Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Laksamana Arief Kushariadi: "Saya Loyal meski Kapal Banyak Minusnya"

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Arief Kushariadi, 53 tahun, tahu persis bagaimana repotnya mengurus kapal-kapal eks Jerman Timur. Ia merasa benar-benar seperti "ketiban sampur", kena getahnya, karena pembelian 39 kapal itu dilakukan sebelum ia menjabat KSAL. Nyatanya, begitu kapal di tangan, banyak problem menghadang. Walau tak lagi menjadi petinggi AL, ia masih gemar menginspeksi armada kapal eks Jerman Timur di Dermaga Armabar, Tanjungpriok, Jakarta. Berikut ini petikan wawancara Arif A. Kuswardono dan Ahmad Taufik dari TEMPO dengan Komisaris PT Perindustrian Angkatan Laut (PAL) dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) itu.

Bagaimana sikap AL soal pembelian kapal eks Jerman Timur?

Sebagai KSAL (waktu itu), saya agak prihatin. Sebenarnya AL membutuhkan banyak kapal. Dengan garis pantai kita yang terpanjang (di dunia), 81 ribu kilometer, minimal kita butuh 400 kapal perang. Sekarang kita cuma punya 127 kapal. Karena kemampuan kita terbatas, meskipun selalu mendapat kapal bekas, saya berpikir positif, dan selalu loyal. Meskipun, sebenarnya, kapal-kapal itu banyak minusnya karena KKN.

Tapi kondisi kapal kan sudah dimodifikasi?

Memang kondisinya sekarang sangat berbeda. Mesinnya sudah direkondisi di Jerman. Ruang duduk dan tempat tidurnya sudah diperbaiki. Pertama kali melihat kondisinya, memang sedih.

Bukankah Jerman Timur dikenal prima untuk keseimbangan kapal?

Memang prima. Sewaktu menjadi Panglima Armada Barat, saya pernah mengikuti uji tembak dalam cuaca buruk. Bagus hasilnya. Masalahnya, kapal itu motor pokoknya boros bahan bakar. Dan daya jelajahnya paling lama dua hari. Tapi, setelah motor pokok saya repowering (tambah daya), daya jelajahnya menjadi tujuh hari. Kecepatannya meningkat jadi 22 knot. Tapi itu baru KRI Sultan Thaha Syaifuddin karena biayanya terbatas.

Bagaimana dengan persenjataan kapal?

Persenjataan parchim masih tetap yang asli. Kalau persenjataan, memang, lebih baik Rusia. Frosch dan parchim dilengkapi peluru kendali Strella. Untuk condor, dua buah dijadikan kapal survei. Sisanya tetap difungsikan sebagai kapal penyapu ranjau, walau kemampuannya memang berkurang, karena tua dan belum kita perbaiki. Masalahnya bukan hanya kemampuan kapal. Awak kapal juga kurang. Kami tiba-tiba mendapat 39 kapal. Nah, apa tidak repot mengatur pengawakannya?

Apakah teknologinya tidak sesuai dengan standar Sewaco?

Sewaco (Sensor, Weapon, and Command) merupakan sistem peralatan kapal terpadu, yang meliputi alat-alat sensor elektronik, senjata, dan komando pengendalian. Waktu itu memang disiapkan untuk menerima kapal-kapal korvet Belanda atau sekelas Fatahillah. Itu sudah canggih sekali. Dalam hal itu, kapal eks Jerman Timur itu merupakan suatu kemunduran.

Lalu apa pengaruhnya?

Dalam hal pendidikan, misalnya, kita harus mempersiapkan kelas khusus untuk latihan menembakkan Strella. Terpaksa kita harus mendatangkan ahli dan instrukturnya langsung dari Rusia.

Kabarnya, kapal-kapal itu sekarang sering rusak?

Itu memang masalah berat. Yang kita pikirkan, bagaimana bisa mendapat mesin, karena setiap 2.500 jam putar, mesin harus di-overhaul. Terakhir, saya kirim KRI Teluk Mandar untuk membawa 20 mesin ke Rusia.

Jadi, sekarang kapal-kapal itu menganggur?

Kapal-kapal parchim kami operasikan semampunya. Tiga hari berlayar, masuk pelabuhan lagi. Kami menyiasatinya dengan sistem lego jangkar. Kapal tidak bergerak. Kalau ada ancaman, baru kita kejar. Itu mengurangi biaya operasi.

Berapa sebenarnya anggaran pembelian kapal itu?

Biaya pembelian kapal, menurut anggaran Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sebesar US$ 12.247.619 (sambil melihat berkas di tangannya). Lalu biaya modifikasi, penyiapan kapal, overhaul (turun mesin), dan pelatihan US$ 263 juta. Mar’ie Muhammad (Menteri Keuangan waktu itu) akhirnya hanya menyetujui US$ 422.837.317, termasuk untuk turun mesin, rekondisi, penyeberangan, dan program terkait lainnya. Dari jumlah di atas, Rp 117 miliar dianggarkan untuk membangun tempat sandar kapal dan asrama awak kapal, dari Sabang sampai Manokwari.

Tapi, kabarnya, anggaran yang diajukan ke Departemen Keuangan mencapai US$ 482,35 juta?

Pada 1992, TNI AL mengajukan Rp 600 miliar. Tapi BPPT mengajukan US$ 1,1 miliar, termasuk untuk pembangunan gedung-gedung, dermaga, dan pengerukan. Luar biasa. Bikin marah orang banyak. Pada 1993, AL cuma minta US$ 300 juta. Tanggal 23 Juni 1993, Menteri Keuangan menyetujui US$ 319 juta. BPPT kemudian mengajukan US$ 482 juta. US$ 63 juta di dalamnya untuk repowering tadi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional akhirnya menyetujui US$ 422.837.317 pada 1994, yang merupakan pagu maksimum.

Benarkah pinjaman Habibie dari Ferrostaal berupa utang komersial dan sampai kini menjadi beban AL?

Saya kira itu pinjaman lunak. Terakhir, sewaktu saya masih KSAL, mereka (Ferrostaal) masih menawarkan pinjaman sebesar DM 500 juta untuk pembelian kapal selam canggih U-206. Tapi, karena kita tidak ada uang, batal.

Benarkah perusahaan Yayuk Habibie hanya memperbaiki AC kapal? Dengan bendera apa?

Ferrostaal. Di balik semua yang dikerjakan perusahaan itu, ada andil Yayuk. Termasuk juga Fanny Habibie.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus