Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Teknik Mengakali Armada Bekas

Teknologi kapal perang eks Jerman Timur dianggap kuno, tak sesuai dengan kondisi perairan Nusantara. Para teknisi bekerja keras memodifikasi.

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namanya saja kapal rongsokan. Maka, jangan kaget jika kondisi deknya mirip tempat sampah. Kardus dan plastik bekas berserakan. Dibutuhkan waktu berhari-hari untuk membersihkan barang buangan itu agar kapal sedap dipandang. "Sungguh mengharukan," ujar salah seorang anggota tim dari Jakarta saat pertama kali "menjenguk" armada kapal perang bekas di dok Peneemunde, Wolgast, Jerman Timur, pada 1992 lalu.

Salah satu jenis kapal, condor, bahkan hampir saja di-scrapping, dipotong-potong untuk dijadikan besi tua. Badan kapal rusak berat, berkarat. Mesin mati. Sewaktu meninjau, Kepala Staf Angkatan Laut (saat itu) Laksamana Tanto Koeswanto sempat bergurau, memperingatkan anak buahnya agar jangan sampai tergores besi kapal yang berkarat. "Awas, nanti kau kena tetanus," ujar Tanto, berseloroh. Padahal, kapal-kapal ini bakal menggantikan 42 kapal perang TNI Angkatan Laut (dari 98 armada) yang sudah uzur.

Badan kapal lalu dipermak, diperbaiki, dan disesuaikan dengan kondisi "lokal". Semula, memang kapal dirancang untuk beroperasi di kawasan Baltik yang dingin dan berudara kering. Maka, alat penjejuk ruangan (AC) tidak diperlukan. Yang tersedia justru penghangat. Sedangkan di perairan Indonesia yang beriklim tropis, AC menjadi keharusan. Apalagi, ada dapur yang siap menyajikan masakan selera Nusantara yang pedas-pedas. Gudang persediaan makanan juga diperbesar agar awak kapal tak kelaparan selama operasi.

Daya jelajah kapal juga terbatas. Seorang perwira menengah Angkatan Laut, anggota satgas perbaikan, menjelaskan bahwa kapal itu sebenarnya tidak cocok dengan kondisi di perairan Nusantara yang punya 17 ribu pulau. Karena, kapal-kapal eks Jerman Timur itu cuma tahan melaut tiga sampai lima hari--disesuaikan untuk melawan NATO di Laut Baltik. Idealnya, kapal sanggup berlayar satu sampai dua minggu, tanpa buang sauh. Akibatnya, sementara ini kapal tipe parchim dioperasikan semampunya: tiga hari berlayar dengan sistem lego jangkar. Kapal tidak bergerak dan baru mengejar kalau ada ancaman.

Tangki bahan bakar dan mesin ikut pula dirombak. Teknisi di dok Peenewerft menyulap sejumlah tangki ballast--yang berisi air untuk menegakkan dan menyeimbangkan kapal--menjadi tangki bahan bakar tambahan sehingga cukup untuk jarak jelajah jauh. Urusan mesin? Gampang. Itu dapat diganti dengan motor pokok Caterpillar--seharga US$ 500 ribu--sehingga kapal seperti baru kembali. Dengan mesin ini, daya jelajah bisa digenjot dari dua hari menjadi tujuh hari. Kapal bisa ngebut dengan kecepatan 22 knot. Motor ini bisa menghemat bahan bakar separuh dari rata-rata 33 ribu liter saban harinya.

Sayang, tak tersedia dana untuk membeli mesin andalan itu. Akhirnya, turun mesin saja sudah cukup. Selama tiga tahun "menganggur", kapal belum pernah overhaul. Maka, jangan heran bila mendengar pengakuan para komandan kapal di Armada Kawasan Barat (Armabar) Tanjungpriok, Jakarta. Mereka tidak berani memacu kapal dalam kecepatan maksimum, khawatir mesinnya ngadat. Untuk jenis condor, bikinan tahun 1970-an, mereka cuma berani tancap gas sampai 10 knot dari kecepatan maksimum 14 knot. "Itu pun pelan-pelan, tidak bisa langsung," kata Mayor Laut (P) Edi S., Komandan KRI Teluk Rote, kepada TEMPO.

Sebabnya, kata seorang perwira teknisi di pangkalan Armada Kawasan Timur (Armatim) Surabaya, kondisi mesin dieselnya, meski bertenaga besar, sudah tidak normal. Itu tampak dari asap hitam pekat yang keluar dari cerobong yang dipasang di sisi kiri dan kanan buritan kapal--sampai perlu dicat hitam, supaya tak terlihat bekas kotornya. Saking repotnya mengurus kapal itu, katanya berbisik-bisik, banyak awak kapal sampai rela "membayar" asal bisa ngacir dari kapal tersebut. Coba bayangkan, untuk kapal normal, mesin cuma perlu dicek tiap dua jam sekali. "Tapi, di kapal ini, mereka harus terus-menerus memelototinya," ujar sang teknisi kepada Jalil Hakim dari TEMPO.

Alat komunikasi juga bikin masalah. Mayor Angkatan Laut (P) Budi Utomo, yang pernah mengomandani KRI Rempang, punya cerita lucu. Setelah enam bulan kapal tiba di Indonesia, enam peti cetak biru kapal pun akhirnya diterima. Namun, kemudian mereka bengong: seluruhnya tertulis dalam bahasa Rusia. Walhasil, jurus "awang-awang" pun dipakai. Mereka berusaha sebisanya "membaca" cuma dari gambar dan skema. Suatu saat, ketika mencoba memperbaiki radio dan morse kapal, para awak kapal bingung lagi. Soalnya, kalau panel tutsnya ditekan, yang keluar aksara Rusia. Kini, untung saja, radio, morse dan buku petunjuknya sudah diganti baru. Tak ada lagi yang memakai transistor tabung khas armada Blok Timur.

Persenjataan tak kalah penting--wong namanya kapal perang. Seorang perwira menengah Angkatan Laut (AL) menyatakan kekecewaannya. Konsep kapal perang yang ada di kepala para lulusan Akabri tahun 1980-an ke atas itu adalah konsep persenjataan terpadu yang disebut Sewaco (Sensor, Weapon, and Command). Standarnya bisa dirujuk seperti KRI Fatahillah, yang didasarkan pada konsep teknologi tahun 1980-an. Kapal eks Jerman Timur itu, menurut dia, menarik mundur AL ke konsep teknologi tahun 1970-an. Memang, kelas condor tergolong paling tua, bikinan tahun 1970-an. Sedangkan 16 korvet parchim--favorit untuk negara berkantong cekak-- sudah berenang sejak 1985.

Namun, menurut mantan KSAL Arief Koesharjadi, sekarang radar sudah diganti dengan Racal Deca, radar tercanggih di kelasnya. Ada meriam MR 025, senjata ampuh kaliber 30 dan 57 milimeter antiserangan udara, torpedo, dan roket bom udara. Parchim dan frosch bahkan dilengkapi dengan 5.000 ton amunisi--meski dipreteli, tapi bisa dibawa ke Tanah Air. Ini cukup untuk lima tahun, termasuk 1.550 biji peluru kendali SAM V Strella yang sangat canggih.

NATO memberi kode rudal ini SAN-5 Grail, roket antiserangan udara jarak pendek. Melalui empat tabung peluncur, Strella yang dikendalikan radar ini siap menghajar helikopter musuh dari jarak 10 kilometer. Modifikasi rudal Strella yang dikembangkan AL ini dinamai rudal AL1 dan rudal AL1M. Rudal ini bisa mendeteksi sasaran dengan tepat di atas temperatur 200-400 derajat Celsius--suhu yang dikeluarkan pesawat terbang. Pada saat uji coba, sasaran sempat terhalang awan, tapi rudal itu--demikian tulis buku terbitan Dispenal dan majalah AL, Cakrawala, 1998--bisa tepat mengenai sasaran.

Tak hanya itu hebatnya. Selain mutu pelat bajanya oke, kapal blok timur dikenal unggul dalam kecepatan. Jenis kapal pendarat landing ship tank kelas frosch bisa berlari 18 knot, termasuk yang tercepat di dunia. Si pemburu kapal selam bermesin diesel dua buah ini bisa melaju 25 knot. Artinya, dua kali lebih cepat dari kapal selam tak bertenaga nuklir, yang rata-rata berenang dengan kecepatan 10 knot saat di pemukaan dan 17 knot saat menyelam. Menurut Janes?s Fighting Ship 1993-1994, AL punya parchim tiga biji, dengan tiga diesel yang bisa ngebut 28 knot.

Persoalan terakhir menyangkut suku cadang. Untuk sekadar mengubah urutan nomornya dari model Pakta Warsawa menjadi standar "Barat" alias NATO, yang selama ini dijadikan acuan AL, itu bukan soal. Tapi, kenyatannya, banyak onderdil yang susah didapat. Akibatnya, beberapa jenis parchim yang rusak terpaksa diperbaiki nun jauh di sana, di Kiev, Ukraina, karena pabriknya di Jerman Timur sudah tutup. Sialnya, cuma di pabrik di Kiev itulah perbaikan bisa dilakukan.

Itu tak menjadi soal bagi Laksamana Madya (Purn.) Abu Hartono, mantan ketua Fraksi ABRI di DPR yang pernah bereaksi keras atas menggelembungnya anggaran proyek kapal ini. "Ibarat mobil, setelah jalan sekian kilometer harus masuk bengkel, dan itu bukan berarti karena rusak," kata Abu. Ia malah memuji: meski butuh biaya perawatan tambahan, toh kapal bisa beroperasi dengan baik untuk mencari reruntuhan pesawat, kegiatan SAR, patroli, dan mengangkut beras.

Ketr.Foto : Daya jelajah terbatas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus