan Intelijen tetap harus dilakukan oleh kepolisian. Ini merujuk pola kerja intelijen dalam negeri Inggris, MI5. ”Setelah polisi menangkap, baru intelijen bisa menginterogasi,” kata Mahfudz.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Rizal Darma Putra, menilai Badan Intelijen sukses mempengaruhi isi rancangan. Ia menunjuk banyaknya aturan soal hak dan kewenangan intelijen yang tidak diimbangi dengan aturan pengawasan.
Sebaliknya, akses informasi Dewan terhadap operasionalisasi lembaga intelijen itu kecil. Menurut Rizal, di negara demokrasi, risalah rapat dan anggaran operasi intelijen bisa diakses Dewan. ”Dengan begitu, kalau ada operasi yang menyimpang, akan segera ketahuan,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo